Kognisi sosial adalah studi mengenai bagaimana manusia menganalisis, menginterpretasi, dan menarik kesimpulan (inferensi) dari informasi sosial yang ada di lingkungannya (Taylor dkk dalam Maryam, 2018, hlm. 81). Dalam berinteraksi dengan orang lain, kita menggunakan cara kerja pikiran kita (kognisi) untuk memahami lingkungan di sekeliling kita agar kita dapat berfungsi di dalamnya secara adaptif. Kognisi semacam ini merupakan dasar dari kognisi sosial (social cognition).

Sementara itu menurut Dayakisni & Hudaniah (dalam Mayam, 2018, hlm. 81) menjelaskan bahwa kognisi sosial merupakan suatu proses yang melibatkan persepsi, evaluasi, dan mengategorisasikan orang lain.  Persepsi dan evaluasi merupakan salah satu proses mental yang terjadi pada gejala jiwa kognitif (pikiran). Sementara itu mengategorisasikan maksudnya berarti upaya untuk memahami dan memilah bagaimana perilaku kognisi atau kepribadian orang-orang pada lingkungan sosial. Oleh karena itu terkadang kognisi sosial atau social cognitive ini sering disebut pula sebagai cognitive theory of behavior (teori kognitif untuk perilaku).

Salah satu tokoh yang disebut-sebut memiliki andil besar dalam mengembangkan teori kognisi sosial adalah Albert Bandura dengan gagasannya mengenai social learning theory. Dalam Social learning theory, Bandura berpendapat bahwa pemerolehan pengetahuan individu dapat berlangsung dengan cara mengamati orang lain dalam konteks interaksi sosial, pengalaman, dan pengaruh media luar lainnya. Pemerolehan informasi berupa pengetahuan ini tentunya merupakan proses kognisi, oleh karena itu kognitif sosial merupakan salah satu bagian dari social learning theory.

Membuat penilaian sosial tidaklah semudah yang dibayangkan. Tentunya hal tersebut berbeda apabila kita hanya berasumsi atau berspekulasi semata. Psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang membutuhkan bukti empiris berupa data melalui observasi dan analisis yang rinci. Dalam konteks lingkungan sosial, sering kali informasi yang tersedia tidak lengkap, ambigu dan bertentangan satu dengan lainnya. Inilah yang menjadi persoalan utama dalam studi kognisi sosial sehingga kognisi sosial menjadi area penelitian penting dalam psikologi sosial.

Skema (Schema)

Manusia membutuhkan kemampuan dan energi psikis untuk mempersepsi dan menafsirkan perilaku orang lain secara akurat. Namun demikian individu juga memiliki waktu dan energi yang terbatas untuk mengevaluasi secara cermat terhadap masing-masing individu yang kita baru ditemui. Untuk mempermudah dan mempercepat pemrosesan informasi sosial, biasanya individu menggunakan skema (schema). Proses ini bisa dilakukan dengan cepat, efisien dan sering bersifat otomatis yaitu secara tidak sadar. Dalam teori kognisi sosial, kita memandang orang lain, situasi, atau kejadian berdasarkan skema.

Skema (schema) adalah seperangkat tatanan struktur pengetahuan atau pemahaman mengenai beberapa konsep atau stimulus (Maryam, 2018, hlm. 81). Fiske dan Taylor (dalam Maryam, 2018, hlm. 81) mengemukakan bahwa skema berisi pengetahuan tentang konsep, relasi antar berbagai pemahaman tentang konsep tersebut dan contoh-contoh spesifiknya.

Skema bisa berupa orang, peran sosial, diri sendiri, sikap terhadap objek tertentu, stereotip tentang kelompok tertentu, atau persepsi tentang kejadian umum. Seperti yang diungkapkan oleh Delamater dan Myers (dalam Maryam, 2018, hlm. 82) yang menjelaskan bahwa skema merupakan suatu struktur kognisi yang terorganisasi dengan baik terkait beberapa entitas sosial, seperti orang, kelompok, peran, atau kejadian.

Jenis-Jenis Skema

Menurut Delamater dan Myers (terdapat empat jenis skema utama yang akan dijelaskan di bawah ini.

  1. Skema orang (person schemas)
    Merupakan struktur kognitif yang mendeskripsikan tentang kepribadian orang, seperti introvert, ekstrovert, bersemangat, dan sebagainya. Skema ini memungkinkan kita untuk membuat ekspektasi tentang perilaku orang lain. Misalnya, ketika kita mendengar bahwa Adi termasuk orang yang bersemangat, kita bisa memperkirakan bahwa Adi mudah bergaul, optimis, dan percaya diri, meskipun kita belum memiliki informasi lengkap tentang Adi.
  2. Skema diri sendiri (self schemas)
    Merupakan struktur kognitif yang mengorganisasikan konsep kita tentang diri kita sendiri. Contohnya, jika Anda memahami bahwa Anda adalah orang yang bebas (independent), Anda akan melihat diri Anda sebagai seseorang yang individualistis, tidak konvensional, dan asertiv.
  3. Skema kelompok (group schemas)
    Skema kelompok sering disebut juga dengan stereotip (stereotypes), yaitu skema yang berkaitan dengan keanggotaan seseorang dalam sebuah kelompok tertentu atau kategori sosial. Skema ini memberikan ciri khusus terhadap kelompok orang tertentu. Stereotip menunjukkan atribut dan perilaku yang mempertimbangkan tipe keanggotaan dari kelompok atau kategori sosial.
  4. Skema peran (role schemas)
    Merupakan jenis skema yang berisi konsep tentang norma-norma dan perilaku yang cocok atau pantas bagi orang-orang dari berbagai kategori sosial atau posisi atau status. Skema peran menunjukkan atribut dan perilaku tipal orang yang menduduki sebuah peran tertentu dalam sebuah kelompok. Skema ini melibatkan pada cara kita mengharapkan orang-orang untuk melakukan tindakan saat mereka memainkan peran tertentu.
  5. Skema kejadian atau naskah (event schemas or scripts)
    Skema ini berisi pengetahuan tentang tipe urutan kejadian atau situasi social (suatu pesta, pertandingan sepakbola, wawancara pekerjaan). Skema ini membantu kita memahami dan mengingat beberapa kejadian.

Kelebihan dan Kekurangan Skema

Melalui penjelasan di atas dapat diketahui bahwa skema atau berpikir skematis ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Seperti bagaimana stereotip dapat memberikan pengaruh negatif pada individu tertentu dalam suatu kelompok yang sebetulnya tidak memiliki perilaku yang sama. Misalnya, hal tersebut dapat berpotensi memupuk benih-benih rasisme.

Untuk lebih jelasnya, Delamater dan Myers (2011) mengemukakan beberapa keuntungan dan kelemahan pemrosesan skematis yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Mempengaruhi kapasitas kita untuk mengingat (recall) informasi dengan membuat jenis-jenis fakta tertentu lebih menonjol dan lebih mudah untuk diingat.
  2. Membantu kita dalam memproses informasi dengan lebih cepat.
  3. Membimbing kita dalam membuat penyimpulan (inferences) dan penilaian (judgements) tentang orang dan objek.
  4. Membantu kita mengurangi ambiguitas dengan menyediakan sebuah cara untuk menginterpretasikan elemen yang ambigu dalam sebuah situasi. Sekali kita telah menerapkan sebuah skema dalam situasi, keputusan kita tentang bagaimana berinteraksi di dalamnya menjadi lebih mudah.

Sementara itu, kelemahan dari pemrosesan skematis di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Orang-orang terlalu menerima informasi yang sesuaisecara konsisten dengan skema.
  2. Ketika dihadapkan dengan informasi yang hilang atau tidak sesuai dengan skema, orang-orang akan mengisi kesenjangan (gap) dalam pengetahuan dengan menambahkan elemen yang konsisten dengan skema mereka. Terkadang ditambahkan elemen berubah menjadi keliru atau secara faktual tidak tepat. Ketika hal ini terjadi, tentu menyebabkan interpretasi atau penyimpulan (inferences) tentang orang, kelompok, atau kejadian menjadi tidak akurat.
  3. Karena orang-orang sering menolak untuk membuang atau merevisi skema, mereka kadang menerapkan skema tersebut kepada orang atau peristiwa meskipun saat skema tersebut tidak sesuai fakta dengan baik. Penerapan yang keliru dari sebuah skema akan menyebabkan karakterisasi dan penyimpulan yang keliru, dan hal ini dapat menghasilkan ketidakpantasan atau respons yang tidak fleksibel terhadap orang lain, kelompok, atau peristiwa.

Heuristik (Heuristics) dan Pemrosesan Otomatis

Dunia sosial menyediakan informasi sosial dalam jumlah yang banyak dan kompleks, sementara kita dituntut untuk bisa mengolah informasi sosial tersebut dalam waktu yang singkat. Tekanan efisiensi sering kali menyebabkan orang-orang mengandalkan skema yang dimiliki untuk mengolah informasi sosial tersebut. Pemrosesan informasi sosial dengan menggunakan skema ini disebut sebagai heuristik (heuristics).

Heuristik dapat diartikan sebagai aturan sederhana untuk membuat keputusan kompleks atau untuk menarik kesimpulan secara tepat dan tanpa usaha yang berarti (Baron & Byrne dalam Maryam, 2018, hlm. 86). Sementara itu menurut Dayakisni & Hudaniah (dalam Maryam, 2018, hlm. 86) heuristik adalah upaya untuk mempersingkat atau memotong proses mental menjadi lebih pendek, agar bisa keluar dari lingkungan sosial yang kompleks.

Tipe-tipe Strategi Heuristik

Terdapat beberapa tipe strategi heuristik yang secara umum digunakan oleh individu. Beberapa strategi heuristik yang biasa digunakan oleh individu menurut Maryam (2018, hlm. 87-89) antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Heuristik keterwakilan (heuristic representativeness)
    Membuat penilaian berdasarkan aturan yang relatif sederhana, yaitu semakin mirip seseorang dengan ciri-ciri khas orang-orang dari suatu kelompok, semakin mungkin individu tersebut menjadi bagian dari kelompok tersebut. Dalam menilai orang lain, sering kali kita mempertimbangkan terlebih dulu apakah orang tersebut termasuk bagian dari kategori kelompok tertentu dengan mencocokkan kesamaan orang tersebut dengan skema yang kita miliki tentang tipe anggota sebuah kelompok (prototype). Kita mencocokkan informasi dari penampilan orang lain dengan skema kita untuk menentukan apakah orang tersebut mewakili (representative) skema itu. Keterwakilan heuristis membantu seseorang untuk menentukan apakah orang atau kejadian tertentu merupakan contoh dari skema tertentu. Misalnya, saat kita pertama kali bertemu dengan seseorang, biasanya kita akan menilai apakah dia termasuk orang yang baik atau tidak, melalui penampilan dan perilakunya. Selanjutnya kita mencocokkan orang tersebut dengan skema yang kita miliki tentang orang baik dan tidak. Strategi heuristik ini bisa mendorong kita pada kesalahan. Penggunaan heuristik keterwakilan yang berlebihan bisa mengarahkan pada stereotip (stereotype).
  2. Heuristik ketersediaan (availability heuristics)
    Merupakan jenis heuristik yang menggunakan contoh-contoh yang mudah diingat atau jumlah informasi yang dapat kita ingat dengan cepat sebagai pedoman untuk mengambil kesimpulan. Heuristik tipe ini digunakan saat kita menjawab pertanyaan “berapa sering”, “berapa banyak”, dan kita bisa menjawab secara cepat dengan menggunakan sampel informasi yang telah tersedia dalam ingatan kita untuk melihat berapa banyak contoh yang ada di dalamnya. Misalnya, untuk menentukan kemungkinan terjadinya orang yang meninggal karena merokok. Kemungkinan kita memiliki contoh kejadian sahabat kita yang meninggal karena merokok, sehingga kita menyimpulkan risiko meninggal kemungkinan besar terjadi. Kesalahan atau bias yang muncul dalam strategi heuristik ini terkait jumlah informasi yang berdampak pada generalisasi. Jika informasi yang tersedia sedikit, bisa mendorong pada terjadinya estimasi yang keliru (bias) menyangkut tingkat risiko yang diputuskan. Jumlah sampel orang atau kejadian yang kecil tersebut kemudian digeneralisasikan sehingga mengakibatkan terjadinya overestimasi.
  3. Heuristik simulasi (simulation heuristics)
    Merupakan jenis heuristik yang digunakan untuk berbagai macam tugas, seperti prediksi (“Apa yang akan dikatakan pimpinan”), kausalitas, dan respons afektif.
  4. Heuristik patokan dan penyesuaian
    Strategi heuristik yang digunakan saat kita berusaha menilai berdasarkan informasi yang ambigu, sering kali kita mengurangi ambiguitas ini dengan menggunakan poin referensi atau patokan kemudian menyesuaikannya. Dalam melakukan penilaian sosial, seringkali kita dihadapkan pada informasi tentang situasi sosial yang ambigu. Patokan bisa membantu untuk menginterpretasikan makna informasi dan perilaku yang ambigu tersebut. Contohnya, untuk menilai seberapa kemandirian teman, kita menilai berdasarkan seberapa kemandirian diri kita sendiri.

Bias-bias Penggunaan Heuristik

Penggunaan heuristik memang memberikan keuntungan kepada kita karena bisa mempercepat pemrosesan informasi sosial. Namun demikian, penggunaan heuristik juga menimbulkan kesalahan-kesalahan yang biasa disebut sebagai bias, yakni memproses informasi secara tidak akurat. Beberapa bias yang terjadi dalam pemrosesan informasi sosial menggunakan heuristik antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Kesalahan generalisasi (generalization fallacies)
    Merupakan kecenderungan melakukan overgeneralisasi dari kasus-kasus individual atau dari sampel kecil dan berdasarkan pengalaman pribadi. Primary effect merupakan salah satu contoh kasus dari gejala generalization fallacies, yaitu penilaian kita terhadap seseorang atau perilaku berdasarkan pada kesan pertama, di mana kesan pertama ini bisa membawa kita pada interpretasi selanjutnya yang keliru dan menyesatkan.
  2. Keteguhan keyakinan (perseverance of beliefs)
    Kita cenderung mengukuhi atau memelihara keyakinan (belief) yang kita miliki meskipun kita memperoleh informasi baru
  3. Halo effect
    Kecenderungan kita saat membuat keputusan tentang orang lain yang tidak kita kenal, atau ketika kita memiliki informasi yang sedikit, sehingga kesan umum yang kita miliki tentang seseorang sebagai orang yang baik atau buruk akan mempengaruhi persepsi kita tentang beberapa ciri trait yang lebih khusus dari orang tersebut.
  4. Bias negativitas (negativity bias)
    Kita memiliki sensitivitas yang besar terhadap informasi yang negatif daripada informasi yang positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi negatif akan menonjol dalam ingatan kita dibandingkan informasi positif. Mengapa demikian? Berdasarkan perspektif evolusi dapat dipahami bahwa informasi negatif merefleksikan hal-hal di sekitar lingkungan yang bisa mengancam keselamatan atau kesejahteraan kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk sensitif terhadap informasi seperti ini agar kita mampu merespons dengan cepat.
  5. Bias optimistik (optimistic bias)
    Kecenderungan kita untuk mengharapkan agar segala sesuatu dapat berakhir dengan baik. Hasil penelitian Shepperd (1996 dalam Maryam, 2018, hlm. 90) menunjukkan bahwa kebanyakan orang percaya bahwa mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar dari orang lain untuk mengalami peristiwa positif, dan kemungkinan lebih kecil untuk mengalami peristiwa negatif.
  6. Self-fulfilling prophecy
    Merupakan sebuah proses di mana seseorang memiliki ekspektasi tentang orang lain akhirnya mengarahkan orang lain tersebut untuk bertingkah laku dalam cara yang sesuai dengan ekspektasi tersebut. Darley dan Fazio menegaskan bahwa self-fulfilling prophecy ini merupakan sebuah fenomena yang sangat kuat. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan? Peneliti mengindikasikan bahwa terjadinya fenomena ini melalui tiga tahap. Pertama, perceiver membentuk sebuah kesan pada target (sebuah kesan yang mungkin disadarkan pada interaksi dengan target atau informasi lain. Kedua, perceiver bertingkah laku dalam cara yang konsisten dengan kesan pertamanya. Ketiga, orang yang menjadi target secara tidak tertulis menyesuaikan perilakunya pada perilaku perceiver.

Referensi

  1. Maryam, E.W. (2018). Psikologi sosial. Sidoarjo: UMSIDA Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *