Interaksi manusia merupakan akibat dari salah satu sifat asli manusia sebagai makhluk sosial, atau biasa disebut sebagai zoon politicon (Warsah & Daheri, 2021, hlm. 181). Sebagai makhluk individual, manusia mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri. Namun, sebagai makhluk sosial, manusia mempunya dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan orang lain. Karena dorongan sosial inilah, manusia akan mencari orang lain untuk mengadakan interaksi sosial.

Selain itu, manusia juga merupakan dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya, yang terikat oleh hukum-hukum alam. Hal tersebut juga menciptakan interaksi manusia dengan lingkungan hidup. Sebagai makhluk hidup, manusia merupakan makhluk yang dinamis dalam arti bahwa manusia dapat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat interaksi dengan lingkungan hidup. Perilaku manusia dapat berubah dari waktu ke waktu.

Dengan demikian interaksi manusia dan lingkungan baik itu lingkungan sosial atau lingkungan hidup adalah hal yang tidak terelakan baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Berikut adalah berbagai kumpulan literasi mengenai interaksi manusia dengan lingkungannya.

Pengertian Interaksi

Sebagai makhluk sosial dan tidak dapat hidup tanpa alam, manusia secara alami akan mengadakan hubungan atau interaksi dengan orang lain dan lingkungan alam. Namun tentunya interaksi tersebut tidak selalu berjalan mulus. Sebagian orang dapat berinteraksi dengan baik dengan orang lain, sementara itu sebagian mengalami kesulitan. Dengan demikian, interaksi merupakan hal yang dipelajari dalam kehidupan.

Seseorang dengan umur yang lebih matang cenderung dapat melakukan interaksi dengan lebih baik dari pada yang masih muda. Oleh karena itu, interaksi juga merupakan suatu proses. Selain itu, ada yang baik dan ada yang buruk juga dalam interaksi seseorang. Hal demikian juga menunjukkan bahwa interaksi merupakan suatu kemampuan yang dipelajari. Interaksi merupakan suatu keterampilan, sesuatu sebagai hasil belajar.

Salah satu hukum dalam belajar adalah mengenai latihan, pembiasaan atau conditioning. Oleh karena itu, agar mendapatkan keterampilan dalam berinteraksi, kita memerlukan adanya latihan. Orang yang kurang latihan dalam berinteraksi dapat dipastikan kurang terampil dalam berinteraksi.

Dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian diri di sini dalam arti yang luas yaitu bahwa individu dapat meleburkan diri dengan keadaan di sekitarnya, atau sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu yang bersangkutan.

Dapat disimpulkan bahwa interaksi adalah suatu proses melakukan hubungan dengan orang lain, lingkungan alam, maupun hal-hal lain yang menjadi sifat dasar dan kebutuhan manusia baik itu dengan cara berkembang melalui belajar maupun adaptasi untuk mencapai keadaan diri individu yang sesuai dengan kebutuhan.

Dengan demikian, manusia akan senantiasa mengalami perkembangan, memiliki faktor internal yang memengaruhi interaksinya, dan berhubungan langsung dengan lingkungannya. Faktor-faktor tersebut merupakan inti dari proses interaksi manusia dengan lingkungannya. Berikut adalah pemaparan-pemaparannya.

Perkembangan Manusia

Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, dalam suatu proses interaksi manusia senantiasa berkembang agar mampu melakukannya. Perkembangan manusia ini amatlah menentukan bagaimana seorang individu mampu berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun alam. Akibat dari unsur kehidupan yang ada pada manusia, manusia berkembang dan mengalami perubahan, baik itu dalam segi fisiologis maupun psikologis. Terdapat banyak teori yang membahas mengenai manusia dan perkembangannya. Beberapa teori-teori perkembangan manusia tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.

Teori Perkembangan Nativisme

Teori Nativisme menyatakan bahwa perkembangan manusia itu akan ditentukan oleh faktor-faktor nativus, yaitu faktor keturunan yang merupakan faktor-faktor yang dibawa oleh individu sejak dilahirkan (Saleh, 2018, hlm. 144). Menurut teori ini sewaktu individu dilahirkan telah membawa sifat-sifat tertentu, dan sifat inilah yang akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan, sedangkan faktor lain yaitu lingkungan, termasuk di dalamnya pendidikan dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap perkembangan individu itu. Teori ini dikemukakan oleh Schopenhouer (Bigot, dkk.,1950 dalam Saleh, 2018, hlm. 144).

Teori ini berpandangan bahwa seakan-akan manusia ditentukan oleh sifat sebelumnya, tidak dapat diubah, sangat tergantung pada sifat yang diturunkan dari orang tuanya. Dengan kata lain teori ini juga mengemukakan bahwa setiap manusia yang dilahirkan dibekali (membawa) bakat-bakat, baik yang berasal dari orang tuanya, nenek moyang atau jenisnya. Apabila pembawaannya itu baik maka akan baik pula anaki itu kelak, demikian juga sebaliknya.

Teori Perkembangan Empirisme

Teori empirisme berpandangan bahwa perkembangan individu akan ditentukan oleh empirisnya atau pengalaman-pengalamannya yang diperoleh selama perkembangan individu (Saleh, 2018, hlm. 146). Pengalaman yang dimaksud dapat juga berupa pendidikan yang diterima oleh individu. Menurut teori ini individu yang dilahirkan dianggap sebagai kertas putih bersih yang belum ditulis, dan perkembangan individu adalah proses penulisannya.

Teori empirisme ini dikemukakan oleh John Locke, juga sering dikenal dengan teori tabularasa yang berarti buku kosong atau lembaran kertas putih yang dapat diisi oleh apa pun dan siapa pun. Dengan demikian teori empirisme adalah teori yang memandang keturunan atau pembawaan tidak mempunyai peranan dan membuatnya menjadi kebalikan atau lawan dari teori nativisme.

Selain dipengaruhi oleh orang lain dan pendidikan, teori perkembangan empirisme juga menekankan bahwa lingkungan juga dapat mengisi lembaran kosong seseorang. Lingkungan yang mempengaruhi tingkah-laku terdiri dari lima aspek, yaitu geografis, historis, sosiologis, kultiral dan psikologis (Mahmud, 1984 dalam Saleh, 2021, hlm. 148).

  1. Lingkungan geografis
    disebut juga lingkungan alamiah, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh letak wilayah seperti di dataran, pegunugan, dan pesisir pantai; kondisi iklim seperti panas di gurun sahara, tropis, seddang, dan salju; sumber penghasilan seperti wilayah industry, pertanian, pertambangan, dan perminyakan.
  2. Lingkungan historis
    yaitu lingkungan yang ditentukan oleh ciri suatu masa atau era dengan segala perkembangan peradabannya. Misalnya masa klasik, masa kemunduran, masa pencerahan, masa modern, era industri dan sebagainya.
  3. Lingkungan sosiologis
    adalah lingkungan yang ditentukan oleh hubungan antar individu dalam suatu komunitas sosial. Hubungan ini selalu dikaitkan dengan tradisi, nilai-nilai, perpaturan dan undang-undang.
  4. Lingkungan kultural,
    adalah lingkungan yang ditentukan oleh kultur suatu masyarakat. Kultur ini meliputi cara berpikir, bertindak, berperasaan, dan sebagainya.
  5. Lingkungan psikologis
    adalah lingkungan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan, seperti kondisi rasa tanggung jawab, toleransi, kesadaran, kemerdekaan, keamanan, kesejahteraan dan sebagainya (Saleh, 2018, hlm. 147-148).

Teori Konvergensi

Teori konvergensi merupakan teori gabungan (konvergensi) dari nativisme dan empirisme yang dikemukakan oleh William Stern yang beranggapan bahwa pembawaan lahir, pengalaman, maupun lingkungan mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan individu (Saleh, 2018, hlm. 150). Perkembangan individu akan ditentukan baik oleh faktor yang di bawa sejak lahir (faktor endogen) maupun faktor lingkungan (termasuk pengalaman dan pendidikan) yang merupakan faktor eksogen.

Penelitian dari W. Stern memberikan bukti tentang kebenaran dari teorinya, dan dapat diterima oleh para ahli pada umumnya, sehingga teori yang dikemukakan oleh W. Stern merupakan salah satu hukum perkembangan individu di samping adanya hukum-hukum perkembangan yang lain.

Golongan ini muncul karena melihat kedua pendapat (Nativisme dan Empirisme) di atas yang saling bertentangan dan keduanya berada pada garis yang ekstrim, dan banyak mempunyai kelemahan-kelemahan jika dihadapkan dengan realitas yang ada terlebih lagi pada abad modern.

Faktor Endogen

Faktor endogen adalah faktor yang dibawa oleh individu sejak dalam kandungan hingga akhirnya dilahirkan (Saleh, 2018, hlm. 156). Endogen sering disebut juga sebagai faktor faktor keturunan atau faktor pembawaan. Faktor ini terjadi sebagai akibat dari bertemunya ovum dari ibu dan sperma dari ayah sehingga faktor endogen yang dibawa oleh individu itu mempunyai sifat-sifat seperti orang tuanya.

Kenyataan menunjukkan bahwa saat individu dilahirkan, telah ada sifat-sifat jasmaniah yang diturunkan oleh orangtua kepada anaknya, misalnya karena orangtuanya berkulit putih, maka individu yang dilahirkannya pun memiliki kulit putih. Warna rambut juga sangat bervariasi tergantung dari faktor keturunannya, baik itu warna hitam, merah, cokelat, atau pirang.

Individu juga mempunyai pembawaan-pembawaan yang berhubungan dengan sifat-sifat kejasmanian dan tempramen, maka individu masih mempunyai sifat-sifat pembawaan yang berupa bakat. Bakat bukan merupakan satu-satunya faktor yang dibawa individu sewaktu dilahirkan, melainkan hanya merupakan salah satu faktor yang dibawa sewaktu dilahirkan.

Di samping itu, individu juga mempunyai sifat-sifat pembawaan psikologis yang erat hubungannya dengan keadaan jasmani yaitu temperamen. Temperamen merupakan sifat-sifat pembawaan yang erat hubungannya dengan struktur kejasmanian seseorang, yaitu yang berhubungan dengan fungsi-fungsi fisiologis seperti darah, kelenjar-kelenjar, cairan-cairan lain, yang terdapat dalam diri manusia.

Faktor Eksogen

Faktor eksogen merupakan yang datang dari luar diri individu, merupakan pengalaman-pengalaman, alam sekitar, pendidikan (Saleh, 2018, hlm. 157). Pengaruh pendidikan dan lingkungan sekitar itu sebenarnya terdapat perbedaan. Pada umumnya pengaruh lingkungan bersifat pasif, dalam arti bahwa lingkungan tidak memberikan suatu paksaan kepada individu.

Lingkungan memberikan kesempatan-kesempatan kepada individu, bagaimana individu mengambil manfaat dari kesempatan yang diberikan oleh lingkungan tergantung kepada individu. Tidak demikian halnya dengan pendidikan. Pendidikan dijalankan dengan penuh kesadaran dan dengan secara sistematis untuk mengembangkan sistematis untuk mengembangkan potensi-potensi ataupun yang ada pada individu sesuai dengan cita-cita atau tujuan pendidikan.

Hubungan Manusia dengan Lingkungannya

Pada teori konvergensi disebutkan bahwa lingkungan memiliki peranan penting dalam perkembangan jiwa manusia. Lingkungan tersebut terbagi dalam beberapa kategori yaitu:

  1. Lingkungan fisik,
    berupa alam seperti keadaan alam atau keadaan tanah serta musim;
  2. Lingkungan sosial,
    berupa lingkungan tempat individu berinteraksi. Lingkungan sosial dibedakan dalam dua bentuk, yakni lingkungan sosial primer dan sekunder. Lingkungan sosial primer adalah lingkungan yang anggotanya saling kenal, sementara itu lingkungan sosial sekunder adalah lingkungan yang hubungan antara anggotanya bersifat longgar.

Hubungan individu dengan lingkungannya juga memiliki hubungan timbal balik lingkungan mempengaruhi individu dan individu mempengaruhi lingkungan. Sikap individu terhadap lingkungan dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu:

  1. Individu menolak lingkungan jika tidak sesuai dengan yang ada dalam diri individu;
  2. Individu menerima lingkungan jika sesuai dengan yang ada dalam diri individu;
  3. Individu bersikap netral atau berstatus.

Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya (Warsah & Daheri, 2021, hlm. 182). Artinya, terdapat hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial

Dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain atau sebaliknya. Saat dialami, interaksi sosial terasa sederhana, kenyataannya interaksi sosial merupakan suatu proses yang kompleks. Oleh karena itu terdapat beragam faktor yang dapat mempengaruhi interaksi sosial yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Faktor Imitasi
    Gabrile Tarde berpendapat bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Meskipun terdengar sebagai pernyataan yang berat sebelah, kenyataannya faktor imitasi adalah faktor yang kuat dalam mempengaruhi interaksi sosial. Misalnya, jika kita mengamati bagaimana seorang anak belajar berbicara. Mula-mula, ia seakan-akan mengimitasi dirinya sendiri, ia mengulang-ulang bunyi kata tertentu hingga mulai meniru perkataan orangtuanya.
  2. Faktor Sugesti
    Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial hampir sama. Bedanya adalah bahwa dalam imitasi itu orang yang satu mengikuti sesuatu di luar dirinya. sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain di luarnya. Sugesti dalam psikolgi sosial dapat kita rumuskan sebagai suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu (Walgito, 2010 dalam Warsah & Daheri, 2021, hlm. 185).
  3. Faktor Identifikasi
    Faktor lain yang memegang peranan dalam interaksi sosial ialah faktor identifikasi. Identifikasi adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh Freud, seorang tokoh dalam psikologi dalam, khususnya dalam psikoanalisis. Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain. Dalam garis besar hal ini dapat ditempuh dengan dua cara, pertama dari pendidikan, anak mempelajari dan menerima norma-norma sosial itu karena orang tua dengan sengaja mendidiknya. Kedua dalam proses identifikasi ini seluruh norma-norma, cita-cita, sikap dan sebagainya dari orang tua sedapat mungkin dijadikan norma-norma, sikap-sikap dan sebagainya itu dari anak sendiri, dan anak menggunakan hal tersebut dalam perilaku sehari-hari.
  4. Faktor Simpati
    Simpati merupakan perasaan rasa tertarik kepada orang lain. Oleh karena simpati merupakan perasaan, maka simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan atas dasar perasaan atau emosi. Dalam simpati orang merasa tertarik kepada orang lain yang seakan-akan berlangsung dengan sendirinya, apa sebabnya merasa tertarik sering tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut. Di samping individu mempunyai kecenderungan tertarik pada orang lain, individu juga mempunyai kecenderungan untuk menolak orang lain, ini yang sering disebut antipati.

Interaksi Manusia dengan Alam

Interaksi manusia dengan lingkungan alam atau lingkungan hidup adalah interaksi manusia dengan segala sesuatu yang ada di sekitar kita, baik berupa benda hidup maupun benda mati, benda abstrak maupun benda nyata termasuk manusia lainnya serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi di antara elemen-elemen alam tersebut.

Dari definisi tersebut tampak bahwa lingkungan hidup atau lingkungan alam ini sangatlah luas pengertiannya. Untuk mengerucutkannya kita dapat membaginya menjadi beberapa kelompok utama lingkungan yang terdiri atas:

  1. lingkungan hidup (biotik) dan tak hidup (abiotik)
  2. LIngkungan alamiah dan Buatan manusia
  3. Lingkungan Prenatal, dan Postnatal
  4. Lingkungan Biofisis dan Psikososial

Hubungan manusia dengan alam ini juga telah memercikan banyak dialog dan pendapat dari para ahli yang beragam. Beberapa teori atau paham yang hingga kini menjadi pusat dialog utama mengenai hubungan manusia dengan alam adalah sebagai berikut.

  1. Paham Determinisme
    Charles Darwin dalam teori evolusinya berpendapat bahwa makhluk hidup secara berkesinambungan mengalami perkembangan yang dipengaruhi oleh alam. Selanjutnya menurut Ratzel, perkembangan populasi dan budaya berkembang ditentukan oleh kondisi alam pula. Elsworth Huntingon menyatakan iklim juga sangat menentukan perkembangan kebudayaan manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dan perilakunya sangat ditentukan oleh alam, dan inilah narasi utama dari paham determinisme.
  2. Paham Posibilisme
    Sementara itu paham posibilisme menyatakan bahwa alam tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan karena posibilitas memiliki alamlah yang didapatkan manusia. Manusia dapat mengontrol alam sesuai dengan kehendaknya.
  3. Paham Optimisme Teknologi
    Menurut paham ini, teknologi adalah tulang punggung pembangunan. Sebagai akibat dari kemajuan tekonlogilah kita dapat menguak berbagai rahasia alam untuk dimanfaatkan menjadi kesejahteraan manusia.
  4. Paham Keyakinan Tuhan
    Alam dan seisinya diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa dengan dibantu IPTEK disertai pemeliharaannya oleh manusia.

Referensi

  1. Saleh, A.A. (2018). Pengantar psikologi. Makassar: Penerbit Aksara Timur.
  2. Warsah, I., Daheri, M. (2021). Psikologi: suatu pengantar. Yogyakarta: Tunas Gemilang Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *