Pengertian Sistem Hukum

Sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan hukum (Hartanto, 2022, hlm. 75). Penulisan yang dimaksud tentunya adalah rangkaian perancangan yang dilakukan untuk menentukan rencana, pola, dan berbagai konteks yang menyusun sistem itu sendiri.

Menurut menurut Tarigan (dalam Hartanto, 2022, hlm. 76) “Sistem” berasal dari perkataan “Systema” dalam Bahasa Latin-Yunani yang artinya keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian. Dengan kata lain, sistem adalah sesuatu yang terdiri atas banyak unsur yang bersatu. Seperti yang diungkapkan oleh Hasanah (2022, hlm. 108) bahwa sistem adalah sesuatu yang bersifat menyeluruh dan berstruktur.

Sementara itu, menurut Syamsudin (dalam Hartanto, 2022, hlm. 76) sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses); masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung. Artinya, masing-masing unsur dari suatu sistem sangatlah terkait satu sama lain, dan bagian keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika dipisahkan.

Sistem biasa digunakan untuk menghadapi berbagai situasi atau lingkungan kompleks yang dapat ditarik pola atau cara penyelesaiannya. Dengan demikian, hukum merupakan salah satu fenomena yang bisa mendapatkan banyak keunggulan apabila dibuat sistemnya.

Sedangkan menurut Hasanah (2022, hlm. 108) sistem hukum adalah struktur yang menyeluruh dari elemen-elemen hukum. Adapun yang termasuk elemen hukum adalah aturan-aturan hidup yang terjadi karena perundang-undangan, keputusan-keputusan hakim, dan kebiasaan. Berbicara soal kebiasaan tersebut, Sulaiman (2019, hlm. 277) juga mengungkapkan pendapat senada, bahwa sistem hukum dipengaruhi oleh suatu peradaban yang mempunyai pola, norma, pengaturan yang diambil (diadopsi) oleh suatu perdaban lain dalam pergaulan bermasyarakat dunia.

Berdasarkan pendapat para ahli mengenai pengertian sistem hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem sistem hukum adalah sekumpulan elemen-elemen hukum yang saling bergantung dan berinteraksi serta memiliki pola tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu di dalam lingkungan yang kompleks yang akan dipengaruhi oleh pola, norma, serta pengaturan dari suatu peradaban dunia.

Unsur Sistem

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sistem terdiri atas beberapa unsur bertaut yang saling berinteraksi satu sama lain. Menurut Hartanto (2022, hlm. 76) beberapa unsur sistem tersebut berkarakteristik:

  1. Adanya interaksi atau hubungan antara elemen-elemen;
  2. Adanya sesuatu yang mengikat elemen-elemen tersebut menjadi satu kesatuan;
  3. Terdapat tujuan bersama sebagai hasil akhir;
  4. Berada dalam suatu lingkungan yang kompleks.

Karakteristik/Ciri Sistem

Dari pengertian sistem di atas, tentunya kita juga akan mendapati bahwa definisi sistem itu ternyata tidaklah sederhana. Untuk memperkuat pemahaman mengenai sistem itu sendiri, maka kita dapat menelisik beberapa karakter atau ciri-ciri dari sistem yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Sistem itu berorientasi pada tujuan.
  2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya.
  3. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya (keterbukaan sistem).
  4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (transformasi).
  5. Masing-masing bagian harus cocok dengan yang lain (keterhubungan).
  6. Adanya kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol) (Sulaiman, 2019, hlm. 277).

Sistem-Sistem Hukum

Lantas sebetulnya seperti apa sistem hukum itu sendiri? Di dunia ini telah banyak sekali bermacam sistem hukum yang telah dibentuk atau terbentuk dengan sendirinya sering terjadinya hubungan antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Beberapa sistem-sistem hukum tersebut meliputi:

  1. Civil law (Eropa Continental),
  2. Common Law (Englo saxon),
  3. Islamic Law (Hukum Islam/Syariah),
  4. Natural Law (Hk. Kebiasaan/”Hk. Adat”),
  5. Scandinavia System,
  6. China System,
  7. Egypt System,
  8. Buginis System – (La Galigo dan Amanna Gappa).

Berikut adalah beberapa pemaparan beberapa sistem-sistem hukum yang berlaku di dunia.

Sistem Hukum Eropa Kontinental

Sistem Hukum Eropa Kontinental berkembang di Negara-Negara Eropa daratan dan sering disebut civil law (Hartanto, 2020, hlm. ). Sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kaisar yustianus pada abad V sebelum masehi. Kodifikasi hukum itu merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustianus yang disebut Corvus Iuris Civilis.

Corvus Iuris Civilis dijadikan dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika latin, Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Prinsip dasar sistem Eropa kontinental adalah bahwa hukum itu memperoleh kekuatan yang mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk Undang-Undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.

Kepastian hukumlah yang menjadi tujuan hukum. Kepastian hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis. Penggolongan sistem Eropa Kontinental dibagi menjadi dua yaitu:

  1. Hukum Publik,
    yang mengatur wewenang negara/ penguasa serta hubungan antara masyarakat dengan negara atau sebaliknya.
  2. Hukum Privat,
    mengatur hubungan antara individu dengan individu dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Sistem Hukum Anglo Saxon

Sistem Hukum Anglo Saxon berkembang di Negara Inggris Pada Abad XI Masehi dan dikenal dengan istilah Common Law atau Unwritten Law (hukum tidak tertulis) (Hartanto, 2022, hlm. 79). Sebutan hukum tidak tertulis ini tidaklah mutlak, karena sumber hukum dari Common Law itu sendiri ada sebagian yang tertulis. Sistem hukum ini dianut oleh negara-negara bekas jajahan dari Inggris itu sendiri yaitu Amerika Utara, Kanada, Amerika Serikat. Sesuai dengan perkembangannya sistem Anglo-Saxon menjadi hukum positif di negara Amerika Utara, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Asia, dan semua negara pemakmuran Inggris. Sistem hukum ini bersumber kepada keputusan-keputusan hakim maupun putusan-putusan pengadilan atau yurisprudensi.

Pada sistem Hukum Anglo-Saxon juga mengenal pembagian terhadap hukum privat dan hukum publik. Pengertian hukum publik sama dengan pengertian hukum pada sistem Hukum Eropa Kontinental, sedangkan arti hukum privat pada sistem hukum Anglo-Saxon lebih memfokuskan kepada hak milik orang dan perbuatan melawan hukum.

Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat umumnya bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang timbul dan berkembang serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum masyarakatnya (Hartanto, 2022, hlm. 80). Sifat hukum adat adalah tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyang. Titik hukum yang akan dilakukan oleh manusia adalah kehendak suci dari nenek moyang.

Hukum adat berubah karena pengaruh dan keadaan sosial yang silih berganti. Karena sifatnya mudah berubah dan mudah menyesuaikan dengan perkembangan situasi sosial. Hukum adat elastis sifatnya karena sumbernya tidak tertulis, hukum adat tidak kaku dan mudah menyesuaikan diri. Walaupun hukum adat tidak tertulis namun keberadaannya dalam masyarakat sering kali lebih dominan karena lebih ditaati daripada hukum tertulis.

Menurut Abdoel (dalam Hartanto, 2022, hlm. 81) sistem hukum adat Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.

  1. Hukum adat mengenai tata Negara,
    yaitu mengatur tata susunan dan ketertiban dalam persekutuan hukum serta susunan lingkungan kerja alat pelengkap masyarakat adat.
  2. Hukum adat mengenai warga,
    yang terdiri dari hukum pertalian sanak (kekerabatan), hukum tanah dan hukum perutangan.
  3. Hukum adat mengenai delik (pidana),
    yang berperan dalam menjalankan hukum adat adalah pemuka adat (pengetua – pengetua adat) karena ia adalah pemimpin yang disegani oleh masyarakat.

Sistem Hukum Islam

Sistem Hukum Islam memiliki tiga istilah yang dikenal saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu Syari’ah, Fiqih, dan Hukum.

  1. Syari’ah (syariat)
    Secara terminologis, Muhammad Ali Al-Sayis mengartikan Syariah (Syariat) dengan “Jalan Lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi hukum-hukum syariah mengenai perbuatan (manusia) yang dihasilkan dalil-dalil terinci yang dimaksud ialah apa yang diperbolehkan dari ayat-ayat alquran dan hadis Nabi Muhammad Saw. Yang sahih pengertian lain yang diberikan ulama ialah hukum-hukum yang bersumber dari Allah Swt. Untuk hamba-hambanya yang dibawa oleh seorang rasul (Nabi Muhammad Saw), baik hukum yang berkaitan dengan cara berperilaku (hukum-hukum cabang) yang dihimpun dalam ilmu fikih maupun berkaitan dengan mengadakan kepercayaan-kepercayaan (hukum-hukum pokok) yang dihimpun dalam ilmu kalam. Syariat juga disebut dengan agama (ad-din atau al-millah). Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan atas dapat diperoleh rumusan bahwa syariat adalah aturan-aturan yang berkenaan dengan perilaku manusia, baik yang berkenaan dengan hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari Alquran dan hadis Nabi Muhammad Saw. Perlu dipahami bahwa meskipun syariat itu dalam berbagai situasi dan kondisi, sebab petunjuk-petunjuk yang bersifat tajally dapat membawa ke jalan lurus.
  2. Fiqih (fiqh)
    Secara terminologis, Abd Al-Wahab Khalaf mendefinisikan Fiqh (fikih) dengan pengetahuan tentang hukum-hukum syariah mengenai perbuatan (manusia) yang dari dalil-dalil yang terinci. Selanjutnya Al-jurjani mengatakan bahwa fikih adalah usaha yang dihasilkan oleh pikiran atau ijtihad melalui analisis dengan perenungan. Pengertian itu jika dikaitkan dengan pengertian sebelum, dapat disimpulkan bahwa fikih adalah hasil analisis para ulama yang berdasarkan pada kaidah-kaidah usul dalam mengistinbatkan hukum-hukum syariah dan hasil analisis itulah yang disebut dengan fikih.
  3. Hukum
    Secara terminologis, ulama usul fikih mendefinisikan hukum dengan titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang – orang mukalaf (mukallaf) baik berupa tuntutan, pilihan, ataupun larangan. Sedangkan, ulama fikih mengartikannya dengan efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan manusia seperti: wajib, haram dan boleh. Dengan pengertian yang diberikan ulama usul fikih di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “hukum” oleh ulama fikih adalah kewajiban menaati titah tersebut. Misalnya kewajiban mendirikan salat, ulama usul fikih menanggapi nas dari pemerintah mendirikan salat itu sebagai hukum, sementara ulama fiqih menanggapi kewajiban yang ditimbulkan oleh nas tentang perintah mendirikan salat itu sebagai hukum. Namun meskipun terjadi perbedaan redaksional antara ulama usul dan ulama fikih dalam mendefinisikan kata “hukum” tetapi inti dari redaksi itu searah yakni menghendaki agar setiap titah Allah Swt wajib ditaati (Hartanto, 2022, hlm. 83).

Referensi

  1. Hartanto. (2022). Pengantar ilmu hukum. Medan: Umsu Press.
  2. Sulaiman, A. (2019). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: UIN Jakarta & YPPSDM Jakarta.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *