Attitude adalah sikap dan kesediaan bereaksi terhadap suatu hal yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan penilaiannya terhadap objek yang disikapinya tersebut (Gerungan, 1991, hlm. 149. Arti attitude itu sendiri adalah “sikap” dalam Bahasa Indonesia. Sikap atau attitude ini merujuk pada evaluasi kita terhadap berbagai aspek dunia sosial, serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap isu, ide, orang, kelompok sosial, dan objek (Baron & Byrne dalam Maryam, 2018, hlm. 93).

Dengan demikian, sikap dapat berupa reaksi negatif maupun positif berdasarkan evaluasi atau penilaian seseorang yang memberikan sikap. Seperti yang diungkapkan oleh Kassin dkk (dalam Maryam, 2018, hlm. 93) bahwa attitude adalah reaksi atau sikap positif maupun negatif terhadap orang, objek, dan ide-ide tertentu.

Sebuah sikap bisa menghasilkan reaksi positif, negatif, atau gabungan penilaian terhadap sebuah objek, dan diekspresikan pada beberapa level intensitas, seperti tidak lebih, tidak lebih (Maryam, 2018, hlm. 93-94). Suka, cinta, tidak suka, benci, dan sebagainya merupakan jenis-jenis kata digunakan orang-orang untuk mendeskripsikan sikap mereka yang pada intinya merupakan salah satu proses mental manusia, yakni: perasaan (afeksi).

Sikap adalah suatu reaksi atau refleks yang dihasilkan oleh individu, oleh karena itu sikap akan menghasilkan luaran atau ouput. Sering kali sikap direfleksikan dalam tindakan, meskipun terkadang tidak selalu demikian. Mengapa demikian? karena sikap sering kali bersifat ambivalen, yaitu secara nyata individu akan melakukan evaluasi terhadap objek, isu, orang atau kejadian tidak selalu seragam positif atau negatif, namun evaluasi tersebut sering kali tercampur dari dua reaksi, baik positif maupun negatif sekaligus (Baron & Byrne dalam Maryam, 2018, hlm. 94).

Dapat disimpulkan bahwa attitude atau sikap adalah reaksi individu baik secara positif maupun negatif terhadap berbagai objek, orang, maupun ide atau gagasan tertentu secara evaluatif atau melakukan penilaian sehingga bisa memunculkan berbagai perilaku dan gejala jiwa seperti rasa suka atau tidak suka terhadap hal yang direaksinya tersebut.

Komponen-Komponen Attitude/Sikap

Menurut Delamater & Myers (dalam Maryam, 2018, hlm. 95) sikap atau attitude terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut.

  1. Komponen kognitif
    Merupakan komponen yang meliputi pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang objek sikapnya. Sebuah sikap mencakup label objek, aturan untuk menerapkan label tersebut, dan sebuah set kognisi atau struktur pengetahuan yang diasosiasikan dengan label. Dari pengetahuan ini akan membentuk sebuah keyakinan tertentu tentang objek sikap.
  2. Komponen evaluasi
    Sikap juga memiliki komponen evaluatif atau afektif, yang berkaitan dengan rasa senang atau tidak senang, dan berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang dimiliki seseorang (Dayakisni & Hudaniah dalam Maryam, 2018, hlm. 95). Komponen ini memiliki kedua arah (positif atau negatif) dan sebuah intensitas (sangat lemah hingga sangat kuat). Komponen evaluasi ini membedakan sebuah sikap dari tipe elemen kognitif yang lain.
  3. Komponen predisposisi perilaku
    Sebuah sikap memiliki kesiapan (predisposisi) untuk bereaksi atau kecenderungan untuk berperilaku terhadap objek. Misalnya, “Kelas itu membosankan”, berimplikasi pada kecenderungan untuk menjauhi kelas. Orang-orang yang memiliki sikap tertentu, cenderung untuk bertingkah laku dalam cara-cara yang konsisten dengan sikap tersebut.

Komponen kognitif, evaluatif, dan perilaku semuanya memiliki objek yang sama, sehingga ketiganya membentuk satu kesatuan yang relatif konsisten (Delamater & Myers dalam Maryam, 2018, hlm. 96). Sikap seseorang terhadap sebuah objek sikap merupakan manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap objek sikap (Dayakisni & Hudaniah dalam Maryam, 2018, hlm. 96).

Fungsi Attitude/Sikap

Delamater & Myers (2011) menjelaskan beberapa fungsi sikap atau attitude yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Heuristik atau fungsi instrumental Kita mengembangkan sikap yang baik (favorable) terhadap objek agar membantu kita untuk memperoleh ganjaran (hadiah) dan sikap yang tidak baik (unfavorable) terhadap objek yang menggagalkan atau menghukum kita.
  2. Menyediakan sebuah skema atau fungsi pengetahuan (knowledge function) Karena dunia terlalu kompleks untuk kita pahami secara lengkap, kita mengelompokkan orang, objek, dan peristiwa ke dalam kategori atau skema dan mengembangkan sikap dengan sederhana (stereotip) yang mengarahkan kita memperlakukan individu sebagai anggota sebuah kategori. Sikap kita terhadap kategori (objek) tersebut memberikan makna kepada kita, dengan berdasarkan pada penyimpulan terhadap anggota kelompok atau kategori tersebut.
  3. Mendefinisikan diri (self) dan mempertahankan harga diri (self-worth) Beberapa sikap mengekspresikan nilai-nilai dasar yang dimiliki individu (identitas diri) dan memperkuat citra diri (self-image) individu.
  4. Fungsi pertahanan ego (ego defensive function) Sikap bisa melindungi individu dari adanya informasi atau pemikiran atau perasaan tertentu yang tidak diinginkan tentang dirinya, atau mengancam citra diri individu. Misalnya, seseorang menunjukkan sikap menentang diskriminasi, untuk melindungi diri dari kenyataan bahwa sebenarnya dia melakukan diskriminasi terhadap orang lain.

Pembentukan Sikap

Hampir semua ahli psikologi sosial meyakini bahwa sikap adalah hal yang dipelajari. Seperti yang diungkapkan Dayakisni & Hudaniah (dalam Maryam, 2018, hlm. 97) bahwa sikap bukan pembawaan, melainkan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya, sehingga sikap bersifat dinamis. Faktor pengalaman individu dalam berinteraksi dengan individu lain merupakan faktor dominan yang membentuk sikap.

Terdapat beberapa teori utama yang menjelaskan tentang pembentukan sikap. Beberapa teori tersebut meliputi teori belajar dan teori bandingan sosial.

Teori Belajar

Sikap terbentuk berdasarkan pengalaman individu dari proses interaksi sosial, maka jelas sikap itu terbentuk melalui proses belajar. Beberapa prinsip-prinsip dalam teori belajar yang membentuk sikap individu di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Pengondisiak klasik (classical conditioning)
    Melalui classical conditioning, orang akan memiliki reaksi sikap yang kuat terhadap objek sosial bahkan meski tanpa pengalaman secara langsung. Prinsip dari classical conditioning yaitu ketika sebuah stimulus muncul berulang-ulang diikuti stimulus lain, selanjutnya stimulus pertama akan dianggap sebagai tanda-tanda munculnya stimulus yang mengikutinya.
  2. Pengondisian instrumental (instrumental conditioning)
    Merupakan proses pembelajaran di mana saat respons yang menimbulkan hasil positif atau mengurangi hasil negatif diperkuat. Ketika sebuah perilaku mendatangkan hasil yang menyenangkan bagi seseorang, maka perilaku tersebut akan diulang kembali. Sebaliknya, jika sebuah perilaku mendatangkan hasil yang tidak menyenangkan bagi seseorang, maka perilaku tersebut akan dihindari.
  3. Belajar melalui pengamatan (observational learning)
    Individu mempelajari tingkah laku atau pemikiran baru dengan mengamati (mengobservasi) tingkah laku orang lain. Selain itu, sikap atau pandangan tertentu bisa dipelajari dari media massa (televisi, majalah, Koran, dsb). Sebagai contoh, sikap atau pandangan politik bisa dipelajari seseorang dari sikap atau pemikiran politik orang lain di media massa.

Teori Perbandingan Sosial

Menurut teori ini, terdapat kecenderungan diri kita untuk membandingkan diri kita sendiri dengan orang lain, untuk menentukan apakah sikap atau pandangan kita terhadap dunia sosial benar atau salah (Festinger dalam Maryam, 2018, hlm. 98). Kita berkecenderungan menyamakan sikap pandangan maupun sikap kita dengan mengambil ide-ide dan sikap dari orang lain. Ketika pandangan atau sikap kita disetujui orang lain, kita menganggap bahwa pandangan atau sikap kita tepat. Jika orang lain memiliki sikap atau pandangan yang sama dengan kita, kita menganggap bahwa pandangan atau sikap tersebut pasti benar. Oleh sebab itu, kita sering kali mengubah sikap kita mendekati sikap orang lain.

Penilaian/Pengukuran Sikap

Pada tahun 1928, Louis Thurstone mempublikasikan sebuah artikel yang berjudul “Attitude Can Be Measured.” Sebuah review penelitian yang membongkar lebih dari 500 metode yang berbeda untuk menentukan dan mengukur sikap individu (Fishbein & Ajzen, 1972, dalam Kassin, et. al., 2008 dalam Maryam, 2018, hlm. 99). Berikut dipaparkan beberapa cara untuk menilai atau mengukur sikap seseorang.

  1. Pengukuran Lapor-Diri (self-report measures)
    Cara yang paling mudah untuk mengukur sikap seseorang tentang sesuatu adalah dengan bertanya. Metode ini bersifat langsung dan mudah, yaitu dengan membuat sederetan pertanyaan (kuesioner) untuk mempertanyakan sikap individu itu sendiri lalu membuat skala penilaian untuk mengukur sikapnya. Skala sikap ini memiliki beragam bentuk, dan bentuk yang paling terkenal adalah Skala Likert (Likert Scale), yang mengambil nama dari penemunya Rensis Likert. Dalam Skala Likert, responden dihadapkan dengan sejumlah pernyataan tentang sikap terhadap sebuah objek dan mereka diminta untuk menandai pada sebuah skala multi-poin tentang seberapa kuat mereka setuju atau tidak setuju terhadap masing-masing pernyataan. Skor total dari sikap responden diperoleh dengan menjumlahkan respons mereka pada semua item. Namun, terkadang sikap terlalu kompleks untuk diukur dengan menggunakan kuesioner multiitem yang dikenal dengan skala sikap (attitude scales). Semua jenis pengukuran self-report mengasumsikan bahwa orang mengeskpresikan dengan jujur pendapat yang sebenarnya. Terkadang asumsi ini benar, namun sering kali tidak. Keinginan untuk menciptakan kesan yang baik terhadap orang lain, orang sering kali enggan untuk mengakui kegagalan mereka, keburukan, kelemahan, pendapat yang tidak umum, dan diskriminasi.
  2. The Implicit Association Test (IAT)
    Tes ini dikembangkan oleh Anthony Greenwald, Mahzarin Banaji, Brian Nosek, dan yang lainnya, untuk mengukur beberapa sikap yang tidak disadari. IAT ini merupakan sebuah pengukuran dengan menggunakan kecepatan individu dalam mengasosiasikan pasangan sebuah konsep. Secara umum, orang akan lebih cepat memproses ketika wajah yang disukai dipasangkan dengan kata-kata yang positif, dan wajah yang tidak disukai dipasangkan dengan kata-kata negatif. Tes ini hanya membutuhkan waktu sepuluh menit. Ketika sudah selesai mengerjakan, kita akan menerima hasil tes dan penjelasan hasil tes tersebut.
  3. Pengukuran Tertutup (covert measures)
    Merupakan jenis pengukuran kedua pada persoalan self-report adalah dengan mengumpulkan tidak langsung, yaitu pengukuran sikap secara tertutup yang tidak bisa dikontrol. Satu hal yang mungkin bisa dilakukan adalah menggunakan perilaku yang bisa diamati seperti ekspresi wajah, nada suara, dan bahasa tubuh. Meskipun perilaku menyediakan tanda-tanda tertentu, hal ini masih jauh dari kesempurnaan sebagai sebuah pengukuran sikap. Terkadang, kita menganggukkan kepala untuk menunjukkan bahwa kita setuju, pada waktu lain, kita mengangguk untuk menunjukkan kesopanan.

Hubungan Sikap dan Perilaku

Kebanyakan orang menerima begitu saja gagasan bahwa sikap mempengaruhi perilaku. Misalnya, adanya prasangka memicu tingkah laku negatif dari diskriminasi. Berawal dari asumsi ini, hubungan antara sikap dan tingkah laku sebetulnya jauh dari sempurna, atau tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan bahwa sikap akan mempengaruhi perilaku seseorang (Kassin dkk, dalam Maryam, 2018, hlm. 102).

Richard LaPierre (1934) seorang ahli sosiologi yang pertama kali memperhatikan bahwa sikap dan tingkah laku tidak selamanya berhubungan secara langsung. Pada tahun 1930-an LaPierre mencoba membuktikan hal ini dengan melakukan penelitian pada pasangan muda Cina Amerika. Meskipun saat itu prasangka terjadi secara meluas pada masyarakat Asia, pasangan tersebut hanya menerima sekali perlakuan diskriminatif selama tiga bulan peneltian (Kassin, dkk dalam Maryam, 2008, hlm. 102).

Studi yang dilakukan LaPierre menjadi studi pertama yang mengungkapkan lemahnya hubungan antara sikap dan tingkah laku. Selanjutnya, pada tahun 1969, Allan Wicker mereview sebuah penelitian terapan dan menyimpulkan bahwa sikap dan perilaku memiliki korelasi yang lemah.

Berdasarkan pada beberapa studi meta-analisis dari para peneliti di atas, Laura Glasman dan Dolores Albarracin (2006 dalam Maryam, 2018, hlm. 103 ) mengidentifikasi beberapa kondisi yang bisa memperkirakan bahwa sikap secara jelas mempengaruhi tingkah laku individu selanjutnya, yaitu sikap dalam konteks (attitudes in context) dan kekuatan sikap (strength of the attitude) yang akan dijelaskan sebagai berikut.

Sikap dalam Konteks (attitudes in context)

Icek Ajzen dan Martin Fishbein (1977, dalam Brehm & Kassin, 1996) menemukan bahwa sikap berkorelasi dengan perilaku hanya ketika pengukuran sikap dilakukan dengan memasangkan perilaku yang lebih spesifik dalam pertanyaan-pertanyaan. Sikap diukur dalam serangkaian pertanyaan dari pertanyaan yang sangat umum (“Bagaimana yang Anda rasakan tentang upaya untuk mengendalikan kelahiran ?”) hingga pertanyaan yang sangat spesifik (“Bagaimana yang Anda rasakan tentang penggunaan pil KB selama dua tahun ke depan?”).

Kaitan antara perasaan kita dengan perilaku kita seharusnya juga ditempatkan dalam konteks yang lebih luas. Perilaku sosial tidak hanya dipengaruhi oleh sikap, namun juga faktor-faktor lain. Hal ini dijelaskan oleh Ajzen (1991) dalam teorinya tentang tingkah laku terencana (theory of planned behavior). Menurut teori ini, sikap mempengaruhi perilaku kita melalui sebuah proses kesengajaan untuk mengambil keputusan, dan dampaknya terbatas dalam empat aspek sebagai berikut.

  1. Kekhususan sikap, bahwa sikap bisa mempengaruhi perilaku sejauh mana sikap tersebut terfokus pada objek atau situasi tertentu dibandingkan pada hal-hal atau objek yang umum.
  2. Norma subjektif (subjective norms), bahwa perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh sikap namun juga oleh norma-norma subjektif (subjective norms), yaitu keyakinan kita tentang apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang apa yang seharusnya kita lakukan.
  3. Sikap menimbulkan perilaku hanya saat kita merasakan bahwa perilaku tersebut berada dalam kontrol kita.
  4. Meskipun sikap berkontribusi pada intensitas perilaku dalam cara-cara tertentu, orang sering kali tidak bisa menindaklanjuti niat mereka.

Referensi

  1. Maryam, E.W. (2018). Psikologi sosial. Sidoarjo: UMSIDA Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *