Pengertian Nativisme

Nativisme adalah teori yang beranggapan bahwa kepribadian terbentuk oleh sifat bawaan, keturunan dan kebakaan sebagai penentu timbulnya tingkah laku seseorang (Lubis, 2020). Aliran ini dapat dikatakan menjadi kebalikan dari aliran empirisme. Perbedaan utama dari empirisme dan nativisme adalah nativisme menitik beratkan penentuan tingkah laku dari sudut lingkungan (nenek moyang) sebelum dilahirkan, sedangkan emipirisme menitikberatkan setelah anak dilahirkan.

Istilah nativisme berasal dari kata “natus” yang berarti “lahir”, atau “nativis” yang berarti “pembawaan”. Dengan demikian secara etimologis nativisme dapat diartikan sebagai memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Disebutkan bahwa pembawaan itu ada yang baik dan ada yang buruk. Nativisme adalah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap pemikiran Psikologi.

Sementara itu menur Sakti (2019, hlm. 15) aliran nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aliran ini berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir dan wataknya tidak bisa dipengaruhi oleh lingkungan serta ditentukan oleh anak didik itu sendiri.

Sedangkan menurut Amanudin (2019, hlm. 67) nativisme adalah aliran yangberpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah di tentukan oleh faktor-faktor yang di bawa manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada waktu lahir itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Dengan kata lain, lingkungan, keadaan sosial, budaya, bahkan pendidikan dianggap tidak berpengaruh sama sekali.

Seperti yang diungkapkan oleh Schopenhour (dalam Saleh, 2018, hlm. 144) bahwa nenurut teori ini sewaktu individu dilahirkan telah membawa sifat-sifat tertentu, dan sifat inilah yang akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan, sedangkan faktor lain yaitu lingkungan, termasuk di dalamnya pendidikan dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap perkembangan individu itu.

Kemunculan Nativisme

Teori nativisme muncul dari filsafat nativisma (terlahir) yaitu suatu bentuk filsafat yang menyatakan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh faktor pembawaan sejak lahir dan faktor alam yang kodrati. Nativisme dipelopori oleh Arthur Schopenheur (1788-1780) seorang filosof Jerman yang berpendapat bahwa “mendidik merupakan membiasakan seseorang menumbuhkan dan membesarkan serta mengembangkan potensi-potensi yang dibawa anak sejak lahir”.

Inti ajarannya adalah bahwa perkembangan seseorang merupakan produk dari faktor pembawaan yang berupa bakat. Aliran ini disebut juga dengan aliran pesimistik, karena pandangannya yang menyatakan bahwa orang yang berbakat tidak baik akan tetap tidak baik,sehingga tidak perlu dididik untuk menjadi baik. Namun demikian aliran ini berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan pembawaan seseorang maka tidak akan ada gunanya.

Meskipun terdengar tidak rasional dan sangat mengekslusifkan potensi manusia karena harus dilahirkan sempurna, teori ini tetap membawa beberapa fakta yang hingga kini digunakan. Misalnya, bagaimana faktor genetik adalah faktor nyata yang memang akan mempengaruhi perkembangan peserta didik. Akan tetapi, faktor perkembangan kepribadian dan tumbuh kembang manusia tidaklah hanya pada faktor bawaan.

Bahkan, teori behaviorisme juga secara tidak langsung menentang aliran ini dengan menyatakan bahwa hanya lingkunganlah yang justru membentuk kepribadian individu. Argumennya adalah jika seorang anak berkebudayaan dan berkebangsaan tertentu dipindahkan dari orangtua dan lingkungannya, maka anak tersebut sama sekali tidak akan memiliki kepribadian orang tua, budaya, atau bahkan bangsanya sendiri, apalagi jika lingkungan tempat di mana ia dipindahkan sangatlah terisolasi dari lingkungan asalnya.

Inti Pribadi

Terdapat satu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni bahwa dalam diri individu terdapat satu inti pribadi yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas. Pandangan-pandangan tersebut tampak antara lain adalah psikologi humanistik Carl R. Rogers, maupun pandangan phenomenology/humanistik lainnya.

Pengalaman belajar ditentukan oleh “internal frame of refrence” yang dimilikinya. Terdapat variasi pendapat dari pendekatan phenomenology/humanistik tersebut sebagai berikut.

  1. Pendekatan aktualisasi diri atau non-direktif (client centered) dari Carl R. Rogers dan Abraham Maslow.
  2. Pendekatan “personal construct” dari George A. Kelly yang menekankan betapa pentingnya memahami hubungan “transaksional” antara manusia dan lingkungannya sebagai bekal awal memahami prilakunya.
  3. Pendekatan “Gestalt”, baik yang klasik maupun pengembangan selanjutnya.
  4. Pendekatan “search for meaning” dengan aplikasinya sebagai “Logotherapy” dari Viktor Franki yang mengungkapkan betapa pentingnya semangat (human spirit) untuk mengatasi berbagai tantangan/masalah yang di hadapi.

Pewarisan dalam Nativisme

Menurut Rajab (dalam Lubis, 2020) dalam nativisme, ada lima pembawaan yang diwariskan orang tua kepada anaknya yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Pewarisan yang bersifat jasmaniah seperti warna kulit,bentuk tubuh,dll.
  2. Pewarisan yang bersifat intelektual seperti kecerdasan dan kebodohan.
  3. Pewarisan yang bersifat tingkah laku.
  4. Pewarisan yang bersifat alamiah (internal).
  5. Pewarisan yang bersifat sosiologis (eksternal).

Perkembangan Manusia menurut Nativisme

Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi perkembangan manusia dalam teori nativisme adalah sebagai berikut.

  1. Faktor genetik,
    yaitu faktor gen dari kedua orang tua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri anak. Contohnya adalah jika kedua orangtua anak itu seorang yang pandai maka anaknya memiliki pembawaan sebagai seorang yang pandai pula.
  2. Faktor kemampuan anak,
    yaitu faktor yang menjadikan seorang anak dapat mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya.
  3. Faktor pertumbuhan anak,
    yakni faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minat di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia akan bersikap energik, aktif dan responsif terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya,jika pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut tidak bisa mengenal bakat dan kemampuan yang dimiliki (Lubis, 2020).

Menurut Monad (dalam Lubis, 2020) teori nativisme beranggapan bahwa di dalam diri individu manusia terdapat suatu inti pribadi. Dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat, sehingga setiap manusia akan memiliki beberapa pembawaan sebagai berikut.

  1. Mampu memunculkan bakat yang dimiliki,seorang anak bisa mengoptimalkan bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya.
  2. Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi,tantangan zaman yang selalu berkembang dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul daripada yang lain,sehingga diharapkan setiap manusia bisa lebih kreatif dan inovatif dalam perkembangan bakat dan minat menjadi manusia yang berkompeten yang bisa bersaing dalam menghadapi tantangan zaman.
  3. Mendorong manusia dalam menentukan pilihan Hidup adalah pilihan,dalam hal ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut karena meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalah yang terbaik untuk dirinya.
  4. Mendorong manusia mengenal bakat minat yang dimiliki,semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan bakatnya sehingga bisa lebih optimal.

Referensi

  1. Amanudin. (2019). Pengantar ilmu pendidikan. Pamulang: Unpam Press.
  2. Lubis, S. (2020). Dasar-dasar pendidikan. Padang Sidempuan: IAIN Padang Sidempuan.
  3. Sakti, S.A. (2019). Bahan ajar mata kuliah pengantar pendidikan. Yogyakarta: Universitas PGRI Yogyakarta.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *