Mimesis adalah teori yang menganggap semua karya seni sebagai tiruan alam atau kehidupan. Bahkan kata mimesis sendiri dalam bahasa Yunani secara tersirat bermakna “tiruan”. Mimesis merupakan teori yang telah lama diajukan oleh salah satu pelopor filosof di dunia ini, yaitu Plato. Mengapa demikian? Bukankah seandainya ketika kita melukiskan pemandangan alam, proses penciptaanya tetap melibatkan imajinasi kita sendiri? Seandainya kita menggambarkan suatu peristiwa dalam karya sastra, tetap akan melibatkan sudut pandang kita sendiri?

Mimesis Plato

Menurut pandangan Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam dunia gagasan, ada gagasan mengenai manusia. Di dalam dunia gagasan, semua manusia yang ada di dunia ini (manusia nyata) adalah tiruan dari manusia yang ada di dunia gagasan tersebut. Demikian pula benda-benda yang ada di dunia: bunga, pohon, meja, kursi, dan lain sebagainya dianggap sebagai tiruan dari dunia gagasan mengenai hal-hal tersebut.

Oleh karena itu, ketika seorang penyair atau pelukis menggambarkan mengenai pohon atau bunga dalam karyanya, dia hanyalah menggambarkan tiruan dari sebuah tiruan. Puisi atau sajak yang dihasilkan oleh seorang penyair juga tidak lain hanyalah tiruan dari barang tiruan (Damono, 1979, hlm. 16).

Pandangan Plato tersebut tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pendirian filsafatnya mengenai kenyataan, yang bersifat hirarki (Teeuw, 1988, hlm. 220). Menurut Plato ada beberapa tataran tentang Ada, yang masing-masing mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatanannya. Sesuatu yang nyata secara mutlak hanya yang Baik, dan derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat kedekatannya terhadap Ada yang abadi (Verdinius, via Teeuw, 1988, hlm. 220). Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, ia hanya dapat mendekatinya lewat mimesis: peneladanan, pembayangan, atau peniruan.

Misalnya, pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan, kata meniru benda, bunyi meniru keselarasan Illahi, waktu meniru keabadian, hukum-hukum meniru Kebenaran, pemerintah manusia meniru pemerintah ideal, manusia yang saleh meniru dewa-dewa, dan seterusnya (Teeuw, 1988, hlm. 220).

Namun demikian, dalam konteks penciptaan, menurut Plato mimesis sebagai sarana artistik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari tataran Ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia kenyataan yang fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, berdiri di bawah kenyataan itu sendiri yang hirarki (Teeuw, 1988, hlm. 220).

Meskipun Plato cenderung merendahkan nilai karya seni yang hanya dipandang sebagai tiruan dari tiruan, namun dalam pandangannya tersebut tersirat adanya hubungan antara karya seni dengan masyarakat (kenyataan). Apa yang tergambar dalam karya seni (terutama sastra), memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi dalam masyarakat.

Teori Kreasi Aristoteles

Hubungan antara sastra dengan masyarakat selanjutnya dirumuskan kembali oleh Aristoteles, dengan teori kreasi. Berbeda dengan Plato yang memandang sastra sebagai tiruan kenyataan, Aristoteles (via Luxemburg dkk, 1984) memandang mimesis yang dilakukan para seniman tidak berarti semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Sambil bertitik pangkal pada kenyataan, seniman/penyair menciptakan kembali kenyataan.

Seniman mencipta dunianya sendiri dengan probabilitas yang memaksa, dengan ketakrelaannya. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu dan sekaligus, karena dunia itu merupakan konstruksi, perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata.

Karena seniman menciptakan kembali kenyataan, maka menurut Aristoteles, nilai karya seniman lebih tinggi dari karya seorang tukang. Dalam karya seorang seniman, pandangan atau penafsiran kenyataanlah yang dominan, dan kepandaiannya diabadikan pada interpretasi, pemberian makna pada eksistensi manusia (Teeuw, 1988, hlm. 222).

Berbeda dengan Plato yang cenderung merendahkan karya seni dalam hubungannya dengan kenyataan, Aristoteles memberikan penghargaan yang tinggi terhadap karya seni. Menurutnya, karya seni menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan lain (Teeuw, 1988, hlm. 222).

Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru serta kenyataan indrawi yang diperolehnya sendiri.

Mimesis setelah Plato dan Aristoteles

Mimesis yang sebelumnya dipertentangkan oleh Plato dan Aristoteles, saat ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Luxemberg (1989, hlm. 18) menyebutkan bila pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoles mengenai mimesis saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimesis tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap Gagasan.

Dari pandangan ini dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam suatu teks sastra tidak meniru secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh dengan dimensi lain yang lebih luhur. Di dalam proses berkarya, para seniman menuangkan akal, pikiran, dan perasaan mereka ke dalam karya seni, dengan proses kreatif dan imajinatif. Hal tersebut, yang membuat karya seni memiliki nilai keindahan atau estetika tersendiri.

Mimesis juga kini diterapkan dalam pembelajaran seni. Meniru suatu hal akan berdampak besar pada kemampuan kita dalam berkarya. Peniruan ini dapat dilakukan secara langsung pada alam, berupa studi sebelum berkarya, maupun pada seniman lain yang katakanlah menjadi idola kita dalam berkarya. Hal ini sangatlah lumrah dan sah-sah saja. Dalam proses pembelajaran tersebut, pada akhirnya seorang seniman akan mampu menuangkan akal, pikiran, dan perasaan mereka sendiri ke dalam karya yang lambat laun akan berujung pada pembentukan gaya orisinalnya sendiri.

Referensi

  1. Damono, Sapardi Djoko. (1979). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Singkat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
  2. Luxemburg, Jan Van. dkk. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
  3. Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *