Asesment adalah proses mengumpulkan informasi yang biasanya digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan yang nantinya akan dikomunikasikan kepada pihak-pihak terkait oleh asesor (Sulistiyowati, 2020, hlm. 50). Berbagai informasi ini dikumpulkan melalui instrumen evaluasi yang disesuaikan dengan tujuan asesmennya sendiri, baik itu untuk mengetahui kecerdasan kognitif (IQ), kejiwaan, kecerdasan emosional (EQ), proses pembelajaran, dan lain-lain.

Sejatinya semua jenis assesment baik itu assesment yang dilakukan oleh pihak perusahaan, sekolah, dan lembaga pemerintahan sekali pun termasuk dapat dikatakan sama dengan assesment psikologi klinis. Hal tersebut karena metode assesment dilakukan berdasarkan metode ilmiah yang dilakukan oleh para asesor dan praktisi pendidikan dan psikologi. Bedany, psikologi klinis dapat menghubungkannya dengan jenis-jenis gangguan mental yang telah diketahui jika memang relevan untuk dilakukan.

Selanjutnya, menurut Kendal (dalam Pomerantz, 2014) assesment adalah proses pengumpulan informasi mengenai klien untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai seseorang. Informasi yang dikumpulkan dalam asesmen klinis digunakan untuk menunjang keputusan-keputusan dan berbagai area tindakan, seperti seleksi, diagnosis, evaluasi, dan intervensi, serta penelitian.

Dapat disimpulkan bahwa assesment adalah proses pengumpulan informasi mengenai klien atau individu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenainya sebagai dasar untuk pengambilan keputusan dalam suatu penilaian atau evaluasi mengenai individu itu sendiri yang akan disampaikan pada pihak terkait.

Tujuan Assesment

Clinical assesment dibutuhkan untuk membuat keputusan yang didasari informasi yang dapat diandalkan (Korchin dalam Sulistiyowati, 2021, hlm. 50). Luaran, output, atau hasil dari asesmen klinis adalah memberikan gambaran kerja yang mempertimbangkan sejarah, kebiasaan, ketakutan, tanggung jawab, potensi individu yang support terapi dan manajemen kasus tertentu. Untuk lebih jelasnya berikut adalah beberapa tujuan dari assesment. Tujuan dilakukannya assesment di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Pengambilan keputusan, dalam hal ini psikolog klinis melakukan asesmen untuk pengambilan keputusan dalam melakukan diagnosa hingga intervensi yang harus dilakukan;
  2. Pembentukan gambaran/model kerja dilakukan asesmen untuk mendapatkan gambaran atau dinamika psikologi atau kepribadian daripada subjek; dan
  3. Untuk menentukan dan menjawab dari hipotesis yang telah dibuat atau diterima.

Assesmen dalam psikologi klinis mencakup isi dan proses. Isi adalah pengumpulan informasi, dan proses adalah aspek sosial emosional yang terlibat sepanjang proses asesmen. Supaya isi dan proses optimal, psikolog mengawali asesmen degan bangun rapor (raport/report).

Proses Assesment

Proses atau tahapan asesmen melibatkan observasi, wawancara, psikotes, review arsip (buku harian, raport, catatan medis, lukisan). Wawancara yang dilakukan adalah wawancara klinis. Perbedaan dari wawancara klinis dan wawancara lainnya adalah pada akhir wawancara klinis terdapat kesepakatan untuk bekerjasama demi kebaikan klien. Setelah observasi, wawancara klinis dan psikotes dilakukan (informasi yang diperlukan telah terkumpul), maka psikolog dapat menyusun laporan.

Menurut Bernstein dan Nietzel (dalam Pomerantz, 2014) ada empat komponen dalam proses asesmen psikologi klinis yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Perencanaan dalam proses pengumpulan data, yaitu prosedur pemeriksaan dalam psikologi klinis umumnya terdiri dari observasi, wawancara, dan tes yang sesuai dipilih sesuai dengan pertanyaan yang harus dijawab tadi. Untuk efisiensi dalam proses pemeriksaan biasanya digunakan cara-cara yang dapat memberi informasi dengan keluasaan (breadth, bandwith) dan kedalaman (intensity, fidelity) yang cukup. Validitas dan reliabilitas tes, orientasi teoretik pemeriksa, variabel-variabel yang penting berkaitan dengan pertanyaan yang harus dijawab, menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan itu, selanjutnya perlu dipertimbanngkan apakah tujuan asesmen itu untuk melakukan klasifikasi (diagnosis medis), deskripsi variabel, atau untuk prediksi.
  2. Pengumpulan data untuk asesmen, dapat dilakukan dengan wawancara, observasi, dan tes. Wawancara adalah metode asesmen yang relatif murah dan mudah. Wawancara dapat dilakukan di mana saja dan fleksibel dalam pelaksanaannya. Namun, wawancara mempunyai kelemahan yakni dapat terdistorsi oleh sifat pewawancara dan pertanyaan apa yang diajukan; dipengaruhi oleh keadaan klien yang di wawancara. Hasil obesrvasi juga merupakan sumber informasi yang penting untuk asesmen. Keuntungan observasi adalah dapat melihat langsung apa yang dilakukan subjek yang merupakan sasaran asesmen . kelemahan observasi adalah adanya pengaruh bias dari observer. Tes seperti wawancara, juga memberikan sample dari tingkah laku. Keuntungan dari tes adalah mudah, ekonomis, dapat dilakukan oleh banyak orang (asal profesional) dan terstandarisasi.
  3. Pengolahan data dan pembentukan hipotesis. Bila data telah terkumpul, pemeriksa dapat memberi makna atau menginterpretasi sesuai dengan tujuan (klasifikasi, deskripsi dan prediksi) dan orientasi teoretiknya. Data mentah dari observasi, wawancara dan tes diubah menjadi kesimpulan (hipotesis, image, dan hubungan-hubungan) yang dapat dibedakan dalam tingkatan abstraksinya (dapat sangat abstrak, atau lebih konkret), dalam orientasi teoretiknya (psikoanalitik, behavioristik, dan lain-lain) dan dalam kaitannya dengan tujuan asesmen. Temuan dari observasi dan wawancara dapat digunakan sebagai sampel tingkah laku sebagai korelat atau penyerta tingkah laku, atau sebagai tanda dari adanya hal yang melandasi tingkah laku itu. Pemrosesan informasi untuk menarik kesimpulan dapat dibedakan dalam kesimpulan yang dilakukan secara subjektif klinis atau secara objektif statistik.
  4. Mengomunikasikan data asesmen baik dalam bentuk laporan maupun dalam bentuk lisan.

Metode Assesment

Psikolog klinis akan menggunakan suatu ataupun kombinasi banyak dan beragam metode asesmen yang meliputi wawancara, tes tulis terstruktur, tes tak terstruktur, dan asesmen perilaku. Berikut adalah penjelasan dari beberapa metode yang biasa digunakan untuk melakukan assesment.

Wawancara

Salah satu metode asesmen yang dapat digunakan adalah melalui wawancara. Wawancara yang dilakukan untuk melakukan proses asessesment di antaranya adalah sebagai berikut.

Wawancara mendalam (depth interview)

Wawancara ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa latar belakang gangguan seseorang belum tentu sama dengan apa yang dikemukakan olehnya secara sadar, sehingga pewawancara kadang-kadang harus menggalinya lebih dalam.

Wawancara klinis

Wawancara klinis biasanya dibuat melalui cerita (narrative) yang diarahkan pada pengalaman pasien. Wawancara klinis sukar dibedakan dengan wawancara psikoanalitis. Wawancara ini mementingkan “realitas psikologis”, yakni bagaimana sifat dan cara pengalaman subjektif terhadap suatu peristiwa, dan bukan mementingkan aktualitas historis, yakni kenyataan sebagaimana terjadinya secara fakta objektif dalam riwayat hidup klien.

Wawancara klinis mempunyai suatu “perjalanan” yang dipengaruhi oleh baik sikap pasien terhadap wawancara, maupun oleh pewawancaranya, tidak saja oleh apa yang secara verbal di ucapkan oleh pewawancara tapi juga oleh ekspresi non verbal pewawancara seperti gaya bicara, sikap tubuh, tindak-tanduk, dan sebagainya.

Tahapan-tahapan dari wawancara klinis adalah sebagai berikut.

  1. Pemeriksaan Psikologi Klinis Pada Tahap Awal, Percakapan pertama yang dilakukan dalam pemeriksaan klinis adalah mengenai masalah/keluhan. Biasanya pertemuan pertama berlangsung antara 10-15 menit sebelum dapat tercapai rapport yang baik. Setelah itu pembicaraan diarahkan pada keluhan klien.
  2. Pada akhir pertemuan pertama sebaiknya pemeriksa mempersiapkan akhir wawancara dengan memberikan pengarahan wawancara pada satu topik tertentu, dan mempersiapkannya untuk pertemuan konsultasi selanjutnya.
  3. Anamnesis, yang berarti merupakan kegiatan menanyakan kepada klien mengenai suatu persoalan yang dialaminya, mengenai riwayat hidupnya. Jika keluhan atau persoalan dan riwayat hidup ini ditanyakan kepada orang yang bersangkutan, makan dinamakan autoanamnesis dan kalau ditanyakan kepada orang lain dinamakan alloanamnesis atau heteroanamnesis. Setelah pada tahap awal pemeriksaan dibahas mengenai keluhan/masalah klien dan latar belakangnya, maka selanjutnya diadakan eksplorasi mengenai riwayat keluhan dan riwayat hidup klien tersebut.

Teknik Bertanya Anamnesis

Ada beberapa teknik bertanya yang dikemukakan oleh Wallen (dalam Ardani dkk dalam Sulistiyowati, 2021, hlm. 55) sehubungan dengan pengambilan anamnesis, di mana teknik ini dapat digunakan sesuai dengan keperluan sesuai dengan situasi pemeriksaan, teknik-teknik bertanya tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Narrowing Questions,
    yaitu mulai dengan mengajukan pertanyaan luas, kemudian disusul dengan pertanyaan yang lebih mendetail. Fungsinya adalah mengetahui sikap klien yang spontan atau yang sejujur-jujurnya.
  2. Progressing Questions,
    yakni mulai dengan memberikan pertanyaan tentang suatu yang dekat dengan apa yang sesungguhnya ingin diketahui, kemudian menyusul pertanyaan yang secara progresif mengarah pada hal yang sesungguhnya ingin diketahui.
  3. Embedding Questions,
    ialah menyembunyikan pertanyaan yang lebih signifikan, ke dalam pertanyaan lain.
  4. Leading Questions,
    adalah memberikan pertanyaan yang terarah pada sesuatu yang ingin diketahui dengan cara yang hati-hati.
  5. Haldover Questions,
    yaitu menunda suatu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran pemeriksa, sewaktu klien sedang menceritakan suatu peristiwa; penundaan ini dilakukan untuk mencari saat yang lebih baik untuk hal tersebut.
  6. Projective Questions,
    yakni menanyakan pendapat klien tentang hal-hal tertentu atau orang lain, untuk mengetahui sistem nilai klien yang diterapkan terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain.

Observasi

Observasi atau pengamatan dalam melakukan assesment dapat dilakukan dengan beberapa cara yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Studi lapangan,
    Observasi studi lapangan tidak tidak mengontrol (melakukan tindakan atau eksperimentasi) pada apa yang diobservasi, tapi berusaha untuk membuat proses obesrvasi itu dapat diandalkan semaksimal mungkin. Hal ini dilakukan dengan merumuskan unit-unit observasi, dengan melatih observer, dengan sampling dari unit-unit observasi, atau penggunaan lebih dari satu observer.
  2. Introspeksi,
    atau pengamatan diri sendiri ialah suatu proses asosiasi yang hanya dikontrol oleh subjek yang melakukan introspeksi. Asosiasi bebas dikendalikan oleh observer atau clinician (misalnya dalam psikoanalisis).
  3. Studi kasus,
    adalah observasi historis yang didasarkan pada penggunaan dokumen pribadi. Metode observasi klinis memberikan kemungkinan kontrol dengan menggunakan situasi standar, stimuli standar (misalnya wawancara dan tes) dan pengarahan standar.
  4. Metode observasi eksperimental,
    dalam observasi ini, observer menentukan lebih dahulu hal-hal yang akan diobservasi dan di mana atau dari mana ia akan mendapatkannya (memberikan Control atau situasi tertentu terlebih dahulu sebelum diamati).
  5. Metode klinis,
    terdiri dari observasi yang dikendalikan oleh wawancara dan tes. Metode klinis digunakan untuk mendapatkan baik diagnosis informal (personality descriptions) maupun diagnosis formal (psychiatric nomenclature) atau nama-nama penyakit jiwa.

Metode Tes

Tes yang biasanya diberikan pada subjek dalam suatu assesment antara lain adalah tes inteligensi umum, tes proyeksi, tes grafis, dan inventori kepribadian.

  1. Tes inteligensi umum,
    diberikan untuk mengetahui tingkat kecerdasan pada waktu kini untuk membandingkan keadaan kini dengan keadaan sebelum sakit.
  2. Tes proyeksi,
    merupakan yang penting dilakukan untuk pemeriksaan klinis dengan tujuan mengungkapkan hal-hal yang kurang atau tidak disadari.
  3. Tes grafis,
    adalah yang paling digemari oleh psikolog di Indonesia. Karena memakan waktu yang relatif singkat. Dan kebanyakan menggunakan analisis kualitatif. Kelemahan tes grafis adalah bahwa seringkali pemeriksa terpengaruh oleh keindahan gambar atau keterampilan menggambar klien dan melupakan segi-segi formals seperti: ukuran gambar, jenis garis yang digunakan, tekanan garis, penempatan gambar dan sebagainya.
  4. Test Inventori Kepribadian,
    Tes yang akhir-akhir ini lebih banyak digunakan sebagai pengganti tes proyeksi ialah Inventory Kepribadian yang sangat banyak jenisnya, antara lain Eysenck Personality Inventory (EPI), Minnessota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), Beck Depression Scale (BDI), Taylor Manifest Anxiety Scale (TAMAS), State-Trait Anxiety dan Spielberger, dan lain-lain.

Selain inventori, ada pula bermacam-macam skala utuk mengetahui keadaan normal-abnormal seseorang, misalnya Positive-Negative Affect Scale dari Watson, skala hostility, dan lain-lain. Tes jenis sentence completion telah dikembangkan oleh beberapa tokoh antara lain, Sacks, Rotter.

Tes khusus untuk menyelidiki gangguan organik diantaranya adalah Bender Gestalt, Minnesota Perceptive Distortion Test (MPD), Weschler Memory Scale (WMS), Mini Mental State Test dari Polstein, Tes untuk Aphasia dan Diagnosis serta Rehabilitasinya (TADIR), Halstead Reitan Battery, dan lain-lain.

Referensi

  1. Sulistiyowati, A. (2021). Psikologi klinis. Jember: IAIN Jember.
  2. Pomerantz, A. M. (2014). Psikologi klinis: ilmu pengetahuan, praktik, dan budaya (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *