Perbedaan Subjek dan Objek itu sebetulnya cukup sederhana. Bedanya, Subjek adalah seseorang yang melakukan suatu aktivitas. Sementara Objek adalah suatu benda yang dilibatkan dalam suatu aktivitas. Kata kerja yang dilakukan Subjek terhadap Objek disebut Predikat.

Contoh Kalimat: Raka menendang bola hingga masuk ke gawang

Subjek: Raka

Objek: bola

Predikat: menendang

Keterangan: hingga masuk ke gawang

Namun di balik kesederhanaan ini, sebetulnya timbul banyak masalah jika banyak orang yang tidak memahami atau mengacuhkannya.

Kurangnya Sensitivitas Perbedaan Objek dan Subjek

Rasanya masyarakat Indonesia masih banyak yang belum mengerti atau kurang acuh mengenai perbedaan subjek dan objek. Buktinya bisa dilihat dari banyaknya yang memilih menggunakan istilah “Objek” ketimbang Subjek, padahal sesuatu yang dirujuknya adalah manusia. Misalnya:

  1. Objek lukisan saya adalah seorang wanita yang tak lain merupakan ibu kandung saya sendiri
  2. Objek penelitian kami adalah siswa kelas VII di SMP X Bandung

Ya, seharusnya istilah yang digunakan adalah “subjek” karena kedua kalimat di atas merujuk pada seseorang atau lebih; manusia. Kebiasaan seperti itu masih banyak ditemui bahkan ketika kita berbicara dalam pembicaraan sehari-hari dengan bahasa yang kasual. Figur publik juga masih banyak yang berbicara seperti itu.

Lalu mengapa kesalahan berbahasa sesederhana itu dampaknya luar biasa? Karena kita membendakan seseorang. Membendakan seseorang sama saja dengan kita tidak menghargai perasaan dan jiwanya. Sepele dalam dampak pendeknya, tidak ada masalah sebetulnya, apalagi jika kita berbicara pada kerabat sebaya.

Akibat fatalnya adalah dampak jangka panjang yang berada di alam bawah sadar kita, seperti yang akan dijelaskan pada beberapa pemaparan di bawah ini.

Dampak Ketidakmelekan Perbedaan Subjek dan Objek

Salah satu contoh nyata dari masalah besar yang dapat ditimbulkan oleh tidak meleknya seseorang terhadap perbedaan subjek dan objek adalah kurang pekanya masyarakat terhadap issue global objektifikasi perempuan.

Objektifikasi Perempuan

Objektifikasi perempuan adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada permasalahan sikap dasar seorang pria yang menyepelekan perempuan. Sebetulnya jika seseorang telah sepenuhnya memahami dan mengerti apa itu makna “Objek” maka secara otomatis ia akan tau apa yang dimaksud dengan objektifikasi perempuan.

Objektifikasi perempuan berarti membendakan perempuan, seolah-olah perempuan hanyalah benda (objek) mainan untuk para pria. Memang pada dasarnya seorang pria akan memiliki ketertarikan seksual pada wanita. Tetapi hal tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan objektifikasi perempuan.

Misalnya, menyiuli perempuan ketika tengah berjalan di trotoar, memberikan komentar kurang sopan di akun sosial media seorang perempuan, dsb. Hal-hal seperti itu dipicu oleh ketidakmengertian banyak pria terhadap issue objektifikasi perempuan yang bermula dari ketidakpahaman mereka mengenai apa itu Objek dan Subjek.

Self Objectification

Bukan hanya di pihak pria, meskipun lebih jarang terjadi, objektifikasi pada pria juga sangat memungkinkan. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidakpahaman perempuan terhadap istilah Objek juga dapat menghasilkan tindakan Objektifikasi diri sendiri (self-objectification).

Ya, perempuan secara tidak sadar menganggap diri mereka adalah benda yang harus selalu tampil cantik dan prima dihadapan pria dengan cara apapun, bahkan ketika hati nurani mereka juga sebetulnya tidak ingin melakukannya. Seorang perempuan dapat tampil cantik tanpa pensil alis tebal atau bulu mata palsu bukan? Pikiran rasional begitu tidak akan hadir ketika seorang perempuan dalam keadaan self-objectification.

Hal ini terjadi ketika perempuan terus menerus memperhatikan penampilannya dan selalu berusaha untuk sempurna, bukan hanya ideal. Jika dibiarkan, hal itu dapat mengganggu kepercayaan diri seseorang, terlebih ketika perempuan itu merasa tidak bisa memenuhi ekspektasi sekitar tentang penampilan dirinya.

Lagi-lagi sepele bagi kebanyakan orang, tetapi tidak bagi orang-orang yang memang dari awal sudah rentan mengalami gangguan mental. Faktanya, kondisi kejiwaan setiap manusia memiliki daya tahan atau sensitifitas yang berbeda-beda, sama seperti daya tahan tubuh manusia yang berbeda-beda pula dalam menangkal penyakit fisik.

Seruan “Stop Objektifikasi Perempuan” tidak akan direcap dengan sempurna jika kita mengacuhkan makna Objek. Padahal seruan itu adalah issue besar yang tengah menjadi perbincangan dunia.

Prancis telah mengeluarkan peraturan yang menjamin pelaku objektifikasi seksual didenda sampai 750 euro atau setara dengan 12 juta rupiah. Peraturan ini disahkan menyusul viralnya video perempuan Prancis korban Objektifikasi yang dipukul oleh pelaku ketika melawan pada tahun 2018.

Merendahkan Martabat Seseorang

“Bu Selvi, pake babysitter ga? Aku bingung nih, kepikiran mau pake babysitter tapi mau minta saran dulu”

Babysitter dianggap objek di sini. Padahal babysitter adalah profesi yang dilakukan oleh seorang insan. Secara tidak sadar kita telah mendukung pergerakan objektifikasi secara umum. Kebiasaan salah dalam penggunaan objek dan subjek ini akan diturunkan pada generasi baru yang ada disekitar kita. Manusia itu mahluk peniru.

Miskomunikasi

Komunikasi adalah kunci dari kehidupan sosial yang ideal. Kita harus berkomunikasi verbal hampir diseluruh aspek kehidupan kita, baik untuk bekerja dan bertahan hidup, maupun mengobrol kasual dengan teman-teman.

Tanpa benar-benar memperhatikan mana yang objek dan mana yang subjek, proses komunikasi akan menjadi lebih sulit dan terhambat.

“Ambilin itunya dong, di atas”. Itunya apa? di atas itu di mana lantai atas atau di atas suatu benda? Untuk penutur mungkin Objeknya sudah jelas, karena ia membayangkannya, untuk yang mendengar? Komunikasi seperti ini akan berujung pada kekesalan penuturnya karena menganggap lawan komunikasinya tidak cekatan atau bahkan dilabeli “lelet”, padahal dia sendiri yang tidak jelas, tapi tidak merasa.

Jika objek adalah istilah khusus yang memang sulit untuk dimengerti, maka itu tandanya literatur penuturnya kurang, sehingga ia tidak tahu apa terminologinya. Di sini upgrade pengetahuan terminologi juga dibutuhkan, bukan hanya kemelekan terhadap perbedaan subjek dan objek.

Kesimpulan

Intinya, sebetulnya kita tidak harus menjadi penutur bahasa baku dan menggunakan kalimat sempurna disetiap ucapan kita. Hal tersebut tidak praktis, dan dalam kebanyakan kasus sehari-hari hanya akan menimbulkan gap atau batas yang menghambat keakraban. Penggunaan bahasa baku atau bahasa formal itu ada waktunya, tapi setidaknya perhatikan objek dan subjek yang jelas di setiap perkataan kita.

“Bu Selvi pake jasa babysitter ga?”

“Ambilin tutupnya dong di lantai atas”

Banyak kekacauan besar lainnya yang dapat terjadi karena hal sepele seperti kebiasaan cara kita untuk bertutur dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa budaya tutur kita tidak diimbangi oleh budaya literasi yang cukup.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *