Pengertian Hikayat

Teks hikayat adalah cerita Melayu klasik yang menonjolkan unsur penceritaan berciri kemustahilan dan kesaktian tokoh-tokohnya (Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 107). Isi ceritanya sendiri banyak berisi mengenai persoalan budaya, moral, dan nilai-nilai kehidupan lain, sehingga kita dapat memetik pelajaran di dalamnya, sebagai cermin kehidupan kita.

Menurut Hav a (Pertiwi, 2009, hlm. 46) secara etimologis, kata “Hikayat” diturunkan dari bahasa Arab “Hikayat” yang berarti “cerita”, “Kisah”, “dongeng-dongeng”. “Hikayat” sendiri dalam bahasa Arab berasal dari bentuk kata kerja “Haka”, yang artinya menceritakan, mengatakan sesuatu kepada orang lain.

Sementara itu, Sudjiman (2006, hlm. 34) berpendapat bahwa hikayat merupakan jenis cerita rekaan dalam sastra Melayu Lama yang menggambarkan keagungan dan kepahlawanan yang adakalanya sarat akan makna cerita sejarah atau riwayat hidup suatu tokoh.

Dapat disimpulkan bahwa hikayat adalah cerita fiksi Melayu klasik yang mengisahkan riwayat tokoh agung atau sakti berwatak panutan sehingga dapat dipetik berbagai nilai positifnya sebagai cerminan hidup kita.

Cerita Rakyat

Sebagai catatan, hikayat merupakan salah satu jenis cerita rakyat.  Oleh karena itu, ada baiknya kita mengetahui apa itu cerita rakyat. Cerita rakyat atau berbagai kisah atau cerita yang dikisahkan secara lisan dan diwariskan secara turun-temurun dalam suatu wilayah atau negara tertentu.

Terdapat berbagai jenis cerita rakyat. Namun, semuanya memiliki kemiripan yang menaunginya, yakni anonim yang berarti tidak jelas siapa penulisnya, kemudian selalu disertai tema yang terpengaruh budaya setempat dan latar suatu wilayah tertentu.

Karakteristik Teks Hikayat

Hikayat merupakan sebuah teks narasi yang cukup berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, hikayat memiliki karakteristik kuat yang membedakannya. Karakteristik tek hikayat menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 119) meliputi beberapa poin di bawa ini.

  1. Kemustahilan,
    artinya dalam hikayat terdapat banyak hal yang tidak logis atau tidak bisa dinalar, meliputi dari segi bahasa maupun cerita, contohnya: bayi lahir disertai pedang dan panah, seorang putri keluar dari gendang, dsb.
  2. Kesaktian,
    berarti tokoh di dalam hikayat memiliki kesaktian yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa, seperti: mengubah wujud menjadi binatang, mampu melenyapkan bangunan hanya dengan satu jentikkan jari saja, dsb.
  3. Anonim,
    maksudnya tidak diketahui secara jelas siapa penulis atau penceritanya karena hikayat diceritakan secara lisan dan turun-temurun.
  4. Istana Sentris,
    hikayat selalu bertema dan berlatar suatu kerajaan.

Ciri Ciri Teks Hikayat

Berdasarkan pada berbagai penjelasan dan pendapat di atas, maka dapat ditarik bahwa ciri-ciri hikayat juga dapat meliputi beberapa poin di bawah ini.

  1. Merupakan cerminan realitas kehidupan rakyat setempat (cerita rakyat).
  2. Berhubung pada dasarnya hal yang diungkapkan pengarang disampaikan dengan jalan menceritakan, meriwayatkan, dan mendongengkan, maka jenis karangan yang digunakan adalah narasi.
  3. Dilandasi oleh adanya unsur “cerita” atau “dongeng”, maka hikayat berkesan rekaan atau fiksional.
  4. Hikayat umumnya bermotifkan keajaiban dan kesaktian.
  5. Isi yang dikandung hikayat umumnya menyingkap kehidupan tokoh besar seperti raja dan keluarganya, pahlawan, atau seseorang yang sakti dan berpengaruh terhadap masyarakat luas.

Struktur Teks Hikayat

Struktur teks hikayat secara umum masih sama dengan teks narasi. Berikut adalah beberapa struktur tersebut.

  1. Orientasi,
    merupakan pengenalan latar, tokoh, dan kisah baik dari segi waktu, tempat maupun peristiwa. Orientasi juga biasanya menata berbagai adegan dan menjelaskan hubungan antartokoh.
  2. Komplikasi,
    bagian di mana konflik mulai muncul. Konflik adalah pertentangan atau kesukaran-kesukaran yang dialami tokoh utama dalam hikayat. Bagian ini akan berangsur terus bertambah hingga akhirnya memuncak mencapai bagian klimaks.
  3. Resolusi,
    merupakan penyelesaian dari berbagai konflik yang terjadi. Resolusi juga dapat diiringi oleh koda atau kesimpulan dan amanat akhir terhadap kondisi yang dialami oleh tokoh utama.

Kaidah Kebahasaan Teks Hikayat

Dari segi bahasa, hikayat memiliki kekhasan khusus, yakni menggunakan bahasa Melayu klasik yang ditandai dengan penggunaan banyak kata penghubung dan kata-kata arkais. Selain itu, karena hikayat juga masih merupakan teks narasi, karakteristik bahasa yang sama juga menaunginya. Untuk lebih jelasnya, kaidah kebahasaan teks hikayat adalah sebagai berikut.

  1. Menggunakan kata ganti dan nama orang sebagai sudut pandang penceritaan: aku, mereka, dia.
  2. Penggunaan kata yang mencerap pancaindra untuk deskripsi latar (tempat, waktu, suasana), contoh latar tempat: Kerajaan itu amatlah megah, tanahnya subur sehingga rakyatnya pun makmur. Emas dan berlian bertaburan di dinding istana, dan lumbung padi rakyatnya selalu terisi.
  3. Menggunakan pilihan kata dengan makna kias dan makna khusus, conntohnya: menjulang, memancung.
  4. Banyak memakai kata sambung urutan waktu: kemudian, sementara itu, bersamaan dengan itu, tiba-tiba, ketika, sebelum.
  5. penggunaan kata sambung urutan waktu untuk menandakan datangnya tokoh lain atau perubahan latar, baik latar suasana, waktu, dan tempat, contohnya: Dua tahun kemudian, sang Pangeran pulang membawa janjinya. Akhirnya, Sultan dapat merestuinya sebagai menantunya.

Contoh Teks Hikayat

Menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 141) contoh teks hikayat adalah sebagai berikut.

Hikayat Si Miskin

Ini  hikayat  ceritera orang dahulu kala sekali peristiwa Allah Swt menunjukkan kekayaan-Nya kepada hamba-Nya. Maka adalah seorang miskin laki bini berjalan mencari rizkinya berkeliling Negara antahberantah. Adapun nama raja di dalam negara itu Maharaja Indera Dewa. Namanya terlalu  amat  besar kerajaan baginda itu.  Beberapa raja-raja di tanah Dewa itu takluk kepada baginda dan mengantar upeti kepada baginda pada setiap tahun.

Hatta, maka pada suatu hari baginda sedang ramai dihadapi oleh segala raja-raja, menteri, hulubalang, rakyat sekalian di penghadapannya. Maka si Miskin itupun sampailah ke penghadapan itu. Setelah dilihat oleh orang banyak, si Miskin laki bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing rupanya. Maka orang banyak itupun ramailah ia tertawa seraya mengambil kayu dan batu. Maka dilemparilah akan si miskin itu kena tubuhnya habis bengkak-bengkak dan berdarah. Maka segala tubuhnya pun berlumur dengan darah. Maka orang pun gemparlah. Maka titah baginda, “Apakah yang gempar di luar itu?”. Sembah segala raja-raja itu “Ya tuanku Syah Alam, orang melempar si Miskin tuanku”. Maka titah baginda, “Suruh usir jauh-jauh!”. Maka diusir oranglah akan si Miskin hingga sampailah ke tepi hutan. Maka orang banyak itupun kembalilah. Maka haripun malamlah. Maka bagindapun berangkatlah masuk ke dalam istanannya itu. Maka segala raja-raja dan menteri, hulubalang rakyat sekalian itupun masing-masing pulang ke rumahnya.

Adapun akan si Miskin itu apabila malam iapun tidurlah di dalam hutan itu. Setelah siang hari maka iapun pergi berjalan masuk ke dalam negeri mencari riskinya. Maka apabila sampailah dekat kepada kampung orang. Apabila orang yang empunya kampung itu melihat akan dia. Maka diusirlah dengan kayu. Maka si Miskin itupun larilah. Ia lalu ke pasar. Maka apabila dilihat oleh orang pasar itu si Miskin datang, maka masing-masing pun  datang ada yang melontari dengan batu, ada yang memalu dengan kayu. Maka si Miskin itupun larilah tunggang langgang, tubuhnya habis berlumur dengan darah. Maka menangislah ia berseru-seru sepanjang jalan itu dengan tersengat lapar dahaganya seperti akan matilah rasanya. Maka ia pun bertemu dengan tempat orang membuangkan sampah-sampah. Maka berhentilah ia di sana. Maka dicaharinyalah di dalam sampah yang tertimbun itu barang yang boleh dimakan. Maka didapatinyalah ketupat yang sudah basi dibuangkan oleh orang pasar itu dengan buku tebu lalu dimakannya ketupat yang sebiji itu laki bini. Setelah sudah dimakannya ketupat itu maka barulah dimakannya buku tebu itu. Maka adalah segar sedikit rasanya tubuhnya karena beberapa lamanya tiada merasai nasi.

Hendak mati rasanya. Ia hendak meminta ke rumah orang takut. Jangankan diberi orang barang sesuatu, hampir kepada rumah orang itu pun tiada boleh. Demikianlah si Miskin itu sehari-hari.

Hatta, maka haripun petanglah. Maka si Miskin pun berjalanlah masuk ke dalam hutan tempatnya sediakala itu. Di sanalah ia tidur. Maka disapunyalah darah-darah yang ditubuhnya tiada boleh keluar karena darah itu sudah kering. Maka si Miskin itupun tidurlah di dalam hutan itu. Setelah pagi-pagi hari maka berkatalah si Miskin kepada isterinya, “Ya  tuanku, matilah rasaku ini. Sangatlah sakit rasanya tubuhku ini. Maka tiadalah berdaya lagi hancurlah rasanya anggotaku ini.” Maka iapun tersedu-sedu menangis. Maka terlalu belas rasa hati isterinya melihat laku suaminya demikian itu. Maka iapun menangis pula seraya mengambil daun kayu lalu dimamahnya. Maka disapukannyalah seluruh tubuh suaminya sambil ia berkata, “Diamlah, tuan jangan menangis.”

Maka selaku ini adapun akan si miskin itu aslinya daripada raja keinderaan. Maka  kena  sumpah  Batara Indera maka jadilah ia demikian itu. Maka adalah suaminya itu pun segarlah sedikit tubuhnya. Setelah itu maka suaminya pun masuk ke dalam hutan mencari  ambat  yang muda yang patut dimakannya. Maka dibawanyalah kepada isterinya. Maka demikianlah laki bini.

Hatta beberapa lamanya maka isteri si Miskin itupun hamillah tiga bulan  lamanya. Maka isterinya  menangis hendak  makan  buah mempelam yang ada di dalam taman raja itu. Maka suaminya itupun terketukkan hatinya tatkala ia di Keinderaan menjadi raja tiada ia mau beranak. Maka sekarang telah mudhorot. Maka baharulah hendak beranak seraya berkata kepada isterinya, “Ayo, hai Adinda. Tuan hendak membunuh kakandalah rupanya ini. Tiadakah tuan tahu akan hal kita yang sudah lalu itu? Jangankan hendak meminta barang suatu, hampir kepada kampung orang tiada boleh.”

Setelah didengar oleh isterinya kata suaminya demikian itu, maka makinlah sangat ia menangis. Maka kata suaminya, “Diamlah tuan, jangan menangis! Berilah kakanda pergi mencaharikan tuan buah mempelam itu, jikalau dapat oleh kakanda akan buah mempelam itu kakanda berikan pada tuan.”

Maka isterinya itu pun diamlah. Maka suaminya itu pun pergilah ke pasar mencahari buah mempelam itu. Setelah sampai di orang berjualan buah mempelam, maka si Miskin itu pun berhentilah di sana. Hendak pun dimintanya takut ia akan dipalu orang. Maka kata orang yang berjualan buah mempelam, “Hai miskin. Apa kehendakmu?”

Maka sahut si Miskin, “Jikalau ada belas dan kasihan serat rahim tuan akan hamba orang miskin hamba ini minta diberikan yang sudah terbuang itu. Hamba hendak memohonkan buah mempelam tuan yang sudah busuk itu barang sebiji sahaja tuan.”

Maka terlalu belas hati sekalian orang pasar itu yang mendengar kata si Miskin. Seperti hancurlah rasa hatinya. Maka ada yang memberi buah mempelam, ada yang memberikan nasi, ada yang memberikan kain baju, ada yang memberikan buah-buahan. Maka si Miskin itupun heranlah akan dirinya oleh sebab diberi orang pasar itu berbagai-bagai jenis pemberian. Adapun akan dahulunya jangankan diberinya barang suatu hampir pun tiada boleh. Habislah dilemparnya dengan kayu dan batu. Setelah sudah ia berpikir dalam hatinya demikian itu, maka ia pun kembalilah ke dalam hutan mendapatkan isterinya.

Maka katanya, “Inilah Tuan, buah mempelam dan segala buah-buahan dan makan-makanan dan kain baju. Itupun diinjakkannyalah isterinya seraya menceriterakan hal ihwalnya tatkala ia di pasar itu. Maka isterinya pun menangis tiada mau makan jikalau bukan buah mempelam yang di dalam taman raja itu. “Biarlah aku mati sekali.”

Maka terlalulah sebal hati suaminya itu melihatkan akan kelakuan isterinya itu seperti orang yang hendak mati. Rupanya tiadalah berdaya lagi. Maka suaminya itu pun pergilah menghadap Maharaja Indera Dewa itu. Maka baginda itupun sedang ramai dihadap oleh segala raja-raja. Maka si Miskin datanglah. Lalu masuk ke dalam sekali. Maka titah baginda, “Hai Miskin, apa kehendakmu?” Maka sahut si Miskin, “Ada juga tuanku.” Lalu sujud kepalanya lalu diletakkannya ketanah, “Ampun Tuanku, beribu-ribu ampun tuanku. Jikalau ada karenanya  Syah  Alam akan patuhlah hamba orang yang hina ini hendaklah memohonkan daun mempelam Syah Alam yang sudah gugur ke bumi itu barangkali Tuanku.

Maka titah baginda, “Hendak engkau buatkan apa daun mempelam itu?”    Maka sembah si Miskin, “Hendak dimakan, Tuanku.” Maka titah baginda, “Ambilkanlah barang setangkai berikan kepada si Miskin ini”.

Maka diambilkan oranglah diberikan kepada si Miskin itu. Maka diambillah oleh si Miskin itu seraya menyembah kepada baginda itu. Lalu keluar ia berjalan kembali. Setelah itu maka baginda pun berangkatlah masuk ke dalam istananya. Maka segala raja-raja dan menteri hulubalang rakyat sekalian itupun masing-masing pulang ke rumahnya.  Maka si Miskin pun sampailah kepada tempatnya. Setelah dilihat oleh isterinya akan suaminya datang itu membawa buah mempelam setangkai. Maka ia tertawa-tawa. Seraya disambutnya lalu dimakannya.

Maka adalah antaranya tiga bulan lamanya. Maka ia pun menangis pula hendak makan nangka yang di dalam taman raja itu juga. Maka si Miskin itu pun pergilah pula memohonkan kepada baginda itu. Maka sujudlah pula ia kepada baginda. Maka titah baginda, “Apa pula kehendakmu hai miskin?”

Maka sahut si Miskin, “Ya Tuanku, ampun beribu-ribu ampun.” Sahut ia sujud kepalanya lalu diletakkannya ke tanah. Sahut ia berkata pula, “Hamba ini orang yang miskin. Hamba minta daun nangka yang gugur ke bumi, barang sehelai. Maka titah baginda, “Hai Miskin, hendak kau buatkan apa daun nangka? Baiklah aku beri buahan barang sebiji.” Maka diberikan kepada si Miskin itu. Maka ia pun sujud seraya bermohon kembali mendapatkan isterinya itu.

Maka ia pun sampailah. Setelah dilihat oleh isterinya itu suaminya datang itu, maka disambutnya buah nangka itu. Lalu dimakan oleh isterinya itu.    Adapun selama isterinya si Miskin hamil maka banyaklah makanmakanan dan kain baju dan beras padi dan segala perkakas-perkakas itu diberi orang kepadanya.

Hatta maka dengan hal yang demikian itu maka genaplah bulannya. Maka pada ketika yang baik dan saat yang sempurna pada malam empat belas hari bulan. Maka bulan itu pun sedang terang. Maka pada ketika itu isteri si Miskin itu pun beranaklah seorang anak laki terlalu amat baik parasnya dan elok rupanya. Maka dinamainya akan anaknya itu Markaromah artinya anak di dalam kesukaran. Maka dipeliharakannyalah anaknya itu. Maka terlalu amat kasih sayangnya akan anak itu. Tiada boleh bercerai barang seketika jua pun dengan anaknya Markaromah itu.

Hatta, maka dengan takdir Allah Swt. menganugarahi kepada hambanya. Maka si Miskin pun menggalilah tanah hendak berbuat tempatnya tiga beranak itu. Maka digalinyalah tanah itu hendak mendirikan tiang teratak itu. Maka tergalilah kepada sebuah telaju yang besar berisi emas terlalu banyak. Maka isterinya pun datanglah melihat akan emas itu. Seraya berkata kepada suaminya, “Adapun akan emas ini sampai kepada anak cucu kita sekalipun tiada habis dibuat belanja.”

Referensi

  1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Buku Siswa Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAN Kelas X. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  2. Pertiwi, H.P. (2009). Teori Apresiasi Prosa Fiksi. Bandung: Prisma Press.
  3. Sudjiman, Panuti. (2006). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Universitas Indonesia.

Gabung ke Percakapan

3tare

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *