Prinsip komunikasi adalah berbagai asumsi atau asas yang dapat mencerminkan seperti apa suatu proses komunikasi terjadi. Berbagai prinsip ini dapat digunakan untuk menyadari sepenuhnya apa saja fundamental yang membuat suatu komunikasi mampu berjalan dengan baik. Bahkan, menurut Panuju (2018, hlm. 1) prinsip-prinsip komunikasi dapat digunakan untuk mendiagnosis fakta-fakta yang tersembunyi di balik realitas yang tampaknya.

Dengan demikian, selain dapat membantu aktivitas atau praktik komunikasi, prinsip-prinsip komunikasi juga dapat dijadikan alat untuk melakukan penelitian komunikasi. Lantas apa saja yang menjadi prinsip komunikasi? Berikut adalah 12 prinsip komunikasi yang disampaikan secara kontekstual (berdasarkan contoh) dan diperkuat oleh pendapat para ahli.

1. Komunikasi adalah proses simbolik

Proses komunikasi primer dimulai dengan penyampaian isi pikiran dan perasaan ke dalam lambang (symbol) sebagai media penghantarnya. Lambang atau simbol ini adalah perwakilan dari isi pikiran atau perasaan orang lain yang terdiri atas isi (content) atau makna, baik denotatif maupun konotatif. Simbol atau lambang adalah sesuatu untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang untuk menyebut sesuatu (Yusuf, 2021, hlm. 20). Simbol yang dimaksud dapat berupa bahasa verbal yang disampaikan secara diujarkan maupun dituliskan, dan lambang-lambang lain seperti bahasa isyarat, ikon, dsb.

Mengapa komunikasi harus menggunakan symbol sehingga membuatnya sebagai suatu proses simbolik? Menurut Langer (dalam Mukarom, 2020, hlm. 28) simbol atau tepatnya penggunaan symbol adalah satu kebutuhan pokok manusia. Manusia adalah satu-satunya organisme yang menggunakan lambang, dan itulah yang membedakan manusia dengan organisme lainnya. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia atau objek tersebut (Mukarom, 2020, hlm. 29).

Simbol adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh simbol, ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi ini ditandai dengan kemiripan misalnya patung Soekarno adalah ikon Soekarno, dan foto Anda pada KTP Anda adalah ikon Anda. Berbeda dengan lambang dan ikon, indeks adalah tanda yang secara alamiah merepresentasikan objek lainnya. Indeks muncul berdasarkan hubungan antara sebab dan akibat yang punya kedekatan eksistensi. Misalnya awan gelap adalah indeks hujan akan turun, sedangkan asap merupakan indeks api.

2. Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi

Komunikasi terjadi bila seseorang memberi makna pada perilaku orang lain atau perilakunya sendiri, sehingga setiap perilaku mengandung pesan (Karyaningsih, 2018, hlm. 34). Kita sendiri sejatinya tidak berkomunikasi. Komunikasi baru terjadi apabila seseorang memberi makna pada perilaku orang lain atau perilakunya sendiri (Mukarom, 2020, hlm. 30).

Jika seseorang diminta untuk tidak berkomunikasi, akan sulit baginya untuk berbuat demikian, karena setiap perilakunya memiliki potensi untuk ditafsirkan. Misalnya, jika seseorang tersenyum, ia ditafsirkan bahagia; kalua cemberut maka akan ditafsirkan sedang kesal atau marah. Bahkan ketika kita berdiam diri sekalipun, ketika kita mengundurkan diri dari komunikasi dan lalu menyendiri, sebenarnya kita mengkomunikasikan banyak pesan. Orang lain mungkin akan menafsirkan diam kita sebagai malu, segan, ragu-ragu, tidak setuju, tidak peduli, marah, atau bahkan malas atau bodoh.

3. Komunikasi mempunyai dimensi Isi dan dimensi hubungan

Komunikasi memiliki dua dimensi utama, yakni dimensi isi yang disandi secara verbal, sedangkan dimensi hubungan disandi secara nonverbal. Dimensi isi menunjukkan muatan (isi) komunikasi, yaitu apa pesan yang ingin disampaikan atau yang ingin dikatakan. Sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaiman cara mengatakannya yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu dan bagaimana seharusnya pesan itu ditafsirkan (Karyaningsih, 2018, hlm. 35).

Contohnya, ketika kita mengatakan “benci” kepada teman dekat atau saudara kita, tentu diperlukan penafsiran yang berbeda dari kata “benci” yang tidak dapat dimaknai sebagai benci dalam arti sebenarnya. Akan tetapi apabila kata “benci” digunakan untuk mengumpat dalam keadaan emosi yang sedang membara, maka “benci” akan menyampaikan isi yang sebenarnya.

4. Komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan

Komunikasi dilakukan dalam berbagai tingkat kesengajaan, dari komunikasi yang tidak disengaja sama sekali (misalnya ketika kita sedang melamun dan orang memerhatikan kita) hingga komunikasi yang benar-benar direncanakan atau disadari (ketika kita menyampaikan pidato) (Karyaningsih, 2018, hlm. 36). Kesengajaan bukanlah syarat untuk terjadinya komunikasi. Meskipun kita sama sekali tidak bermaksud menyampaikan pesan kepada orang lain, perilaku kita bisa jadi ditafsirkan orang lain dan menjadi bentuk komunikasi.

Membatasi komunikasi sebagai proses yang disengaja adalah menganggap komunikasi sebagai instrumen, seperti dalam persuasi. Jadi, niat atau kesengajaan bukanlah syarat mutlak bagi seseorang untuk berkomunikasi. Dalam komunikasi secara antara orang-orang berbeda budaya ketidaksengajaan berkomunikasi ini lebih relevan lagi untuk diperhatikan (Mukarom, 2020, hlm. 31).

5. Komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu

Makna pesan juga bergantung pada konteks fisik dan ruang, waktu, sosial, dan psikologis. Contoh mudahnya adalah kenyataan bahwa topik-topik yang lazim dipercakapkan di rumah, tempat kerja, atau tempat hiburan seperti ”lelucon, ”acara televisi, mobil, bisnis akan terasa kurang sopan bila dikemukakan di masjid atau tempat beribadah lainnya.

Pengaruh konteks waktu dan konteks sosial terlihat pada suatu keluarga yang tidak pernah tersenyum atau menyapa siapapun pada hari-hari biasa, tetapi mendadak menjadi ramah pada hari-hari lebaran. Penghuni rumah membuka pintu rumah mereka lebar-lebar, dan mempersilahkan tamu untuk mencicipi makanan dan minuman yang mereka sediakan.

Suasana psikologis peserta komunikasi juga mempengaruhi suasana komunikasi. Komentar seorang istri mengenai kenaikan harga kebutuhan rumah tangga dan kurangnya uang belanja pemberian suaminya yang mungkin akan ditanggapi denga kepala dingin oleh suaminya dalam keadaan biasa atau keadaan santai, bisa jadi akan membuat sang suami marah bila istri menyampaikan komentar tersebut saat suami baru pulang kerja dan baru dimarahi oleh atasannya hari itu.

6. Komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi

Prinsip ini mengansumsikan bahwa hingga derajat tertentu ada keteraturan pada perilaku komunikasi manusia, dan oleh karenanya, secara parsial, dapat diramalkan atau diprediksi(Mukarom, 2020, hlm. 33). Saat berkomunikasi orang-orang memilih strategi tertentu berdasarkan bagaimana orang yang menerima pesan akan merespon. Oleh karena itu, kita dapat memprediksi perilaku komunikasi orang lain berdasarkan peran sosialnya. Prediksi ini tidak selalu disadari, dan sering berlangsung cepat.

Contohnya, ketika kita menyapa seseorang di pagi hari dengan salam dan ucapan selamat pagi, kita akan memprediksi jawaban dari salam yang telah kita lontarkan. Artinya kita sudah memprediksi umpan balik apa yang akan kita terima. Namun komunikasi terikat dengan perilaku dan tatakrama di dalam masyarakat. Dengan kata lain, komunikasi juga terikat oleh aturan sosial, tatakrama, atau bentuk konstruksi sosial lainnya.

7. Komunikasi Bersifat Sistematik

Komunikasi terdiri dari beberapa komponen dan masing-masing komponen tersebut mempunyai tugasnya masing-masing. Tugas dari masing-masing komponen itu berhubungan satu sama lain untuk menghasilkan suatu komunikasi. Misalnya pengirim mempunyai peranan untuk menentukan apa informasi atau apa arti yang akan dikomunikasikan. Dengan demikian, komunikasi adalah suatu proses yang memiliki sistem atau disebut sebagai sistematik.

Terdapat dua sistem dasar dalam transaksi komunikasi, yaitu Sistem Internal dan Sistem Eksternal.

  1. Sistem internal,
    adalah seluruh sistem nilai yang dibawa oleh individu ketika ia berpartisipasi dalam komunikasim yang ia cerap selama sosialisasinya dalam berbagai lingkungan sosialnya (keluarga, masyarakat setempat, kelompok suku, kelompok agama, lembaga pendidikan, kelompok sebaya, tempat kerja, dan sebagainya). Istilah-istilah lain yang identik dengan sistem internal ini adalah kerangka rujukan (frame of reference), bidang pengalaman (field of experience), struktur kognitif (cognitive structure), pola pikir (thinking patterns), keadaan internal (internal states), atau sikap (attitude). Pendeknya, sistem internal ini mengandung semua unsur yang membentuk individu yang unik, termasuk ciri-ciri kepribadiannya, intelegensi, pendidikan, pengetahuan, agama, bahasa, motif, keinginan, cita-cita, dan semua pengalaman masa lalunya, yang pada dasarnya tersembunyi.
  2. Sistem eksternal,
    terdiri dari unsur-unsur dalam lingkungan di luar individu, termasuk kata-kata yang ia pilih untuk berbicara, isyarat fisik peserta komunikasi, kegaduhan disekitarnya, penataan ruangan, cahaya, dan temperatur ruangan. Elemen-elemen ini adalah stimuli publik yang terbuka bagi setiap peserta komunikasi dalam setiap transaksi komunikasi. Akan tetapi, karena masing-masing orang mempunyai sistem internal yang berbeda, maka setiap orang tidak akan memiliki bidang perseptual yang sama, meskipun mereka duduk di kursi yang sama dan menghadapi situasi yang sama. Maka dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah produk dari perpaduan antara sistem internal dan siste eksternal tersebut. lingkungan dan objek mempengaruhi komunikasi kita, namun persepsi kita atas lingkungan kita juga mempengaruhi cara kita berperilaku (Mukarom, 2020, hlm. 33).

8. Semakin mirip latar belakang sosial-budaya semakin efektiflah komunikasi

Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya. Salah satu hal yang dapat mewujudkan tujuan itu adalah kesamaan makna antarpeserta komunikasi. Makna suatu pesan (verbal atau nonverbal) pada dasarnya terikat dengan budaya (Yusuf, 2021, hlm. 24). Kesamaan makna itu akan dapat lebih dapat diharapkan terjadi ketika para peserta berasal dari budaya yang sama.

Dalam kenyataannya, tidak pernah ada dua manusia yang persis sama, meskipun mereka kembar yang dilahirkan dan diasuh dalam keluarga yang sama, diberi makan yang sama dan dididik dengan cara yang sama. Namun kesamaan dalam hal-hal tertentu, misalnya agama, ras (suku), bahasa, tingkat pendidikan, atau tingkat ekenomi akan mendorong orang-orang untuk saling tertarik dan pada gilirannya karena kesamaan tersebut komunikasi mereka menjadi lebih efektif (Mukarom, 2020, hlm. 34). Kesamaan bahasa khususnya akan membuat orang-orang yang berkomunikasi lebih mudah mencapai pengertian bersama dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memahami bahasa yang sama.

9. Komunikasi bersifat nonsekuensial

Meskipun terdapat banyak model komunikasi yang linear atau satu arah, komunikasi sejatinya bersifat nonsekuensial atau tidak berada pada bentuk atau model komunikasi tertentu. Proses komunikasi bisa jadi terjadi dalam tatanan acak; tidak linear, sirkuler, atau bahkan helical (Yusuf, 2021, hlm. 24).

Ketika seseorang berbicara kepada seseorang lainnya, atau kepada sekelompok orang seperti dalam rapat atau kuliah, sebetulnya komunikasi itu bersifat dua-arah, karena orang-orang yang kita anggap sebagai pendengar atau penerima pesan sebenarnya juga menjadi “pembicara” atau pemberi pesan pada saat yang sama, yaitu lewat perilaku nonverbal mereka (Mukarom, 2020, hlm. 35).

Sebenarnya komuniaksi manusia dalam bentuk dasarnya bersifat dua arah atau disebut juga bersifat sirkuler. Komunikasi sirkuler, ditandai beberapa hal berikut.

  1. Orang-orang yang berkomunikasi dianggap setara, yang mengirim dan menerima pesan pada saat yang sama.
  2. Proses komunikasi berlangsung timbal balik (dua arah).
  3. Dalam prakteknya, tidak dapat dibedakan antara pesan dan umpan balik.
  4. Komunikasi yang terjadi sebenarnya jauh lebih rumit. Misalnya komunikasi antara dua orang sebernarnya secara simultan melibatkan komunikasi dengan diri sendiri (berpikir) untuk menanggapi pihak lain (Karyaningsih, 2018, hlm. 44).

10. Komunikasi bersifat prosesual, dinamis, dan transaksional

Seperti juga waktu dan eksistensi. Komunikasi tidak mempunyai awal dan tidak mempunyai akhir, melainkan merupakan proses yang sinambung (continuous) (Karyaningsih, 2018, hlm. 45). Implikasi dari komunikasi adalah proses yang dinamis dan transaksional adalah para peserta komunikasi akan terus berubah, mulai dari usia, pengetahuan dan pengalaman (Yusuf, 2021, hlm. 27). Para peserta komunikasi akan saling mempengaruhi satu dengan yang lain (transaksional).

Bahkan kejadian yang sangat sederhana pun, seperti “Tolong ambilkan garam” melibatkan rangkaian kejadian yang rumit bila pendengar memenuhi permintaan tersebut. Untuk lebih memudahkan pengertian, kita dapat mengatakan bahwa peristiwa itu dimulai ketika orang A meminta garam dan berakhir ketika orang B memberikan garam. Namun kita tidak dapat mengukur peristiwa itu hanya berdasarkan apa yang terjadi antara permintaan akan garam dan pemberian garam itu. Baik A atau B telah merujuk pada pengalaman masa lalu mereka untuk merumuskan dan menafsirkan pesan serta menanggapinya secara layak.

11. Komunikasi bersifat irreversible

Sekali kita mengirimkan suatu pesan, maka kita tidak dapat mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi khalayak apalagi menghilangkan efek pesan tersebut sama sekali (Karyaningsih, 2018, hlm. 46). Sifat irreversible ini adalah implikasi dari komunikasi sebagai suatu proses yang selalu berubah. Prosesnya hanya bisa berjalan dalam satu arah, tidak bisa dibalik.

Sementara itu Mukarom (2020, hlm. 36) berpendapat bahwa suatu perilaku (komunikasi) adalah suatu peristiwa, oleh karena itu perilaku berlangsung dalam waktu dan tidak dapat “diambil kembali”. Kita tidak dapat memutar kembali jarum jam dan berpura-pura seakan-akan hal itu tidak pernah terjadi.

Prinsip ini sudah seharusnya menyadarkan kita bahwa kita harus hati-hati untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, sebab, efeknya tidak bisa ditiadakan sama sekali, meskipun kita berupaya meralatnya. Apalagi bila penyampaian itu dilakukan untuk pertama kalinya.

12. Komunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah

Banyak persoalan dan konflik antarmanusia disebabkan oleh masalah komunikasi. Akan tetapi, komunikasi bukanlah panasea (obat mujarab) untuk menyelasaikan persoalan atau tersebut mungkin berkaitan dengan masalah struktural (Mukarom, 2020, hlm. 37). Agar komunikasi efektif, kendala struktural ini juga harus diatasi. Misalnya, meskipun pemerintah bersusah payah menjalin komunikasi yang efektif dengan warga Aceh dan warga Papua, tidak mungkin usaha itu akan berhasil bila pemerintah memberlakukan masyarakat di wilayah-wilayah itu secara tidak adil, dengan merampas kekayaan alam mereka dan mengangkutnya ke pusat.

Referensi

  1. Karyaningsih. (2018). Ilmu komunikasi. Yogyakarta: Samudra Biru.
  2. Mukarom, Z. (2020). Teori-teori komunikasi. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
  3. Panuju, R. (2018). Pengantar studi (ilmu) komunikasi: komunikasi sebagai kegiatan, komunikasi sebagai ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group.
  4. Yusuf, F.M. (2021). Buku ajar pengantar ilmu komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Ilmu.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *