Pada suatu titik, kita semua pasti pernah merasa bahwa pekerjaan, tugas, dan segala aktivitas yang harus kita lakukan seakan tak pernah ada habisnya menghampiri. Belum lagi, berbagai aktivitas itu rasanya amatlah repetitif dan tidak membangkitkan semangat untuk segera menyelesaikannya.

Hanya rasa tanggung jawab atau perasaan bersalah akan kewajibanlah  yang membuat kita mampu terseok-seok untuk tetap melakukannya.

Saat hal itu terjadi, bisa jadi kita memang sedang mengalami kelelahan psikis. Akan tetapi, kelelahan psikis itu amatlah dekat dengan gejala jiwa frustasi yang merupakan kebalikan dari motivasi.

Meskipun terdengar klise bahkan skeptikal, motivasi amatlah penting untuk dimiliki, karena hal ini merupakan salah satu gejala jiwa yang membentuk mentalitas kita sebagai manusia.

Tanpa motivasi, segala aktivitas yang kita lakukan akan memupuk berbagai afeksi negatif yang lambat laun akan membuncah menjadi stress dan berpengaruh buruk pada produktivitas, kehidupan sehari-hari, bahkan kesehatan mental kita.

Oleh karena itu, motivasi bukanlah sekedar omong kosong belaka yang diharapkan mampu mendorong kita untuk berbuat sesuatu, akan tetapi merupakan suatu realita mental yang harus diperhatikan dan dikendalikan agar kita semua mampu sepenuhnya menjalani hidup secara produktif dan bahagia.

Semua organisme di dunia, termasuk manusia membutuhkan kekuatan yang datang dari dalam diri untuk mendorong dirinya sendiri agar mau berbuat sesuatu. Dorongan yang datang dari dalam untuk berbuat sesuatu itu disebut sebagai motif (Warsah & Daheri, 2021, hlm. 121).

Motivasi sendiri adalah suatu proses untuk menggerakkan motif menjadi perilaku atau tindakan untuk memuaskan atau mencapai tujuan (Hidayah dalam Nurjan, 2016, hlm. 151). Dengan demikian, untuk mendapatkan motivasi, apa yang harus kita lakukan adalah dengan memiliki motif terlebih dahulu.

Meskipun motif adalah dorongan yang datang dari dalam diri, akan tetapi biasanya pemicunya sendiri muncul dari luar, entah itu dari lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, dan sebagainya.

Beberapa ahli bahkan mendefinisikan berbagai faktor dan stimulus dari luar yang merangsang motif ini sebagai motivasi itu sendiri. Inilah mengapa banyak yang berusaha untuk membangkitkan motivasi melalui berbagai kisah inspiratif atau ceramah motivasi yang dilakukan oleh para motivator.

Akan tetapi, motif dan motivasi ini sebetulnya merupakan gejala jiwa kompleks yang terkait dengan banyak faktor. Oleh karena itu, rangsangan dari luar seperti dari kisah inspiratif saja tidaklah cukup untuk menumbuhkannya secara konsisten.

Motif juga dapat diartikan sebagai daya penggerak dari dalam diri untuk melakukan aktivitas tertentu demi mencapai tujuan (Asrori, 2020, hlm. 54). Dengan demikian, salah satu langkah praktis dan konkret untuk mendapatkan motif dan motivasi yang konsisten adalah dengan menentukan tujuan yang jelas.

Meskipun terdengar sepele, namun kegagalan untuk menentukan tujuan inilah yang sering menghilangkan motivasi kita.

Misalnya, orang-orang cenderung membuat tujuan yang terlalu umum dan besar seperti “merapikan kamar” daripada “merapikan sprei”. Dengan begitu, proses mental kita secara tidak sadar gagal menafsirkan motifnya yang akan berujung pada kegagalan dalam merangsang motivasi pula.

Padahal, jika tujuan yang kita ajukan lebih mengerucut, hal tersebut akan jauh lebih memotivasi kita untuk menyelesaikan satu-persatu pekerjaan kecil, hingga pada akhirnya mampu menyelesaikan tugas besarnya secara keseluruhan.

Namun demikian, tujuan yang mengerucut itu hanya akan mampu menciptakan motivasi-motivasi kecil yang akan berdampak pada proses dan aktivitas yang tengah kita lakukan pada saat itu juga.

Motivasi adalah suatu proses aktif yang harus dikelola sepanjang waktu dalam suatu proses tertentu dan pada suatu titik, akan sirna setelah mengalami pengulangan yang menjemukan.

Itulah sebabnya, berbagai tujuan ringkas ini pun haruslah dikemas oleh suatu tujuan besar yang kita harapkan dapat tercapai di masa yang akan datang atau biasa disebut sebagai visi atau aspirasi.

Inilah mengapa salah satu pertanyaan yang paling umum diajukan dalam wawancara kerja adalah: “Apa rencana Anda 5 tahun ke depan?” atau pertanyaan sejenis yang pada intinya mempertanyakan visi yang kita miliki dan secara implisit memberikan gambaran motivasi kerja kita.

Visi atau aspirasi adalah komponen penting dalam membentuk motivasi, tanpa visi yang jelas, seseorang akan kesulitan untuk membangkitkan motivasi pada berbagai misi yang akan dijalani sehari-hari.

Apabila kita belum memiliki visi, maka hal ini haruslah segera direnungkan dan ditentukan agar kita mampu membakar motivasi secara mandiri. Caranya dapat sesederhana membuat daftar berbagai tujuan dan aktivitas produktif yang kita lakukan sehari-hari, lalu membuat generalisasi dan mengalikannya dengan target besar yang membutuhkan waktu lama.

Meskipun terdengar tidak realistis dan hanya sekedar poin tak berarti dari buku teks, visi ini adalah salah satu ciri terkuat dari pribadi yang sukses dan bahagia. Seseorang yang tidak memiliki visi cenderung tidak memiliki berbagai perencanaan dan tergugah untuk melakukan segala hal yang ia lakukan dalam kehidupan.

Menjaga Konsistensi Motivasi

Selain terikat pada banyak faktor luar, motivasi juga merupakan gejala jiwa yang saling kait-mengait dengan gejala jiwa lainnya. Manusia, memiliki tiga gejala jiwa atau proses mental utama yang saling berkaitan, yakni: kognisi yang menyangkut nalar, afeksi yang mengatur perasaan, dan konasi yang berhubungan dengan kehendak atau kemauan.

Misalnya, dengan menonton kisah sukses atau cerita motivasi yang inspiratif, perasaan kita akan tergugah sehingga termotivasi untuk menjadi lebih baik lewat proses mental konasi. Sayangnya keadaan itu tidak akan bertahan lama.

Hal tersebut karena perasaan atau emosi itu amatlah fluktuatif dan dapat kehilangan kekuatannya kapan saja apabila tidak dirangsang kembali. Afeksi atau perasaan ini memang gejala jiwa yang cenderung tidak stabil dan sulit untuk disetir.

Di sisi lain, kognisi atau proses mental berpikir merupakan gejala jiwa yang sangat konsisten dan dapat dikendalikan dengan lebih luwes. Dengan demikian, proses mental kognisilah yang seharusnya menjadi pengendara konasi untuk mendapatkan motivasi yang konsisten.

Anggaplah perasaan menggebu-gebu yang termotivasi itu sebagai pemantik yang menyalakan api saja. Setelah itu, kognisi atau akal sehat kitalah yang harus menjaga bara motivasi tersebut agar tidak padam.

Meskipun begitu, sejatinya hampir seluruh gejala jiwa atau proses mental manusia akan berjalan secara beriringan. Seperti bagaimana saat kognisi kita berhasil memecahkan suatu permasalahan, maka rasa puas atau lega akan menghampiri yang berarti menyangkut gejala jiwa afeksi.

Begitu pula saat kita memiliki kehendak atau termotivasi untuk mewujudkan motif tertentu, perasaan malas atau tidak nyaman lainnya bisa jadi menunggangi. Pengendalian emosi adalah satu-satunya jalan untuk menghindari berbagai dampak negatifnya. Oleh karena itu, menjaga stabilitas mental kita merupakan aspek penting lainnya yang harus diperhatikan dalam mempertahankan keberlanjutan motivasi.

Sementara itu, apabila proses mental konasi atau kehendak kita tak lagi memberikan motivasi yang cukup, maka rangsanglah dengan berbagai sumber motivasi, baik itu dari buku motivasi, video motivator, maupun berbagai kisah inspiratif dari film serta hiburan umum lainnya.

Ya, konasi ini sebetulnya tidak hanya dapat direcharge oleh konten-konten spesifik yang dirancang untuk menambah motivasi saja. Beberapa orang malah justru kurang suka dan merasa geli untuk menonton atau membaca kisah motivasi, akan tetapi malah dapat termotivasi dengan cara menonton serial anime yang kaya akan kisah semangat hidup dan persahabatan.

Intinya, sumber motivasi orang itu amatlah beragam, karena proses mental dan kepribadian kita pun demikian. Cobalah ketahui sebetulnya hal-hal apa saja yang dapat memotivasi kita dengan lebih efektif dan efisien, jangan terpaku pada berbagai hal yang sudah menjadi norma sehari-hari saja.

Melalui penetapan tujuan yang terperinci, visi yang memayungi, serta senantiasa menjaga keseimbangan mentalitas kita, maka motivasi akan menghampiri dengan jauh lebih konsisten dan dapat diraih secara mandiri, yang berarti akan terus memberikan manfaatnya secara berkelanjutan untuk segala aktivitas produktif yang kita jalani.

Referensi

  1. Asrori. (2020). Psikologi pendidikan pendekatan multidisipliner. Banyumas: Pena Persada.
  2. Nurjan, Syarifan. (2016). Psikologi Belajar. Ponorogo: Wade Group.
  3. Warsah, I., Daheri, M. (2021). Psikologi: suatu pengantar. Yogyakarta: Tunas Gemilang Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *