Sosiokultural adalah teori, pendekatan, atau perspektif yang menganggap sumber utama dari perilaku sosial bukan berasal dari dalam diri individu, melainkan dari kelompok sosial, lingkungan dan budaya yang menyelubunginya. Bukan individu yang memiliki perilaku unik, melainkan keadaan sosial di sekitarnyalah yang membangun seorang individu sehingga memiliki perilaku tersebut. Oleh karena itu teori sosiokultural juga sering disebut sebagai teori konstruktivisme sosial.

Lingkungan ini tidaklah terpaku pada alam benda atau lokasi seseorang tinggal saja. Justru berbagai asupan akal budinyalah yang akan memengaruhi perilaku seseorang. Misalnya, orang-orang yang tinggal di kawasan atau lingkungan tidak baik, kemungkinan akan menjadi tidak baik. Namun bisa saja ada satu atau dua orang di kawasan tersebut yang tidak ikut menjadi tidak baik karena ia lebih banyak mendapatkan asupan akal budi di luar tempat tinggalnya. Saat itu terjadi, ia bisa saja tidak mendapatkan pengaruh sama sekali dari lingkungan tempat tinggalnya yang tidak baik.

Namun kelompok sosial dan budaya tetaplah membentuk perilaku orang yang tidak ikut-ikutan menjadi tidak baik di tempat tinggalnya tersebut. Berbagai pengaruh kelompok sosial, dan budaya itu bisa datang dari sekolah, media sosial, dan lingkungan sosial lain di mana orang tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bernaung.

Dengan demikian persoalan kelompok sosial dan budaya ini tidak melulu mengenai di mana seseorang tinggal, melainkan harus dilihat juga riwayat hidupnya, apakah ia sehari-hari tinggal di kawasan tidak baik namun justru menghabiskan waktunya di luar atau lebih banyak bergaul dengan orang-orang di luar negeri lewat bantuan teknologi komunikasi.

Persoalan teori sosiokultural ini juga telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang bahkan ilmu terapan seperti manajemen dan bisnis. Para ahli yang mengembangkan teori ini juga telah memberikan banyak pandangan dan perspektif dari berbagai sudut pandang. Berikut adalah beberapa pendapat para ahli mengenai teori sosiokultural.

Sosiokultural Edward Alsworth Ross

Teori sosiokultural berasal dari kajian sosiologi dan antropologi namun digunakan juga sebagai perspektif atau sudut pandang dalam kajian lain seperti psikologi (khususnya psikologi sosial) dan pendidikan untuk menjelaskan proses belajar dalam konteks sosial.

Pada tahun 1908 lahir publikasi buku pertama dari dua buku yang berjudul “Social Psychology” yang ditulis oleh seorang sosiolog bernama Edward Alsworth Ross. Ross melihat bahwa sumber utama dari perilaku sosial bukan berasal dari dalam diri individu melainkan dari kelompok sosial. Ross berpendapat bahwa orang-orang sering kali terbawa arus sosial, seperti penyebaran emosi dalam sebuah kerumunan (crowd) atau epidemik emosi religius.

Ross memberikan contoh seperti insiden the Dutch tulip craze di tahun 1634. Pada kejadian Tersebut, banyak orang menjual rumah dan tanahnya untuk membeli akar bunga tulip yang nilainya lebih mahal dari emas, namun akhirnya menjadi tidak berharga saat kegilaan (craze) ini berhenti (Kenrick dkk, 2002 dalam Maryam 2018, hlm. 18).

Kejadian serupa pernah terjadi juga di Indonesia. Pada tahun 2000, ikan louhan dianggap pembawa berkah sehingga menyebabkan orang-orang berani membeli dengan harga yang sangat mahal. Bahkan ada orang yang membeli ikan tersebut dengan harga 25 juta rupiah. Harga itu tentunya sangat fantastis bagi masyarakat apalagi di tahun krisis moneter yang masih menghantui. Setelah orang-orang jenuh, sekitar akhir tahun 2003, ikan tersebut sudah tidak semahal itu lagi di pasaran. Seperti tulip di Belanda, ikan Louhan juga akhirnya mengalami koreksi harga.

Untuk menjelaskan fenomena “kegilaan” di atas, Ross lebih melihat pada unsur kelompok sebagai keseluruhan daripada unsur psyche (jiwa) individual anggota kelompok. Ross melihat bahwa bahwa kegilaan (craze) dan mode (fads) sebagai produk dari “pikiran massa” (mob mind) yang menyebabkan ketertarikan irasional dan hilangnya perasaan maupun pikiran individual karena adanya sugesti dan imitasi (Kenrick kk, 2002 dalam Maryam, 2018, hlm. 18).

Sosiokultural Sumner

Seperti Ross, ahli sosiologi lain yang bernama Sumner (1906) mengembangkan teorinya pada kelompok sosial yang lebih besar, dari kelompok tetangga menuju ke kelompok etnik dan kelompok partai politik. . Teori ini terus berlanjut dalam perspektif sosiokultural modern, yang melihat bahwa prasangka seseorang, preferensi, dan persuasi politik disebabkan karena beberapa faktor, seperti nasionalitas, kelas sosial, dan tren sejarah yang berkembang.

Teori sosiokultural fokus pada pentingnya norma sosial (social norms) atau aturan tentang perilaku yang sesuai. Perspektif ini berpusat pada konsep budaya (culture), di mana kita dapat mendefinsikan secara lebih luas sebagai keyakinan (belief), adat (customs), kebiasaan (habits) dan bahasa yang dikembangkan secara bersama-sama oleh orang-orang dalam waktu dan tempat tertentu.

Menurut Smith dkk (dalam Maryam, 2018, hlm. 19) budaya (culture) mencakup semua fitur lingkungan hasil rekayasa manusia, seperti fitur obyektif (rumah, baju) dan fitur subyektif (etika, nilai, kriteria untuk stylish). Seperti yang Anda lihat nanti, kajian tentang kelompok, budaya dan norma sosial berkembang sebagai peminatan utama dalam psikologi sosial.

Sosiokultural Vygotsky

Lev Vygotsky menyatakah bahwa jalan pikiran seseorang haruslah dipahami dari latar belakang sosial-budaya (sosio kultural) dan sejarahnya. Ia tidak percaya bahka kita dapat menelusuri jalan pikir seseorang melalui kajian apa yang ada dibalik otak dan jiwanya, karena hal tersebut tidak dapat dilihat atau diteliti secara langsung. Vygotsky lebih memilih untuk menelusuri asal-usul tindakan sadar yang dilakukan dari interaksi sosial yang dilatari oleh riwayat kehidupan seseorang.

Pandangan tersebut disebut sociocultural-revolution, yakni pandangan revolusioner yang percaya bahwa untuk memahami pikiran seseorang bukanlah dengan cara menelusuri apa yang ada di balik otak dan kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya dan dari interaksi sosial yang dilatari oleh riwayat atau sejarah hidupnya (Moll & Greenberg, 1990).

Teori sosiokultural Vygotsky menekankan pentingnya perkembangan kecerdasan atau kognisi individu melalui kultur dan masyarakat. Perkembangan individu menurutnya terjadi melalui dua tahap, yaitu diawali oleh pertukaran sosial antarpribadi (interaksi dengan lingkungan sosial), kemudian terjadi internalisasi intrapersonal (interaksi dengan diri sendiri). Dua proses itulah yang membentuk perilaku dan kepribadian individu.

Pendekatan sosiokultural Vygotsky memang berfokus pada proses kognitif individu. Oleh karena itu, ia sering dikenal sebagai ahli kognitif sosiokultural. Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan sistem kultural yang lebih baik dalam kegiatan belajar-mengajar karena lingkungan sosial dan budaya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan kognitif seseorang.

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding yang akan dijelaskan sebagai berikut.

  1. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan rentang antara tingkat perkembangan sesungguhnya (kemampuan pemecahan masalah tanpa melibatkan bantuan orang lain) dan tingkat perkembangan potensial (kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu).
  2. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada pelajar selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah pelajar dapat melakukannya sendiri (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada pelajar untuk belajar dan memecahkan masalah.

Referensi

  1. Maryam, E.W. (2018). Psikologi sosial. Sidoarjo: UMSIDA Press.
  2. Moll,L.C & Greenberg,J. 1990. Creating Zones of Possibilities: Combining Social context for Instruction. Dalam L,C, Moll Vygot sky and Education (pp 319-348). Cambridge: Cambridge University Press.
  3. Slavin, R. E.1997. Educational Psychology: Theo ry and Practice. Boston: Allyn & Bacon.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *