Sebelum membahas intertekstualitas, mari kita mulai dengan studi kasus gejala nyatanya terlebih dahulu. Sebagai individu yang hidup bersosial semua orang pasti butuh untuk diakui. Salah satu cara yang umum adalah dengan menjadi unik dan berbeda dari yang lain.

Hal itu juga berlaku saat seniman atau desainer sedang berkarya. Karya yang unik, orisinal dan tidak pernah ada menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai. Sayangnya hal tersebut tidak mungkin, orisinalitas adalah ilusi, semua yang kita buat akan mengalami gejala kesamaan kolektif di bawah alam sadar; intertekstual.

Orisinalitas adalah ilusi, kita semua hanya merangkai mozaik dari berbagai pohon kearifan yang telah tumbuh dilingkungan terhangat dan terdekat kita. Baik secara alami tumbuh atau ditanam dengan sengaja (sulit untuk memastikannya). Beberapa ilusi terlangka yang paling menarik perhatian dalam konteks tertentu akan cenderung disebut orisinal/asli.

Dalam dunia sastra terdapat teori yang menyokong ide ketiadaan karya asli ini, yaitu teori intertekstual. Untuk mengerti apa yang dimaksud dengan intertekstualitas kita harus menyelami makna dari teks itu sendiri. Karena teks di sini bukanlah teks yang hanya tulisan atau rangkaian dari huruf yang menjadi kata kemudian disusun menjadi kalimat dalam paragraf dan wacana.

Benang Merah Sastra dan Seni

Dalam proses penciptaan suatu karya, seorang penulis tidak terlepas dari keterlibatannya dengan teks-teks lain yang telah ada. Hal itu menyebabkan adanya pengaruh teks-teks lain yang masuk ke dalam teks sastra yang dihasilkannya. Misalnya, karena kita telah terpengaruhi oleh buku teks sekolah atau perguruan tinggi, maka secara tidak langsung teks yang akan kita buat juga akan membawa kearifan teks tersebut.

Contoh lainnya adalah kita telah membaca atau menonton film yang kita sukai. Maka gaya tulisan buku atau film yang kita tonton juga akan ikut terbawa. Bahkan terkadang beberapa penulis sengaja membawa referensi teks lain yang telah populer. Misalnya membawa salah satu tokoh atau peristiwa dari teks Sangkuriang yang dikaitkan dengan tulisannya.

Dengan begitu, tidak ada teks asli yang menjadi milik seorang penulis, seperti yang dikemukakan oleh Barthes (Eagleton, 1983, hlm. 137) semua teks sastra terjalin dari teks sastra yang lainnya, bukan dalam makna biasa bahwa teks ini memperlihatkan unsur-unsur pengaruh, tetapi dalam maksud yang lebih radikal, yaitu setiap perkataan, frasa atau bagian ialah penciptaan kembali karya-karya lain yang mendahului atau mengelilinginya.

Jika kita menarik benang merah antara seni rupa dan sastra melalui sastra bandingan dengan jalur interdisiplin intertekstual, maka hal ini juga berlaku untuk semua medium seni. Bisa jadi karya sastra adalah teks yang mempengaruhi karya seni, atau sebaliknya.

Tidak hanya karya rupa yang sengaja mengambil inspirasi dari teks sastra saja, teks dapat terjalin dalam satu karya dengan yang lain di bawah alam sadar tanpa melihat mana karya seni yang lebih dulu dibuat. Hal ini juga tentunya berlaku bagi seni terapan seperti produk pakaian, sepatu, desain antarmuka aplikasi, dsb.

Tidak ada keaslian dalam karya seni, tidak ada yang dapat disebut karya seni pertama; semua sastra adalah jaringan intertekstual. Suatu karya selalu melimpah ke dalam karya-karya yang berkelompok di sekelilingnya; menghasilkan ratusan pandangan yang berbeda dan mengecil hingga ke titik hilang.

Karya tidak dapat ditutupi kesamaannya, karya hanya dapat dirujuk pada berbagai konteks dari penciptanya sendiri. Untuk memperjelas teori intertekstualitas mari kita bahas mengenai teks dalam konteks sastra terlebih dahulu.

Pengertian Teks (Konteks Intertekstual)

Menurut Barthes (1981, hlm. 32) teks adalah permukaan fenomena karya sastra. Teks merupakan kata-kata yang membentuk karya dan disusun sedemikian rupa untuk tidak membelokkan arti yang tetap dan unik. Teks merupakan tenunan yang terjalin sebagai jaringan, dan secara konstitutif berhubungan dengan tulisan, dan memiliki fungsi untuk menjaga tetapnya dan permanennya inskripsi yang ditulis untuk  membantu ingatan.

Teks juga memiliki aspek legalitas karena memiliki sifat yang tetap, tidak tergantikan. Teks merupakan alat untuk melawan waktu, kelalaian, dan penipuan ujaran. Secara historis  teks berhubungan dengan institusi kebenaran: hukum, agama (gereja), kesusasteraan, seni secara umum, dan pendidikan.

Teks bukanlah objek yang tetap, tapi dinamis. Teks baru hidup di dalam interaksi dan berada di tengah-tengah interaksi tersebut. Penulis bukan penentu makna dan kebenaran. Teks itu produk tulisan yang performatif dan menghasilkan sesuatu, aktifitas pembaca memperbanyak dirinya sendiri tanpa batas.

Teks membuat celah pada tanda sehingga muncul berbagai arti. Karena teks bukan objek yang stabil, maka kata teks tidak menjadi suatu pokok yang padat dalam metabahasa.

Pengertian Intertekstual

Intertekstual adalah teks yang ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain. Menurut M.Bakhtin, sebuah teks dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks lain. Dalam kerangka keseluruhan itu teks yang bersangkutan merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan , dan sebagainya.

Dalam semiotika, istilah intertekstual dipergunakan menurut arti yang lebih luas. Segala sesuatu yang melingkungi kita (kebudayaan, politik, seni dan sebagainya) dapat dianggap sebagai sebuah ‘teks’. Teks yang berbahasa ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain tersebut.

Proses terjadinya sebuah teks diumpamakan dengan proses tenunan. Setiap arti ditenunkan ke dalam suatu pola arti lain (Hartoko & B.Rahmanto, 1986, hlm. 67). Di sinilah benang merah intertekstualitas karya seni pada umumnya ditarik.

Baca juga: Semiotika – Pengertian Simbol dan Tanda-tanda

Menurut Miller (1985, hlm. 19-20), sebagai suatu istilah, intertekstual menunjuk pada dirinya sendiri bagi suatu kemajemukan konsep. Dikatakannya, seseorang dapat memberikan pandangan dalam berbagai macam, seperti interteks meliputi bermacam cara yang disusun dalam istilah teoretis dan disebarkan dalam strategi metodologi.

Meskipun begitu, untuk tetap dapat memakai bentuk tunggal dan menandainya (walaupun hal itu tidak menyatukan konsep) tetap merupakan variasi bentuk lain yang menyenangkan. Hal itu disebut “pertalian keluarga” oleh Wittgenstein. Ia berpendapat bahwa salah satu gagasan tentang interteks mungkin bagian yang lain dengan beberapa ciri-ciri umum, tetapi ditemukan dalam seluruh gagasan kata.

Singkat kata, tidak ada keistimewaan unsur pokok yang mengijinkan kita untuk mendefinisikan istilah tersebut.

Hilangkan Keinginan untuk menjadi Asli

Keinginan untuk menjadi asli terkadang hanya menjadi belenggu kreasi/creative block untuk pikiran kita. Terlalu idealis pada ide hanya akan menghambat gagasan tersebut bertelur menjadi karya yang telah selesai. Ide adalah hal abstrak yang akan semakin menyiksa jika tidak segera diungkapkan menjadi nyata.

Terlalu banyak berpikir hanya akan membuat kita semakin kecewa dengan eksekusi yang kita jalankan; tidak sesuai dengan ekspektasi. Lebih baik gunakan berbagai kekecewaan tersebut menjadi kecelakaan/ketidaksengajaan yang akan memperkuat ikatan ide dan kenyataan.

Orisinalitas yang Sebenarnya

Seperti teks, Ide atau gagasan adalah hal yang bebas diambil oleh siapa saja. Ide selau ada di sekitar kita seperti udara, berada dalam domain publik dan selalu seperti itu. Jika seseorang menemukan ide bagus, dia akan mengambilnya, menyesuaikannya, mengujinya, dan membuatnya menjadi milik dia sendiri. Disitulah terjadi pengubahan ide menjadi hak intelektual.

Meskipun ide adalah milik siapa saja, seseorang yang telah menyusun mozaik dari berbagai ide yang ada di mana saja itu harus selalu kita hargai, karena disitulah letak orisinalitas yang sebenarnya. Tidak harus sepenuhnya asli, tetapi menunjukan karakter dirinya , grupnya, instansinya. Tidak benar-benar asli tapi kreasi seseorang yang telah mencurahkan segalanya agar ide tersebut menjadi sesuai untuknya, agar gagasan itu teruji dalam medannya, agar ide-ide itu sepenuhnya menjadi dirinya.

Referensi

  1. Amertawengrum, Indiyah Prana. 2010. Teks dan Intertekstualitas. Magistra Vol 22, No 73 (2010), Dipublikasikan September 2010, Diakses tanggal 4 Februari 2018.
  2. Barthes, R. (1981). Theory of the text, in r. young (ed.). Untying the Text, 31-47, London: Routledge.
  3. Eagleton, T. (1983). Literary theory: An introduction. Minneapolis: University of Minnesota Press.
  4. Willette, Jeanne S. M. 2014. Postmodernism and Intertextuality. Art History Unstuffed , Dipublikasikan 7 Februari 2014, Diakses tanggal 4 Februari 2018, http://arthistoryunstuffed.com/postmodernism-inte…/
  5. Hartoko, Dick dan B.Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *