Pengertian Kebiasaan

Kebiasaan adalah segala sesuatu yang kita lakukan secara otomatis, bahkan kita melakukannya tanpa berpikir sebagai akibat dari melakukan suatu aktivitas yang dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi bagian dari kita (Asrori, 2020, hlm. 191). Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Witherington (dalam Asrori, 2002, hlm. 114) yang mengartikan kebiasaan (habit) sebagai “an acquired way of acting which is persistent, uniform, and fairly automatic” yang artinya kebiasaan adalah hal yang diperoleh dari akting secara terus-menerus, seragam, dan cukup otomatis.

Dengan kata lain, kebiasaan timbul karena proses penyusutan respons menggunakan stimulus yang berulang, sehingga respons tersebut dapat keluar dengan cepat bahkan seakan otomatis tanpa memerlukan stimulus yang kuat. Semakin menyusut suatu proses respons, semakin kuat juga kebiasaan yang terbentuk pada individu.

Sementara itu menurut Djaali (2017, hlm. 128) kebiasaan merupakan cara bertindak yang diperoleh melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis. Kebiasaan memang memiliki sifat yang cukup permanen, akan tetapi seiring dengan hilangnya stimulus atau respons itu sendiri, kebiasaan ini juga dapat hilang seperti bagaimana kebiasaan baru yang baik dapat muncul untuk menggantikan kebiasaan lama yang buruk dalam proses pembiasaan.

Selanjutnya menurut Yamin (2017, hlm. 244) kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis dan tidak direncanakan. Salah satu kelebihan dari kebiasaan adalah individu tidak harus lagi bersusah payah untuk melakukannya secara sadar dan terencana. Saat menjadi kebiasaan, suatu hal akan dapat dilakukan dengan sangat mudah tanpa membutuhkan energi psikis yang berarti namun tetap memiliki efektivitas dan efisiensi yang tinggi.

Dapat disimpulkan bahwa kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang cenderung permanen yang berlangsung secara otomatis dan tidak direncanakan sebagai akibat dari pembiasaan dengan cara melakukannya secara terus menerus sehingga menjadi menetap dan menjadi bagian dari dirinya.

Unsur-Unsur Kebiasaan

Kebiasaan tentunya terbentuk atas berbagai unsur yang menyusunnya dan tidak muncul sendiri dengan sendirinya. Menurut Evertson & Emmer (2011, hlm. 184) kebiasaan terdiri atas beberapa unsur yang menunjangnya, dan unsur-unsur kebiasaan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Konsistensi

Konsistensi merupakan keadaan yang mencerminkan kesesuaian dan keselarasan antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Konsistensi tidak bisa tumbuh tanpa adanya kehendak atau kesungguhan dari dalam hati seseorang itu sendiri. Dengan sebuah keyakinan penuh akan membantu diri kita untuk selalu berbuat konsisten terhadap sesuatu yang kita anggap baik, karena apa yang kita lakukan sebenarnya diawali oleh pikiran-pikiran kita.

Manifestasi dari konsistensi dalam kebiasaan adalah konsistensi diri yang merupakan sikap seseorang untuk konsisten, konsisten, tepat, dan untuk mempertahankan keinginan, minat, dan prinsip yang diyakini untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Konsistensi tidak datang tiba-tiba. Butuh waktu bagi orang untuk tetap konsisten dan butuh waktu untuk membiasakan diri. Konsistensi yang bermakna tanpa perbedaan atau kontradiksi hanya dapat diajarkan lewat contoh. Setiap tindakan yang dilakukan seseorang mempengaruhi dirinya sendiri maupun orang lain, apakah yang telah dilakukannya itu baik atau buruk.

Konsisten merupakan suatu hal yang kita yakini secara prinsip dan terus-menerus kita lakukan. Menurut Evertson (2011, hlm. 184) konsisten berarti mempertahankan ekspektasi yang sama bagi perilaku yang pantas dalam sebuah kegiatan tertentu sepanjang waktu. Konsistensi juga berarti mempertahankan ekspektasi yang sama bagi kegiatan yang pantas pada sebuah aktivitas eksklusif sepanjang waktu, konsistensi bisa berarti suatu tindakan yang selalu berpegang teguh dalam prinsip yang sudah ditetapkan pada diri seorang yang diimplentasikan pada kehidupan. Idealnya, perilaku itu termanifestasikan kepada perbuatan konkret sebagai akibatnya perilaku yang terdiri atas kognisi (akal), afeksi (perasaan) dan konasi (kemauan) yang selaras.

2. Kontinuitas

Prinsip kontinuitas merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dalam membentuk kebiasaan. Prinsip kontinuitas juga dikenal sebagai prinsip berkesinambungan yang berarti suatu perilaku akan dilakukan secara terus-menerus sembari dievaluasi dari waktu ke waktu untuk semakin memperkuat repetisi yang dilakukan.

Kebiasaan bersifat cenderung permanen, namun dapat berhenti apabila tidak dilakukan secara kontinu. Kontinuitas ini dapat berasal dari stimulus yang tidak berhenti seperti bagaimana sekolah akan melakukannya, atau dari diri individu sendiri dengan cara tidak menghentikan respons dan terus melakukan apa yang telah menjadi kebiasaannya.

3. Kesungguhan

Kesungguhan adalah kecenderungan seseorang untuk dapat diandalkan, terorganisir, menyeluruh dan bertanggung jawab. Sesuatu yang diulang-ulang tanpa diiringi oleh kesungguhan adalah percuma. Kesungguhan akan menjadi bahan bakar utama dari keinginan dari seseorang untuk terus mengulang suatu aktivitas agar menjadi suatu kebiasaan.

Kesungguhan juga berkaitan dengan bagaimana respons yang diberikan akan memberikan reward. Tanpa kesungguhan, reward yang diberikan oleh perilaku yang dilakukan bisa jadi kurang cukup untuk meyakinkan individu melakukan perilaku secara kontinu. Saat kesungguhan ini kurang menjadi hal yang memiliki kontinuitas tinggi, maka kebiasaan tidak akan dapat muncul atau bertahan pada individu.

Proses Terbentuknya Kebiasaan

Sebelumnya telah dibahas bahwa kebiasaan terbentuk oleh suatu pengulangan aktivitas yang dilakukan secara kontinu, konsisten, dan sungguh-sungguh. Namun di atas kertas, sejatinya kebiasaan merupakan fenomena yang dapat terjadi pada semua organisme baik secara alami maupun dikontrol. Hal tersebut terutama dibahas dalam psikologi behaviorisme yang menganggap bahwa manusia sejatinya hanyalah makhluk yang dikendalikan oleh lingkungan.

Saat lingkungan memberikan stimulus berupa reward, maka seseorang akan memberikan respons yang akan menghasilkan reward tersebut. Sebaliknya, jika stimulus yang diberikan berupa punishment, ia akan menghindari perilaku tersebut. Dapat ditebak bahwa stimulus yang memberikan reward akan menghasilkan respons yang terus-menerus dan lama-lama akan menjadi kebiasaan. Proses pengulangan respons yang terus-menerus tersebut tercipta sebagai akibat dari pengondisian klasik (classical conditioning).

Classical conditioning atau pengondisian klasik dikatakan sebagai respons spontan yang terbangun melalui paparan dan penguatan yang berulang. Oleh karena itu terdapat sistem atau suatu mekanisme yang terjadi dalam proses pengondisiannya yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Pemerolehan (Acquisition)
    Yakni periode selama organisme belajar mengasosiasikan antara stimulus tak berkondisi (makanan) dengan stimulus berkondisi (suara lonceng) secara berulang-ulang sehingga muncul refleks atau respons berkondisi (unconditioned reflex) dinamakan sebagai proses atau tahap pemerolehan pengondisian (acquisition stage of conditioning).
  2. Penghapusan (Extinction) dan Pemulihan
    Suatu hal yang telah terbiasa lama-lama akan hilang (extinct) jika tidak dilakukan kembali. Proses ini disebut penghapusan atau pemunahan (extinction). Akan tetapi tanggapan yang hilang bisa kembali secara spontan, apabila rangsangan terkondisi diberikan lagi ke organisme, proses ini dinamakan pemulihan spontan.
  3. Generalisasi (Generalization)
    Generalisasi adalah proses inti dari transfer belajar, di mana respons yang terkondisi mentransfer ke rangsangan lain yang serupa dengan rangsangan terkondisi aslinya. Generalisasi digunakan untuk menjelaskan transfer suatu respons dari satu situasi ke situasi lainnya.
  4. Diskriminasi (Discrimination)
    Diskriminasi adalah suatu proses belajar yang dilakukan untuk menciptakan satu respons terhadap satu stimulus dan proses membedakan respons atau bukan respons terhadap beberapa stimulus. Dengan kata lain, seseorang akan membedakan mana respons tepat yang dapat menghasilkan reward atau positive reinforcement melalui perilaku aktifnya.

Baca juga: Classical Conditioning: Konsep, Eksperimen & Penguatan (+/-)

Referensi

  1. Asrori. (2020). Psikologi pendidikan pendekatan multidisipliner. Banyumas: Pena Persada.
  2. Djaali. (2017). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
  3. Evertson, C.M., Emmer, E. (2011). manajemen kelas untuk guru sekolah dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  4. Yamin, Martinis. (2017). Kiat Membelajarkan Siswa. Jakarta: Gaung Persada Press dan Center for Learning Innovation (CLI)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *