Daftar Isi ⇅
show
Semiotika merupakan ilmu yang tengah banyak diperbincangkan dan dikaji dalam berbagai bidang. Hal tersebut karena semiotika mampu menjadi pisau analisis lintas disiplin yang dapat diandalkan, serta memberikan hasil data yang kaya untuk disimpulkan. Entah itu karya tulis seperti novel, karya rupa seperti lukisan, atau media sekompleks film dan video permainan juga dapat dianalisis menggunakan semiotika.
Contohnya, karya seni dapat diamati dengan pendekatan semiotika, khususnya boleh dibilang semiotika visual atau semiotika rupa. Hal tersebut karena sebagai pisau analisis, semiotika dapat digunakan untuk mengungkapkan tujuan komunikasi pikiran, perasaan, atau ekspresi apa saja yang disampaikan oleh seniman terhadap pemirsa melalui komposisi tanda.
Ya, semiotika adalah disiplin ilmu yang menelaah tanda, termasuk pengertian simbol, indeks, ikon. Seluruh medium karya seni, termasuk sastra, desain, tari, dan film sejatinya merupakan komposisi tanda baik dilakukan secara verbal maupun non-verbal.
Richard Rudner dalam (Beardsley & Schueller, 1967, hlm. 93-94) berpendapat bahwa:
“…Semiotic is the science or theory of sign. From the point of view of the inclusion of aesthetics within the field of semiotic, the art work is conceived as sign which is, in all the simplest limit case, itself a structure of sign”
“…Semiotika adalah ilmu atau teori tanda. Dari sudut pandang dimasukannya estetika di bidang semiotik, karya seni dapat dipahami sebagai tanda yang dalam kasus paling sederhana itu sendiri merupakan sebuah struktur tanda-tanda.
Pendapat ahli di atas mengonfirmasi bahwa karya seni juga dapat dikaji dengan semiotika karena dapat dianggap sebagai suatu tanda atau struktur tanda.
Semiotika memiliki dua cabang besar yang menjadi akar perkembangan ilmu itu sendiri. Pertama adalah semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1931) dan yang kedua adalah semiotika ala Charles Sander Peirce (1839-1914). Bagi Saussure semiotika adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, sedangkan Peirce mengartikan semiotika lebih ke logikanya.
Sejarah Semiotika
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, semiotika memiliki dua bapak besar yang berpengaruh besar, yaitu Fredinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Ironisnya, kedua tokoh ini mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak memiliki hubungan bahkan mengenal satu sama lain.
Saussure mengembangkan semiotika di Eropa, sedangkan Pierce berkewarganegaraan Amerika Serikat (US) dan tentunya tinggal di sana. Bagi Saussure, semiotika atau semiosis adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat. Sedangkan Peirce mengartikan semiotika tidak lain adalah sebuah nama lain dari logika, yaitu doktrin formal tentang tanda-tanda.
Semiotika merupakan suatu cabang ilmu filsafat yang semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian dalam perkembangannya ikut merambahi bidang seni juga. Perkembangan semiotika kemudian membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori produksi tanda yang salah satunya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu:
- Pengirim
- Penerima
- Kode
- Pesan
- Saluran komunikasi
- Acuan
Sedangkan semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Pada jenis yang kedua ini tidak dibicarakan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya lebih diperhatikan dari pada komunikasinya. Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Pengertian Semiotika
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda. Semiotika diambil dari kata bahasa yunani: semeion, yang berarti tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu (seperti metafora). Proses mewakili itu terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan hubungannya dengan yang diwakilinya, misalnya burung garuda mewakili Indonesia. Proses tersebut disebut sebagai semiosis.
Semiosis adalah suatu proses di mana suatu tanda berfungsi sebagai perwakilan dari apa yang ditandainya. Hal yang menjadi fokus dalam kajian semiotika di sini adalah semiosis itu sendiri. Semiosis merupakan proses yang memadukan entitas yang disebut sebagai representasi dari entitas yang diwakili tersebut dan disebut sebagai objek. Proses semiosis sering disebut sebagai signifikansi/signification.
Seperti yang diperlihatkan pada gambar skema diatas, proses semiosis menghasilkan rangkaian hubungan yang tak terbatas, maka pada saatnya interpretan akan menjadi representamen, kembali ke interpretan dan representamen, begitu sampai seterusnya.
Peirce seperti yang dikutip oleh Noth (Hoed, 1992, hlm. 3) berpendapat bahwa “triple connection of sign, thing signified, cognition produced in the mind”. Artinya, ketiga koneksi dari tanda, sesuatu yang disignifikasi, dan kognisi dalam semiotika dibentuk dalam pikiran.Di halaman yang sama Peirce juga mengatakan bahwa “Nothing is a sign unless it is interpreted as a sign” atau tanda tidak akan terbentuk jika kita tidak menganggapnya sebagai tanda.
Tampak jelas bahwa menurut Pierce, semiotika merupakan semiosis atau proses karena mencakup tiga unsur yang bersamaan, yaitu tanda. Hal yang diwakilinya (objek) dan interpretan adalah kondisi yang terjadi pada pikiran seseorang ketika menangkap tanda itu. Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan dengan tanda karena ada kemiripan, lalu kedekatan eksistensi dan terbentuk secara konvensional.
Pengertian Tanda dalam Semiotika
Lihat postingan ini di Instagram
Tanda/sign adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain, atau sesuatu yang mewaikili sesuatu yang lain dari sesuatu itu sendiri, seperti metafora. Menurut Charles Sanders Peirce “alam semesta dipenuhi dengan tanda, atau secara eksklusif tersusun oleh tanda”. Segala sesuatu yang dapat dilihat/diamati atau dapat dibuat teramati bisa disebut tanda.
Sesuatu yang dimaksud dapat berupa gagasan, pikiran, pengalaman (sesuatu yang dialami) atau perasaan, tanda tidak terbatas pada objek/benda. Jika A dikenal dan diketahui mewakili B, maka A adalah tanda. A adalah lampu lalu lintas yang berwarna merah menyala, maka pengendara kendaraan bermotor tidak boleh menyebrangi jalan; B. Tanda dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu ikon, simbol dan indeks. Sekilas tentang tiga kategori tanda tersebut dapat disimak di tabel dibawah.
Tanda | Ikon | Indeks | Simbol |
---|---|---|---|
Ditandai dengan: | Persamaan (kesamaan) | Hubungan sebab-akibat | Konvensi |
Contoh: | Gambar-gambar dan patung-patung Tokoh besar Foto Reagan | Asap/api Gejala/Penyakit | Kata-kata isyarat |
Proses: | Dapat dilihat | Dapat diperkirakan | Harus dipelajari |
Sumber: Sobur, 2003, hlm. 34
Ikon / Icon
Ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan/similiarity bahkan menyerupai secara fisik dengan sesuatu yang diwakilinya. Tanda sebagai ikon memiliki arti yang sesederhana untuk mengkomunikasikan A maka diwakili oleh gambar A. Lukisan potret wajah yang menyerupai seseorang adalah ikon dari orang itu.
Lambang / Simbol / Symbol
Pengertian simbol atau lambang adalah tanda yang mewakili sesuatu berdasarkan kesepakatan-kesepakatan (convention) baik sengaja atau tidak disengaja, misalnya gedung sate mewakili Bandung. Seperti yang diutarakan oleh Hoet “Tanda juga dapat berupa lambang jika hubungan antara tanda itu dengan yang diwakilinya di dasarkan pada perjanjian/convention, misalnya rumah beratap gonjong mewakili Minang Kabau, (gagasan berdasarkan perjanjian yang ada dalam masyarakat.”(Hoet, 1999, hlm. 2).
Indeks / index
Indeks adalah tanda yang yang mewakili sesuatu berdasarkan keterkaitan/contiguity yang biasanya terbentuk dari pengalaman seperti awan kelabu adalah tanda akan datangnya hujan.
Cara Membedakan Tanda
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa tanda memiliki bermacam kategori juga sisi/perspektif yang beragam. Lalu bagaimana caranya agar kita tahu bahwa sesuatu yang kita lihat/alami adalah sebuah tanda? Utamanya hal ini berlaku pada karya seni murni, yang biasanya memiliki ambiguitas dan tidak mempunyai kejelasan yang cukup untuk mudah dimengerti.
Peirce menekankan adanya tiga sifat dasar atau ground tanda yaitu:
- Qulisign/tanda kualitas (dari quality dan sign), adalah sesuatu yang dianggap sebagai tanda erdasarkan suatu sifat, misalnya merah atau sebagai sebuah sifat yang berdiri sendiri sebelum dikaitkan dengan sesuatu yang lain (sebelum mewakili sesuatu yang lain selain warna).
- Sinsign/tanda tunggal, (dari singular dan sign), Sinsign adalah sesuatu yang dianggap tanda atas dasar tampilannya dalam kenyataan, contohnya asap sebagai tanda untuk api. Tanda akan selalu memiliki kendaraan yang berbentuk fakta eksistensial; Hubungan kausal antara api dan asap memungkinkan asap berfungsi sebagai penanda dari api. Intinya setiap tanda akan menggunakan kendaraan berdasarkan koneksi eksistensial dengan objeknya.
- Legisign/tanda hukum/aturan (dari legal dan sign), adalah sesuatu akan dianggap tanda berdasarkan peraturan yang berlaku umum, baik secara hukum dibuat atau secara tidak sengaja terbentuk dengan sendirinya dalam kultur.
Semiotika Visual
Semiotika visual atau visual semiotics adalah salah satu bidang studi yang secara khusus mempelajari penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra pengelihatan/Visual senses. Dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa semiotika dapat mengkaji seni rupa. Namun seperti yang telah dikatakan sebelumnya, semiotika memilki banyak mazhab/aliran. Karena itu seseorang yang akan menggunakan semiotika untuk mengamati karya seni rupa harus terlebih dahulu menentukan semiotika apa yang digunakan.
Semiotika Peirce, terutama dalam konsep trikotomi ikon-indeks-simbol telah sering digunakan untuk menganalisis seni rupa dan desain. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan rupa/resemblance sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya. Dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagai kesamaan dalam beberapa kualitas. Sebelumnya kita telah membahas ini, tapi ada hal penting yang harus dimengerti agar dapat lebih memahami tentang trikotomi itu.
Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial diantara representamen dan objek. Dalam indeks hubungan antara tanda dan objeknya bersifat kongkret, aktual, dan biasanya memiliki suatu cara yang sekuensal atau kausal. Simbol yaitu jenis tanda yang bersifat arbiter dan konvensional. Dengan kata lain, simbol adalah tanda yang berhubungan dengan objeknya dan ditentukan oleh sebuah peraturan yang berlaku umum, Budiman (2003, hlm. 32).
Sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas dan konteks tertentu. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama yang pada gilirannya mengacu pada objek. Dengan demikian tanda atau representamen meiliki relasi triadic langsung dengan interpretan dan objeknya.
Maka dari sudut pandang triadik/trikotomi tersebut, sebuah tanda tidak selalu hanya mengandung salah satu dari ketiga unsur tersebut: ikon, indeks dan simbol, bisa jadi sebuah tanda mengandung dua atau tiga aspek dari trikotomi itu. Berbeda dalam proses analisis, ketiga tanda tersebut harus dibahas dengan cara yang lebih dinamis.
Cabang Semiotika Menurut Charles Morris
Sementara itu Charles Morris seorang filsuf yang ikut serta dalam ilmu tentang tanda-tanda membedakan semiotika dalam tiga cabang penelitian, yakitu: sintaksis, semantik dan pragmatik
- Sintaksis/syntax atau sintaktik/syntactics adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain. Dengan kata lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan turunan dan interpretasi.
- Semantik (semantics) adalah penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda-tanda dengan designate atau objek-objek yang diacunya. Designata bagi Morris adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.
- Pragmatik/pragmatics adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.
Norman Bryson, seorang semiotik strukturalis mengembangkan semiotika visual yang didalamnya terdapat perbedaan antara kata dan gambar. Sebagian besar karya seni rupa memiliki gambar dibandingkan teks, tetapi bisa saja memiliki keduanya. Maka kebiasaan menghubungkan teks dan gambar dengan arti lain adalah membaca teks yang mempengaruhi pemahaman kita tentang gambar, sehingga makna kata dan makna gambar saling memotong. Meskipun begitu, perlawanan dua kata ini bukanlah satu-satunya yang dapat digunakan.
Bryson sendiri menggunakan perlawanan dua kata ini untuk mencermati lukisan. Ia mengatakan bahwa lukisan adalah sebuah karya seni rupa yang tidak hanya terbuat dari pigmen-pigmen cat di atas permukaan, tetapi terbentuk juga oleh tanda-tanda dalam ruang semantik. Makna sebuah gambar tidak pernah terwujud pada permukaan berupa sapuan-sapuan kuas; lebih jauh dia mengatakan makna akan muncul lewat kolaborasi antara tanda-tanda (visual dan verbal) dan para penafsirnya. Perlawanan dua kata ini juga dapat digunakan untuk membahas karya-karya zaman sekarang (Sumartono, 2003, hlm. 7).
Tujuan Semiotika
Karya seni adalah produk yang berkomunikasi melalui tanda-tanda yang secara otomatis memiliki berbagai arti untuk penyerap tandanya. Makna dan interpretasi/tafsiran yang dihasilkan oleh tanda tersebut dapat berubah sesuai dengan konteks sosial dan waktu/zaman pada saat tanda itu ditafsirkan oleh seseorang. Malah bisa jadi tanda tersebut tidak berarti apa-apa untuk pemirsanya. Karya seni adalah produk yang terbuka, setiap orang berhak memahami dengan keputusannya sendiri. Disini dapat dirumuskan bahwa terdapat masalah yang muncul ketika kita mempelajari suatu karya seni. Bagaimana caranya kita dapat memastikan bahwa apa yang disampaikan oleh karya tersebut sudah sesuai/akurat?
Seperti yang dijelaskan oleh Karen Hamblen yang dikutip oleh Albert Camus, keyakinan akan adanya kemungkinan komunikasi universal melalui seni telah menghasilkan berbagai kesulitan. Kehidupan postmodern tidak percaya seseorang dapat mengkonsumsi suatu karya tanpa memahami terlebih dahulu konteks dari karya tersebut berasal dan kapan dibuat. Kritikus postmodern juga meyakini bahwa kita tidak dapat memahami karya seni suatu masyarakat, jika tidak memiliki informasi antropologis tentang karya tersebut.
Disinilah peran semiotika sangat penting untuk digunakan agar berbagai tanda tersebut dapat dipecahkan dengan baik. Melalui pendekatan semiotik kita dapat menelaah lebih detail tentang komunikasi yang disampaikan oleh karya seni. Melalui semiotika kita dapat mengkaji tanda, ‘kendaraan’ yang ditumpangi oleh tanda dan makna dari tanda itu sendiri dalam konteks sosio-kultural masyarakat dimana ia dihasilkan. Dengan catatan bukan berarti dapat menggantikan kajian interdisiplin seni dengan bidang studi lain, tapi melengkapi.
Pendekatan Semiotika dalam Analisis Seni Rupa
Perkembangan postmodernisme menuntut pengkajian tentang artikulasi makna dan ideologi di dalam karya-karya seni harus dirumuskan kembali. Pencarian makna dalam kebudayaan postmodern pada kenyataanya tidak hanya menghadapkan para pemikir kepada masalah metodologis, tapi juga epistemologis.
Pada tingkat epistemologis muncul sebuah kegundahan tentang teori estetika atau semiotika yang mampu menjelaskan cakupan, metode dan keabsahan pengetahuan yang digunakan dalam praktik postmodernisme sebagai landasan atau model dalam penciptaan dan penafsiran karya.
Pada tingkat metodologis ini muncul tuduhan-tuduhan akan praktik seni postmodern yang dianggap irasional, antimetodologi dan antiestetika, namun ironisnya justru semua nilai-nilai rasional, metodologis dan estetika inilah yang ingin didekonstruksi dan dievaluasi oleh postmodernisme (Piliang, 2003, hlm. 170). Lalu ditengah kegundahan, keraguan dan ironi tersebut bagaimankah semiotika memahami objek-objek kebudayaan postmodern dalam karya seni rupa?
Dua Aspek Utama dalam Analisis Semiotika
Ada dua aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam proses seni, yaitu aspek objektif dan subjektif. Objektif berarti berkaitan dengan pertimbangan berbagai faktor yang membatai proses pengembangan seni seperti teknologi, teknik, material atau unsur-unsur seni rupa dan desain. Aspek subjektif berkaitan dengan kemampuan artistik dan kreativitas seniman, yang dibentuk oleh berbagai kebudayaan, mitos, kepercayaan, ideology atau ketaksadaran seniman itu sendiri (Piliang, 2003, hlm. 250). Pendekatan postmodern terhadap seni lebih menekankan pada aspek permainan tanda-tanda atau kode-kode memandang sebuah objek sebagai sebuah mozaik tanda-tanda.
Lebih lanjut (Piliang, 2003, hlm. 251) mengatakan, untuk mengkaji objek seni sebagai tanda, sama artinya menganggapnya sebagai komponen dari bahasa. Bahasa sendiri merupakan komponen dari sosial dan kebudayaan. Rosalind Coward dan John Ellis berpendapat … semua praktik sosial dapat dianggap sebagai makna, sebagai pertandaan (signification) dan sebagai pertukaran (exchange) di antara subjek-subjek, dan karenanya dapat bersandar pada linguistic sebagai model untuk pengembangan realitasnya secara sistematis.
Objek seni adalah komponen dari kebudayaan benda (material culture). Untuk mempelajari objek seni sebagai tanda sama artinya mempelajari kebudayaan dimana objek tersebut berada. Ia berfungsi sebagai tanda, yang mempunyai referensi pada fenomenal kultural. Piliang (2003, hlm. 251) mengatakan untuk mempelajari objek seni sebagai tanda adalah untuk menentukan kode-kode yang mengaturnya yang ada pada satu komunitas, kebudayaan atau ruang tertentu.
Dalam proses pemuatan kode makna kedalam objek seni, terdapat dua aspek yang harus dipertimbangkan, yang pertama aspek denotasi dan penampakan objek, yang mengacu pada sifat-sifat gestalt dan keindahan yang melekat pada objek. Kedua adalah aspek konotasi dan konsep objek, yang mengacu pada gagasan, citraan, pengalaman dan nilai-nilai objek seni. Aspek denotasi mengandung makna langsung yaitu makna khusu dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan makna konotasi bersifat makna leksikal, makna kata seperti yang ada di kamus atau hukum/aturan yang dicanangkan.
Semiotika Komunikasi Visual
Dalam pemuatan makna tertentu pada objek seni, terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu kode, yaitu cara memilih, menyusun dan mengombinasikan tanda-tanda, makna yang diharapkan (bisa konvensional, kontradiktif atau ironis, dan ekspresi atau idiom, yaitu cara elemen-elemen bentuk dan tanda dikombinasikan sehingga menghasilkan totalitas bentuk, baik yang berupa elemen linguistik ataupun non-linguistik; Semiotika Komunikasi Visual.
Berdasarkan uraian diatas, objek seni rupa menjadi media komunikasi yang memberikan pesan tertentu dari seniman kepada apresiator. Pesan dalam karya seni rupa menempel pada sesuatu, yaitu bahan-bahan fisik ketika di encode (telah di tanda-kan) bagi interpreter.
Untuk mendapatkan batasan pesan dalam objek seni ada dua gejala tanda yang tidak dapat dipisahkan yaitu tanda yang menjadi pesan denotatif atau litere dan pesan konotasi. Pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan oleh gambar secara keseluruhan sedangkan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar (Sunardi, 2002: 160). Denotasi sering juga dipahami sebagai pesan tanpa kode, artinya pesan yang disampaikan pada umumnya yaitu pesan tanpa penafsiran.
Kesimpulan
Tanda yang terdapat dalam sebuah karya seni rupa bersifat abstrak dan dapat dianalisis secara terperinci atas dasar bentuk yang tampak, baik itu teks maupun objek/bahasa yang lainnya. Teks dalam sebuah karya seni rupa dapat menjadi wacana dan terkadang teks itu sendiri adalah bentuk utama dari karya itu sendiri. Sehingga semiotika dapat digunakan utuk menganalisa karya seni rupa dengan lebih dalam baik untuk kepentingan akademik, maupun seniman yang ingin mengeksplorasi dan mencari inspirasi dari karya yang telah berhasil sebelumnya.
Referensi
- Budiman, Kris, 1999. Kosa Kata Semiotika. Yogyakarta: LKIS
- Piliang, Yasraf Amir, 2001. Sebuah Dunia yang dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
- Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
- Sunardi, S. 2002, Semiotika Negatifa. Yogyakarta: Kanal.
- Atkin, Albert 2006. Pierce’s Theory of Signs (Summer 2013 Edition), Edward N. Zalta (ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Dipublikasikan 13 Oktober 2006, Diakses tanggal 8 Februari 2018, https://plato.stanford.edu/entries/peirce-semiotics/