Post truth adalah kondisi di mana fakta objektif tidak lagi memberikan pengaruh besar dalam membentuk opini publik, justru malah keyakinan pribadi dan ketertkaitan emosional yang mendapatkan dukungan terbanyak dari masyarakat. Secara literat, paska kebenaran adalah “setelah kebenaran” yang berarti kebenaran sudah ditinggalkan. Lalu bagaimana kisahnya hingga kebenaran ditinggalkan dan digantikan oleh opini yang tidak harus benar, asalkan banyak yang setuju dan sesuai dengan keyakinan pribadi kita?

Bagaimana Post-truth Terjadi?

Keadaan post-truth dapat terjadi melalui argumen berbentuk alasan logis yang sebetulnya belum tentu benar dan dapat dibuktikan. Alasan logis berupa common sense, akal sehat atau nalar wajar yang sudah umum dibenarkan sangatlah mudah untuk diamini, apalagi jika banyak orang yang meyakininya.

Opini nalar wajar terasa sangat relatable dan dekat dengan apa yang telah diketahui oleh pembaca. Sebelum membaca suatu berita atau artikel internet, warganet atau netizen sudah memiliki pendapat pribadi yang telah terbentuk dari stereotype-stereotype yang ada tanpa mencari fakta. Berbagai opini itu sudah tertanam dan seakan telah menjadi fakta sehari-hari yang sudah dianggap paling benar, padahal belum tentu.

Pengetahuan-pengetahuan yang belum tentu fakta itu telah tertanam dibenak masyarakat melalui berbagai cara. Dapat disebabkan oleh berita palsu (hoax), salah asuhan/didikan, pergaulan yang kurang baik, hingga ke sumber informasi naif dari orang terdekat yang telah ia percayai sepenuhnya (orangtua, saudara, teman dekat).

Kemudian, berbagai pengetahuan dan stereotype yang telah tertanam pada khalayak itu, ditampilkan kembali pada artikel, postingan sosial media atau bentuk berita lain yang ada di internet. Sehingga, pembaca memiliki keterkaitan emosional terhadap apa yang disampaikan oleh berita yang sebetulnya belum tentu benar itu.

Belum lagi, penulis artikel juga dapat dengan rapi menghilangkan konteks tanpa membuat beritanya menjadi palsu untuk membuat suatu argumen yang menggiring opini publik pada kenyataan yang sebetulnya tidak benar. Misalnya, berita tidak membuat pernyataan mengenai stereotype tersebut, namun menampilkan citra (video/gambar) atau narasi dan kutipan yang dapat memancing audiens berpendapat mengenai stereotype tersebut.

Selain itu, dikoreksi oleh suatu fakta itu menyakitkan. Tentunya bukan sakit fisik, namun ketika kita dikoreksi oleh suatu fakta yang jauh dari pemikiran kita sebelumnya, nurani kita akan tersakiti. Bisa jadi kita juga merasa bodoh dan tidak mau mengakuinya. Padahal “bodoh” itu biasa, dan proses untuk menghilangkannya tidak akan pernah berhenti sepanjang masa. Dalam hal ini, penyampaian fakta pada seseorang yang selama ini tidak menyadarinya juga harus dilakukan secara santun dan tepat.

Contoh Argumen Logis yang Tidak Benar

Contoh argumen logis yang berupa keyakinan pribadi dan telah menjadi common sense atau nalar wajar meliputi beberapa uraian di bawah ini.

1. Jika ingin menurunkan berat badan, jangan makan makanan yang berlemak.

Padahal, penelitian menunjukan bahwa makanan berlemak tidak mememiliki korelasi terhadap pembentukan lemak di tubuh. Justru gula dan karbohidrat berlebihlah yang menyebabkan kegemukan. Fakta ilmiahnya, kalori yang tidak terpakai akan disimpan di dalam tubuh menjadi lemak, sebagai cadangan energi. Lemak memang mengandung banyak kalori, dan tidak sehat untuk dikonsumsi terlalu banyak. Namun tubuh kita tetap memerlukannya dalam wujud dan takaran yang tepat.

2. Yang harus kamu lakukan hanyalah terus mencoba

Pesan yang disampaikan terdengar sangat positif dan memberikan motivasi yang baik. Padahal, kita akan membayar semua kegagalan tersebut dengan uang, waktu, dan tenaga tanpa mendapatkan hasil apa-apa jika kita tidak belajar sama sekali dari kegagalan yang terjadi di saat kita mencoba. Tidak cukup jika kita hanya terus mencoba, kita harus secara terencana dan sistematis mengusahakan sesuatu agar berjalan dengan baik untuk mencapai suatu kesuksesan. Evaluasi harus terus dilakukam, sehingga kita dapat melakukan usaha yang lebih efektif dan efisien.

3. Akal Sehat Masuk Angin

Tubuh Anda terasa tidak nyaman, pegal-pegal dan terasa sedikit demam setelah bepergian jauh menggendarai sepeda motor di malam hari. Penyebabnya adalah angin yang masuk ke tubuh Anda dalam perjalanan itu. Anda juga dapat merasakan bahwa ada angin yang bergerak dari perut ke dada Anda.

Bagaimana cara untuk mengatasi masuk angin? Salah satu caranya adalah dengan membuka pori-pori melalui kerokan koin pada punggung Anda. Maka angin akan keluar dari tubuh Anda melalui pori-pori yang dibuka secara paksa oleh koin tersebut. Terdengar masuk akal bukan? Padahal salah kaprah.

Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memiliki jenis penyakit masuk angin. Bahkan ada “obat” atau ramuan khusus yang bernama Tolak Angin untuk menyembuhkannya. Padahal, “masuk angin” itu terjadi karena Anda kedinginan, bukan karena ada angin yang masuk ke tubuh Anda. Ketika tubuh kedinginan, maka pembuluh darah terhambat dan menyebabkan badan terasa tidak nyaman.

Apa yang Anda rasakan dilambung adalah gas yang tidak dapat keluar karena suhu rongga tubuh Anda lebih dingin daripada suhu di dalam tubuh. Artinya, ada gas yang terjebak di dalam tubuh. Gas itu tercipta oleh tubuh, dari akumulasi asam lambung dan makanan yang Anda konsumsi, bukan masuk dari luar. Gas berlebih dikeluarkan melalui rongga utama tubuh Anda (mulut dan dubur), bukan lewat pori.

Sulit untuk mempercayainya bukan? Karena “ilmu” ini telah diturunkan dari orang-orang terdekat Anda, termasuk orangtua Anda sendiri, orang yang sangat Anda percaya karena telah membesarkan Anda hingga tumbuh dewasa. Orangtua secara otomatis akan menjadi seseorang yang memiliki ikatan emosional yang tinggi pula.

Bahkan, jika Anda sudah mengetahui fakta sesungguhnya tentang masuk angin, maka Anda juga pasti merasakan betapa banyaknya orang terdekat kita yang masih percaya terhadap konsep masuk angin.

Post Truth adalah Bahan Bakar Hoax

Hoax dapat menyebarluas dengan mudah karena kondisi post-truth yang semakin berkembang di era media sosial ini. Hoax akan diakui kebenarannya tanpa pembuktian, karena ikatan emosional banyak orang telah tertuju pada tesis yang sama dan biasanya besifat menghakimi. Saat itu terjadi, maka suatu kebohongan pun telah menjadi argumen yang bahkan dapat mengalahkan fakta objektif.

Terlebih lagi jika fakta yang sebenarnya sangatlah tidak menyenangkan atau membuat masyarakat tidak nyaman. Semakin banyak orang yang tidak menyukai fakta itu, maka akan semakin tidak dipercayai pula kebenaran yang telah dibuktikan tersebut. Seiring dengan ditinggalkannya fakta, kebohongan yang menyenangkan akhirnya akan lebih dipercayai oleh masyarakat luas.

Penyebab lainya adalah karena seseorang sudah terlanjur mempercayai suatu kebohongan yang justru faktanya berputar 180 derajat. Sudah salah, tidak mau menanggung malu dan akhirnya tetap melakukan pembenaran terhadap kebohongan yang sudah ia percayai sebelumnya. Toh banyak juga yang percaya terhadap kebohongan tersebut, hal itu bisa dilihat langsung dari besarnya angka share dan like yang telah diterima oleh postingan hoax tersebut.

Bahaya Post Truth

Mengapa post-truth berbahaya? Karena sesuatu yang tidak benar dan memberikan dampak negatif malah mendapatkan dukungan yang besar. Padahal keyakinan personal sangatlah subjektif dan tidak mewakili kebenaran. Apa yang menurut keyakinan seseorang benar, belum tentu benar pula bagi orang lain, malah bisa jadi sebetulnya informasi itu memang salah untuk semua orang.

Keyakinan personal seseorang atau suatu kaum rentan menimbulkan konflik yang seharusnya tidak terjadi, karena sejatinya tidak ada yang salah dari kedua belah pihak. Ketika post-truth terjadi, maka kaum minoritaslah yang akan mendapatkan konsekuensi pqling berat, mereka akan dianggap salah berdasarkan pandangan personal yang dianggap benar oleh kaum mayoritas.

Orang baik akan menjadi penjahat di sarang penyamun

Seseorang juga dapat dengan mudah menjadi kambing hitam karena terjadinya fenomena ini. Sesuatu yang sebetulnya tidak benar terpaksa diangkat menjadi patokan kebenaran karena tekanan publik yang mengiyakan kesalahan tersebut.

Banyak yang telah menjadi korban scapegoat seperti ini. Ucapan seseorang dipotong lantas dihilangkan konteksnya, sehingga ucapannya tampak menjadi provokatif dan salah di mata publik. Padahal sebetulnya maksud dari ucapan atau pernyataannya tidaklah sepeti itu. Apa yang terjadi selanjutnya? Ia akan diproses secara hukum, bukan atas nama hukum, tetapi atas nama main hakim sendiri yang terjadi di media sosial.

Media sosial hari ini menjadi media baru bagi perburuan penyihir. Warganet dapat mengarak seseorang dan menghakiminya karena dianggap telah melakukan hal buruk yang sebetulnya tidak ia lakukan, tapi sudah terlanjur menjadi kesalahan yang dibenarkan.

Penutup

Manusia dengan congkaknya telah memilih untuk berada di atas kebenaran, alias mengesampikan fakta dan malah membenarkan pendapatnya sendiri. Dulu, para politisi memutarbalikan fakta untuk menyerang lawan politiknya. Tapi sekarang, mereka malah memanfaatkan fenomena post truth untuk benar-benar tidak menggunakan fakta hingga fakta tersebut benar-benar hilang keberadaannya, dan hanya argumen alasan logis yang tidak berdasarkan fakta yang dianggap valid.

Saatnya bagi kita untuk selalu mencerna berbagai informasi yang ada dengan lebih baik. Hilangkan semua common sense yang ada, jangan mudah terpancing terhadap berita provokatif, dsb. Selalu cross-cek fakta yang sebenarnya sebelum membagikan atau menyukai post yang ada di sosial media. Selamat datang di era yang di mana kebohongan dapat mengalahkan fakta yang sebenarnya dengan mudah; post-truth.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *