Lingkungan sering dianggap sebatas ruang, alam, dan benda-benda yang ada di sekeliling kita. Padahal, lingkungan juga meliputi segala hal, situasi, dan kondisi yang menyelubungi seseorang, baik itu budaya, norma, hingga berbagai idealisme dan kondisi hidup orang-orang di sekitarnya. Bahkan, media dan aktivitas virtual juga merupakan bagian dari lingkungan.

Sangat mudah juga bagi kita untuk mengabaikan dan tidak menyadari bahwa pengaruh lingkungan sebetulnya amatlah besar. Malah dengan mudahnya juga, kita akan merasa bahwa mentalitas kita kuat dan tidak akan terpengaruh oleh lingkungan atau pergaulan yang buruk.

Padahal, menurut para psikolog behavioris, perilaku seseorang sejatinya hanyalah respons terhadap stimulus yang diberikan oleh lingkungannya.

Misalnya, saat sekelompok manusia tinggal di daerah pantai, kebanyakan dari mereka akan menjadi seorang nelayan.

Anak yang bersekolah di kelas internasional akan menjadi pandai dalam berbahasa Inggris namun cenderung tidak mau atau kesulitan dalam berujar Bahasa Indonesia.

Ketika kita bergaul di lingkungan pengguna narkoba, maka kemungkinan besar kita akan ikut menjadi pencandu.

Dengan kata lain, lingkunganlah yang mengendalikan kita, bukan sebaliknya.

Pengertian Behaviorisme

Dalam teori behaviorisme, seseorang akan merespons suatu stimulus dari lingkungan yang memberikan reward dan menghindari yang memberikan punishment.

Selanjutnya respons terhadap stimulus lingkungan itu akan diingat dan dilakukan kembali di masa yang akan datang. Dengan demikian, terbentuklah perilaku seseorang berdasarkan lingkungan tersebut.

Tentunya stimulus dan reward ini terkadang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang baik. Bahkan terkadang stimulus dan reward itu juga sebetulnya tidak baik bagi keberlangsungan hidupnya.

Contoh mudahnya adalah bagaimana zat adiktif dapat menyebabkan dopamine rush yang memberikan rasa bahagia, padahal zat tersebut sebetulnya berbahaya bagi tubuh.

Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia ibarat robot yang hanya dikendalikan oleh lingkungan. Seperti yang diungkapkan oleh Rohim (2016, hlm. 85) bahwa behaviorisme menggambarkan manusia sebagai makhluk yang digerakkan semuanya oleh lingkungan atau dapat disebut sebagai Homo Mecanicus.

Behaviorisme pada dasarnya menyatakan bahwa semua pengalaman serta pengamatan dari struktur- struktur dalam masyarakat pada akhirnya akan menjadi perilaku kita. Teori ini mengasumsikan bahwa perilaku manusia dianggap seperti mesin, yang selalu berhubungan antara satu sama lainnya.

Selain itu, manusia juga dianggap bersifat hedonitis, yakni selalu mencari kesenangan dan menghindari kerugian, tanpa peduli akan akibat sebenarnya.

Eksperimen Behavioris

Lantas dari mana teori ini mengambil kesimpulan itu? Jika ditelusuri, jejak teori behaviorisme ini dapat kita temukan pada eksperimen Ivan Petrovich Pavlov yang merupakan seorang ahli ilmu faal di abad ke-18.

Eksperimen Pavlov yang dianggap menjadi dasar teori behaviorisme adalah ketika ia menggunakan seekor anjing untuk membuktikan adanya unconditioned dan conditioned reflex.

Dalam percobaannya ia memperlihatkan makanan pada anjing, lantas anjing itu pun kemudian mengeluarkan air liur. Hal tersebut disebut unconditioned reflex atau refleks tak berkondisi karena semua anjing akan mengeluarkan air liur jika melihat makanan.

Selanjutnya ia membuat situasi khusus yakni membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing. Mula-mula anjing tersebut masih tetap baru mengeluarkan air liur setelah melihat makanan. Akan tetapi, setelah dikondisikan atau dilatih, lama-lama anjing itu juga mengeluarkan air liur ketika bel dibunyikan, sebelum makanannya sendiri diperlihatkan. Hal inilah yang disebut sebagai conditioned reflex, atau refleks yang dikondisikan.

Dalam taraf percobaan lebih lanjut, sebelum bel dibunyikan Pavlov menyalakan lampu terlebih dahulu, dan hasilnya dapat ditebak, setelah dilatih, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur bahkan sebelum bel berbunyi, yaitu pada saat lampu menyala.

Selanjutnya, Skinner seorang tokoh psikologi behaviorisme lainnya berhasil membuktikan bahwa seekor tikus dapat mengetahui bahwa dengan menekan tombol, ia bisa memperoleh makanan.

Simpulan dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain adalah rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses pengondisian, di mana refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsangan-rangsangan tak berkondisi lama-kelamaan terhubung juga dengan rangsangan berkondisi atau terlatih (Saleh, 2018, hlm. 180).

Dapat dilihat pula bahwa Pavlov telah membuat lingkungan yang berhasil memberikan stimulus untuk membuat organisme yang ada di lingkungan tersebut memberikan respons yang pada akhirnya menjadi anggapan dasar dari teori behaviorisme.

Sanggahan dan Manfaat Behaviorisme

Tentunya kesuksesan teori behaviorisme dalam mempengaruhi bidang psikologi dan pendidikan tidaklah tanpa sanggahan. Bahkan salah satu sanggahannya muncul dari psikolog behavioris sendiri yang menganggap bahwa manusia memiliki kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, bukan robot yang dikendalikan oleh lingkungan.

Hal ini karena menurut Maslow sang behavioris penentang behaviorisme itu, tidak seperti organisme lain, manusia adalah agen bebas dengan kemampuan superior untuk menggunakan simbol-simbol dan mampu berpikir secara abstrak.

Selanjutnya, Maslow meninggalkan behaviorisme dan mencetuskan aliran psikologi humanistik yang menganggap setiap manusia adalah lembaran kertas putih yang dapat diisi oleh apa pun, termasuk lingkungan dan dirinya sendiri.

Namun demikian, bukan berarti bahwa behaviorisme dianggap sebagai aliran sesat lalu ditinggalkan begitu saja. Justru behaviorisme adalah salah satu Grand Theory yang amat berpengaruh terhadap psikologi modern, dan diterapkan oleh para pendidik menjadi model pembelajaran behavoristik.

Intisari yang dapat diambil adalah betapa kuatnya pengaruh lingkungan, dan kita secara simultan justru malah tidak menyadari serta terus meremehkannya.

Memang sangat mudah untuk merasa bahwa kita bisa menjaga diri meskipun berada di lingkungan yang buruk. Padahal, hanya butuh beberapa tarikan saja dan lingkungan mampu menggerakkan setiap tingkah laku kita layaknya sebuah boneka marionette.

Berdasarkan teori ini juga kita mengetahui betapa dapat dimanfaatkannya lingkungan kondusif untuk memperbaiki dan menguatkan perilaku kita.

Misalnya, desktop perangkat komputer juga adalah lingkungan. Untuk menciptakan perilaku yang lebih produktif, maka isilah desktop dengan berbagai shortcut yang langsung mengarahkan kita pada folder pekerjaan atau berbagai website dan aplikasi yang dibutuhkan, jangan malah sengaja dikosongkan karena ingin tampilan layar yang bersih.

Selalu ingat bahwa lingkunganlah yang mengendalikan kita, namun sebagai makhluk bebas yang mampu menentukan pilihannya, pilihlah lingkungan terbaik dan tinggalkan yang buruk.

Atau ciptakan sendiri lingkungan baik yang akan menstimulus kita untuk menjadi manusia yang lebih baik pula.

Referensi

  1. Rohim, Syaifui Haji. (2016). Teori Komunikasi Perspektif, Ragam, dan Aplikasi, Cetakan ke-1. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
  2. Saleh, A.A. (2018). Pengantar psikologi. Makassar: Penerbit Aksara Timur.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *