Pengertian Manajemen Konflik

Manajemen konflik adalah suatu pendekatan untuk menghindari serta mencegah perselisihan antaranggota organisasi serta dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pemecahan suatu masalah yang menyebabkan munculnya konflik (Nainggolan dkk, 2021, hlm. 126). Dengan demikian selain spesifik dapat menghindari konflik pada organisasi atau perusahaan, manajemen konflik juga dapat mengacu pada manajemen konflik di semua bidang baik itu dalam institusi pendidikan, rumah tangga, dll.

Esensi utama dari hal yang ingin diatur atau di-manage di sini adalah konflik itu sendiri. Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya (Sudarmanto dkk, 2021, hlm. 15). Sementara itu manajemen dalam konteks ini adalah suatu sikap atau proses untuk mengatur atau mengawasi (Fred dalam Sudarmanto dkk, 2021, hlm. 15). Dengan demikian manajemen konflik juga dapat didefinisikan sesederhana sikap dan proses untuk mengatur dan mengawasi pertentangan yang terjadi sebagai akibat dari kenyataan yang bertentangan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Sementara itu menurut Wirawan (dalam Kusworo, 2019, hlm. 9) manajemen konflik adalah proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Suatu konflik dapat ditengahi oleh pihak ketiga yang tidak memiliki konflik, dan tujuan dari manajemen konflik itu sendiri adalah untuk menghasilkan resolusi atau penyelesaian agar konflik tidak berlangsung terus-menerus.

Sedangkan menurut Sudarmanto dkk, 2021, hlm. 16 manajemen konflik adalah cara yang dapat digunakan dari pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga untuk menghadapi perselisihan antara dua orang atau lebih atau dua kelompok atau lebih supaya menemukan titik terang atas permasalahan tersebut. Cara yang digunakan merupakan suatu proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkan untuk mengendalikan konflik.

Dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik adalah suatu pendekatan untuk mencegah, mengatur, hingga memitigasi  suatu pertentangan yang terjadi antarpihak yang terlibat dalam konflik baik menggunakan bantuan pihak ketiga yang tidak terlibat konflik maupun pihak yang terlibat konflik sendiri untuk berproses dan berusaha menemukan resolusi atau titik terang atas pertentangan atau konflik itu sendiri.

Pendekatan Manajemen Konflik

Lebih lanjut Hendriks ( dalam Sudarmanto dkk, 2021, hlm. 15) menjelaskan bahwa manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerja sama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga melalui beberapa pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik, menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka memengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik itu sendiri. Adapun beberapa pendekatan manajemen konflik tersebut meliputi:

  1. Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras;
  2. Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai;
  3. Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihakpihak yang terlibat;
  4. Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan;
  5. Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

Dengan demikian manajemen konflik tidak hanya berarti suatu cara yang dilakukan untuk menghentikan konflik. Akan tetapi ruang lingkup manajemen konflik juga seluas dari pencegahan konflik itu sendiri, hingga berusaha mengubah konflik menjadi suatu kekuatan untuk mengadakan perubahan yang baik.

Ciri-ciri Konflik

Seperti apa wujud konflik itu sendiri? Apakah suatu pertentangan sesaat yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari juga dapat disebut sebagai konflik? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita memerlukan batasan jelas sebagai panduan untuk mengenali adanya suatu konflik. Adapun beberapa ciri atau karakteristik unik dari konflik adalah sebagai berikut.

  1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
  2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambisius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
  3. Munculnya interaksi yang sering kali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
  4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
  5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya (Sudarmanto dkk, 2021, hlm. 18).

Tahapan Terjadinya Konflik

Lantas kapan konflik ini terjadi? Seperti apa proses atau tahap-tahap terjadinya konflik sehingga kita tahu sedari kapan harus mulai dilakukan manajemen konflik untuk menghindari terjadinya konflik yang berlarut-larut dan berenergi positif. Menurut Fisher (dalam Sudarmanto dkk, 2021, hlm. 19) proses atau tahapan-tahapan ke arah terjadinya konflik adalah sebagai berikut.

  1. Konflik masih tersembunyi (laten).
    Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
  2. Konflik yang mendahului (antecedent condition).
    Merupakan tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
  3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict).
    Muncul sebagai akibat antecedent condition atau konflik yang pernah muncul sebelumnya dan tidak terselesaikan.
  4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior).
    Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
  5. Penyelesaian atau tekanan konflik.
    Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
  6. Akibat penyelesaian konflik.
    Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak.

Faktor Penyebab Konflik

Para sosiolog memandang bahwa masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia seperti aspek sosial, ekonomi dan kekuasaan (Farida dalam Sudarmanto dkk, 2021, hlm. 19). Contohnya seperti kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya yang kemudian akan menimbulkan masalah-masalah dalam masyarakat.

Lebih lanjut Negara (dalam Sudarmanto dkk, 2021, hlm. 20) menjelaskan bahwa pada dasarnya, secara umum penyebab konflik dapat terjadi sebagai akibat dari dua faktor berikut ini.

  1. Kemajemukan horizontal,
    yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.
  2. Kemajemukan vertikal,
    yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial karena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial.

Strategi Manajemen Konflik

Eisenhardt (dalam Nainggolan dkk, 2021, hlm. 128) berpendapat bahwa untuk menjaga kinerja individu seseorang dan kelompok kerjanya pada sebuah organisasi dibutuhkan suatu strategi manajemen konflik melalui lima aktivitas seperti menghindari, mengakomodasi, mengkompromikan, mengompetisikan dan berkolaborasi yang akan dijelaskan sebagai berikut.

  1. Menghindari (Avoiding)
    Menghindar adalah cara yang tepat untuk pencegahan suatu konflik. Ada kecenderungan seseorang untuk tidak terlibat dalam suatu konflik, mereka memilih untuk menghindarinya. Cara menghindar dari konflik adalah tidak ikut berpihak pada salah satu anggota yang sedang terlibat konflik, menciptakan suasana yang positif, toleransi terhadap berbagai perbedaan, menghargai pendapat orang lain, dan komunikasi yang baik. Dengan menerapkan hal tersebut maka konflik dapat dihindari dan dicegah.
  2. Akomodasi (Accomodating)
    Akomodasi memiliki makna upaya yang dilakukan untuk mengatasi pertentangan atau permasalahan tanpa menjatuhkan pihak lawan. Langkah akomodasi ini berfokus pada mengumpulkan seluruh pendapat, kebutuhan, dan juga kepentingan dari pihak yang berselisih untuk dicari jalan keluarnya dengan mengutamakan kepentingan dan tujuan bersama diatas kepentingan pribadi para anggota organisasi. Masukan dari berbagai pendapat yang diperoleh dijadikan sebagai dasar dari pengambilan keputusan untuk menyelesaikan konflik.
  3. Kompromi (Compromising)
    Kompromi merupakan usaha untuk mencapai kesepakatan antara pihak yang berselisih melalui proses komunikasi. Kesepakatan yang dicapai melalui kompromi diharapkan dapat menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan keinginan sebagai jalan tengah dari konflik yang terjadi. Melalui jalur kompromi, konflik dapat diselesaikan dengan mempertimbangkan keinginan serta pendapat dari pihak-pihak yang terlibat konflik sehingga hasilnya dapat diterima oleh semua pihak. Solusi yang dihasilkan melalui kompromi adalah hasil yang saling memuaskan antar pihak yang berselisih.
  4. Kompetisi (Competing)
    Kompetisi merupakan jalan keluar konflik yang adil. Melalui kompetisi pihak yang berselisih ditantang untuk bersaing secara sehat demi memenangkan hal yang dipertahankannya. Kompetisi berfokus pada kemenangan. Masing-masing pihak akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan persaingan. Kompetisi ini berfungsi untuk seleksi sosial. Dalam suatu konflik, kompetisi berperan sebagai alat penentu kebenaran dan kemenangan dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Kompetisi harus dilakukan secara bersih, jika terjadi kekerasan, ancaman, dan kecurangan dalam kompetisi maka hanya akan menambah panjang konflik tersebut. Penyelesaian konflik melalui kompetisi terkait dengan istilah win-lose orientation. Hanya kompetisi secara sehat yang dapat dijadikan jalan keluar dari sebuah konflik.
  5. Kolaborasi (Collaborating)
    Kolaborasi adalah bentuk interaksi sosial yang dilakukan dengan bekerja sama demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kolaborasi para pihak yang saling bertentangan harus bekerja sama secara sinergis untuk menyelesaikan konflik mereka. Tujuan dari kolaborasi adalah mencapai tujuan bersama. Kolaborasi dilakukan dengan pembagian tugas yang jelas antara pihak yang terkait dengan saling membantu antara pihak satu dengan pihak lainnya demi mencapai tujuan bersama.

Proses Manajemen Konflik

Manajemen konflik pada organisasi melibatkan diagnosis, intervensi, konflik itu sendiri, dan pembelajaran. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah proses manajemen konflik menurut Nainggolan dkk (2021, hlm. 130-134).

  1. Diagnosis
    Diagnosis atau diagnosa adalah langkah pertama dalam manajemen konflik. Diagnosis merupakan pengamalan dari masalah yang ada. Proses diagnosis menelaah tentang penyebab terjadinya konflik dan juga efek yang akan ditimbulkannya. Untuk melakukan diagnosis dibutuhkan informasi mendalam terkait dengan terjadinya konflik, seperti: penyebab konflik, kronologis terjadinya konflik, dan para pihak yang terlibat.
  2. Intervensi
    Setelah dilakukan diagnosis maka dapat diputuskan apakah tindakan selanjutnya membutuhkan intervensi ataukah tidak. Intervensi sangat dibutuhkan jika konflik yang terjadi melibatkan banyak orang dan rumit. Intervensi merupakan keikutsertaan seluruh warga organisasi dalam merencanakan proses pengembangan serta perbaikan organisasi berdasarkan hasil dari diagnosis masalah. Dalam praktik intervensi dibutuhkan peran dari pihak ketiga, baik dari unsur birokrat pemerintahan maupun dari unsur swasta atau konsultan. Tanpa adanya campur tangan dari pihak ketiga maka intervensi tidak dapat terjadi. Fungsi dari intervensi adalah penataan Kembali tugas dan fungsi dari sebuah organisasi agar tetap berjalan sesuai dengan perencanaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
  3. Konflik
    Konflik terkait dengan pendapat, ide, tindakan, dan sikap yang berlawanan dari kondisi ideal serta individu yang berbeda. Kehidupan berorganisasi tidak akan pernah lepas dari konflik. Namun terdapat pilihan antara masuk ke dalam konflik atau menghindari konflik. Jika memilih untuk ikut masuk dalam konflik maka harus dipastikan untuk mengambil langkah tepat untuk jalan keluarnya, jika tidak maka konflik akan menyebabkan penurunan kinerja organisasi. Setiap manusia dibekali dengan akal untuk memecahkan permasalahannya, jika tidak dapat diselesaikan sendiri maka dapat meminta pihak lain untuk membantu. Pada dasarnya semua permasalahan yang menyebabkan konflik pasti memiliki jalan keluar, semua anggota yang terlibat harus duduk bersama untuk mencari pemecahan yang tepat agar semua pihak dapat merasa senang dan tidak ada pihak yang dirugikan.
  4. Pembelajaran dan Efektivitas
    Pembelajaran dan efektivitas merupakan hasil dari manajemen konflik. Pembelajaran merupakan proses interaksi dalam menciptakan kegiatan belajar antara pendidik dan peserta didik. Dalam manajemen konflik, pembelajaran selalu dilakukan sebagai proses meningkatkan kinerja, terutama setelah terjadinya konflik. Pembelajaran dapat dilakukan mulai dari individu, kelompok, dan seluruh organisasi. Hasil akhir dari manajemen konflik adalah terjadinya proses pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas organisasi.

Manfaat Manajemen Konflik

Tujuan dari manajemen konflik adalah untuk mengajarkan keterampilan penyelesaian konflik, seperti mengelola konflik, meningkatkan kesadaran diri tentang berbagai format konflik dan menghasilkan komunikasi yang efektif saat dalam konflik dengan anggota tim. Selain memiliki tujuan positif, dan memiliki fungsi utama untuk menyelesaikan konflik, ada banyak sekali manfaat yang dapat dihasilkan dari manajemen konflik. Beberapa dari manfaat manajemen konflik tersebut menurut Nainggolan dkk (2021, hlm. 134) adalah sebagai berikut.

  1. Mengevaluasi Sistem
    Konflik dapat menentukan sistem yang diterapkan dalam sebuah organisasi berjalan dengan baik atau tidak. Adanya konflik menandakan terdapat celah kesalahan dalam sistem. Terlebih lagi jika sering terjadi konflik maka terdapat kesalahan dalam sistem yang diterapkan.
  2. Mengembangkan Kompetensi
    Penanganan konflik yang tepat melalui manajemen konflik dapat membantu pengembangan organisasi dan meningkatkan kompetensi para anggotanya. Konflik berperan sebagai ajang pembelajaran bagi para anggota yang terlibat, mereka dipaksa mempelajari berbagai hal seperti komunikasi yang baik, cara penanganan konflik, memecahkan sebuah masalah, pengambilan keputusan yang tepat, mencari alternatif solusi, dan hal lainnya untuk menangani konflik yang terjadi.
  3. Meningkatkan Produktivitas
    Penanganan konflik yang baik akan berujung pada peningkatan produktivitas. Kinerja dan produktivitas yang baik lahir dari sebuah organisasi yang sehat. Sangat penting untuk menjaga ketenangan dan ritme kerja untuk menghasilkan kinerja yang maksimal. Jika sebuah organisasi penuh dengan intrik dan konflik maka para anggotanya akan merasa stress dan tertekan sehingga akan berpengaruh terhadap performa kerjanya, namun dengan manajemen konflik yang baik semua permasalahan serta perselisihan dapat terselesaikan dengan baik sehingga ketenangan organisasi dapat terjaga.
  4. Melatih Kemampuan Mengelola Konflik
    Konflik akan terus muncul selama organisasi ada, jenis konflik yang muncul akan beragam bahkan tidak menutup kemungkinan konflik yang sama akan muncul lagi di kemudian hari. Oleh karena itu manajemen konflik dapat melatih kemampuan para pemimpin dan anggota organisasi dalam mengelola berbagai mengelola berbagai jenis konflik yang ada. Mencari penyelesaian konflik yang tepat dan dapat diterima oleh semua pihak tidaklah mudah, dibutuhkan kemampuan memimpin yang baik, empati yang tinggi, kepekaan terhadap lingkungan, serta kemampuan menganalisis kondisi sekitar.
  5. Mengelola Risiko
    Kemampuan dalam penguasaan manajemen konflik sangat penting bagi para pemimpin organisasi. Melalui manajemen konflik pemimpin dapat menganalisis risiko yang diperkirakan akan muncul, sehingga dapat dilakukan langkah pencegahannya. Dengan prediksi dan kemampuan mengelola risiko yang akan muncul maka konflik dapat dihindari. Jika risiko dari suatu pekerjaan muncul di tengah berjalannya aktivitas kerja maka penanganan kelola risiko yang baik dapat mencegah terjadinya konflik yang lebih luas.

Referensi

  1. Kusworo. (2019). Manajemen konflik dan perubahan dalam organisasi. Sumedang: Alqaprint Jatinangor.
  2. Nainggolan, N.T., dkk. (2021). Komunikasi organisasi: teori, inovasi dan etika. Medan: Yayasan Kita Menulis.
  3. Sudarmanto, E., dkk. (2021). Manajemen konflik. Medan: Yayasan Kita Menulis.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *