Hari ini, banyak kabar yang rasanya tidak masuk akal untuk dilakukan oleh seseorang, namun ternyata dilakukan dan kita seakan sudah bisa menebak bahwa hal itu akan terjadi.

Selang beberapa saat saja, diberitakan bahwa seseorang telah memposting pernyataan yang sangat provokatif, rasis, bahkan memberikan ujaran kebencian.

Padahal, pernyataannya itu adalah kutipan video pendek yang dipotong dari video aslinya, lantas dihilangkan konteksnya, sehingga ucapannya tampak provokatif dan salah di mata publik.

Meskipun kebenaran sudah diungkapkan, namun sudah terlambat untuk dikumandangan. Cuitan Warganet telah menyebar, semua media ikut meramaikan, berbagai penjelasan objektif sudah tidak bisa memutarbalikkan keadaan.

Detik itu juga, seorang insan kehilangan segalanya, bahkan ia diproses secara hukum, akan tetapi bukan atas nama hukum, melainkan atas nama main hakim sendiri yang dilakukan secara daring.

Gambaran pahit itu merupakan salah satu gejala yang dapat muncul di era Paska-kebenaran. Era di mana fakta atau kebenaran sudah tidak digubris dan dipatahkan oleh pendapat pribadi yang disetujui khalayak.

Era di mana satu cuitan Twitter dapat menghancurkan hidup kita. Era di mana opini dengan congkaknya telah berdiri di atas kebenaran. Era di mana satu cuitan dapat menghancurkan hidup kita.

Post-truth

Post-truth atau paska-kebenaran adalah kondisi di mana fakta objektif tidak lagi memberikan pengaruh besar dalam membentuk opini publik, justru malah keyakinan pribadi dan keterkaitan emosional yang mendapatkan dukungan terbanyak dari masyarakat.

Secara harfiah, Post-truth atau paska-kebenaran diartikan sebagai “setelah kebenaran” yang mengandung implikasi bahwa kebenaran itu sendiri telah ditinggalkan, bukan hanya menjadi kebohongan semata.

Lantas bagaimana kisahnya hingga kebenaran ditinggalkan dan digantikan oleh opini yang tidak harus benar, asalkan sesuai dengan keyakinan pribadinya saja?

Mungkin kita semua sudah dapat menerka beberapa alasannya, mulai dari arus informasi yang kini mengalir jauh lebih cepat, hingga perkembangan media sosial yang membuat informasi semakin jenuh karena multiplikasinya yang eksponensial.

Namun, secara mendasar, alasan pertama yang mungkin dapat menyebabkan keadaan Post-truth adalah tendensi dari perilaku manusia sendiri.

Manusia memiliki kecenderungan hanya akan mempercayai sesuatu yang ingin ia percayai.

Mengapa manusia berperilaku seperti itu? Secara fisiologis, menurut duo Gorman yang merupakan ahli ilmu kesehatan dan psikologi, dalam bukunya yang berjudul “Denying to the Grave”, terdapat penelitian yang menyimpulkan bahwa memproses suatu informasi yang mendukung pendapat pribadi kita akan mengakibatkan dopamine rush atau aliran hormon yang menciptakan rasa bahagia.

Dengan kata lain, membaca sesuatu yang menguatkan pendapat pribadi kita adalah candu.

Sementara itu, menurut Schwarz dan rekan-rekan (2016) ketika manusia berhadapan dengan hal yang tidak sesuai dengan apa yang ia percayai selama ini, mereka cenderung memberikan respons afektif negatif, yang berarti ia akan merasa cemas, takut, bahkan marah.

Dari situlah terbentuk perilaku yang hanya akan mempercayai apa yang ingin ia percaya saja, yaitu mempercayai apa yang menguatkan pendapat pribadinya, karena ia akan mendapatkan reward dan justru mendapatkan punishment apabila tidak melakukannya.

Hoax dan Berita Bohong

Selanjutnya, bahan bakar utama dari era paska-kebenaran ini adalah saudara kandungnya sendiri, yaitu hoax dan berita bohong.

Sebelum mencerna suatu informasi, netizen sudah memiliki pendapat pribadi yang telah terbentuk dari opini-opini, nalar wajar, atau common sense yang telah tersedia di sekitarnya, tanpa mencari fakta. Berbagai opini itu sudah tertanam dan seakan telah menjadi fakta sehari-hari yang paling benar, padahal belum tentu.

Berbagai pendapat pribadi yang telah tertanam pada khalayak itu selanjutnya ditampilkan kembali dalam berita. Sehingga penyimaknya memiliki keterkaitan emosional terhadap apa yang disampaikan oleh berita yang sebetulnya belum tentu benar.

Belum lagi, penulis artikel juga dapat dengan rapi menghilangkan konteks tanpa membuat beritanya menjadi palsu, dengan cara membuat suatu argumen yang menggiring opini publik pada suatu isu yang tidak benar.

Ya, berita bohong yang dimaksud bukan sekedar pemalsuan biasa, akan tetapi penjelagaan kebenaran dan kebohongan itu sendiri, sehingga satu-satunya hal yang didapatkan oleh penyimak adalah pembenaran terhadap pendapat pribadinya.

Selanjutnya, dapat ditebak bahwa hoax dan berita bohong itu dapat menyebarluas dengan mudah, melalui pemasaran viral yang dibentuk langsung oleh gabungan dari kekuatan intim mouth to mouth marketing dan eksposur yang luar biasa besar dari digital marketing.

Hoax akan diakui kebenarannya tanpa pembuktian, karena ikatan emosional banyak orang telah tertuju pada tesis yang sama, dan biasanya besifat menghakimi. Saat itu terjadi, maka suatu kebohongan pun telah menjadi argumen yang bahkan dapat mengalahkan fakta objektif.

Apa lagi, jika fakta sebenarnya membuat masyarakat tidak nyaman. Seiring dengan ditinggalkannya fakta, kebohongan yang menyenangkan akhirnya akan lebih dipercayai oleh khalayak luas.

Bahaya Post-truth

Keadaan Post-truth semakin memperkeruh berbagai budaya negatif baru yang terbentuk di dunia maya, seperti cancel culture, berita bohong, merambahnya buzzer, dan sebagainya. Kini, sesuatu yang tidak benar dan memberikan dampak negatif bisa jadi malah mendapatkan dukungan yang amat besar. Padahal, keyakinan personal sangatlah subjektif dan tidak mewakili kebenaran. Apa yang menurut seseorang benar, belum tentu benar pula bagi orang lain. Malah, bisa jadi sebetulnya informasi itu memang salah untuk semua orang.

Di abad ini, bukan hanya teknologi praktis saja yang berkembang. Berbagai ritual kuno yang salah kaprah seperti prosesi penumbalan dan perburuan penyihir, ikut termutakhirkan pula. Salah satu bentuknya adalah penggiringan opini warganet melalui mesin persetujuan bersama yang kita sebut sebagai media sosial. Atau… tumbalkan saja salah satu selebriti, untuk menjadi pengalihan isu.

Dampak yang diberikan tentunya tidak sama, antara nyawa dan perundungan psikologis semata. Namun, kita dapat berargumen bahwa zaman post-truth bisa menjadi lebih keji dari kematian seorang wanita yang dituduh bersekutu dengan setan, di masa lalu yang masih serba terbatas itu.

Kini, pengarakan juga dilakukan secara virtual, dalam wujud penghancuran kredibilitas, karakter, dan kesempatan akan banyak hal yang seharusnya masih dapat dicapai dalam kehidupan seseorang.

Menghadapi Post Truth

Secara substansi, sebetulnya media apa pun tidak dapat memiliki kesalahan tanpa seseorang yang menyalahgunakannya. Di tangan yang tepat, media sosial merupakan alat canggih yang dapat digunakan untuk banyak kebaikan.

Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi kita untuk terus belajar dan berusaha menggunakannya dengan lebih baik.

Seperti aplikasi yang terus dikembangkan untuk menangkis berbagai bug dan celah keamanannya, pengguna juga harus terus mengupgrade cara pemanfaatan aplikasi tersebut.

Apalagi, kita berhadapan dengan perusahaan-perusahaan startup yang memiliki hustle culture yang tinggi. Sehingga perkembangan aplikasinya jauh lebih cepat dibandingkan dengan cara kita mengeksplorasi fiturnya secara mandiri.

Saatnya bagi kita untuk mencerna berbagai informasi berdasarkan fakta, bukan hanya berdasarkan apa yang ingin kita percaya saja. Kini, bukan hanya ilmuwan yang harus berpikir saintifik, kita sebagai warganet juga harus mulai mengaplikasikan pola pikir yang sama.

Selamat datang di era paska-kebenaran, era di mana kebohongan dapat mengalahkan fakta dengan mudah, sehingga kebenaran bahkan kebohongan itu sendiri menjadi tiada.

Baca juga: Post Truth adalah Kebohongan yang Menjadi Kebenaran

Referensi

  1. Gorman, S. E., & Gorman, J. M. (2017). Denying to the Grave: why we ignore the facts that will save us . Oxford University Press.
  2. Schwarz, N., Newman, E.J., & Leach, W.R. (2016). Making the truth stick & the myths fade: Lessons from cognitive psychology. Behavioral Science & Policy, 2, 85 – 95.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *