Daftar Isi ⇅
show
Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar.
Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Hal ini juga yang menyebabkan Erikson dianggap sebagai tokoh Psikologi Sosial.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai 30 perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic.
Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Prinsip epigenetic yaitu:
- Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahaptahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas;
- Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahaptahap yang ada.
Tahap Perkembangan Erikson
Dalam bukunya itu pula Erikson menjelaskan 8 tahap perkembangan psikososial manusia yang setiap masanya terdiri atas suatu kecenderungan yang diiringi kontradiksinya. Delapan tahap perkembangan psikososial Erikson yang di maksud tersebut meliputi:
- Infancy/bayi (0-1 tahun), dengan kecenderungan: trust vs mistrust atau kepercayaan melawan kecurigaan;
- Early childhood/anak usia awal (1-3 tahun), dengan kecenderungan: autonomy vs shame, doubt atau otonomi melawan malu dan ragu-ragu;
- Preschool age/anak usia prasekolah (4-5 tahun), dengan kecenderungan: Initiative vs Guilt atau Inisiatif melawan perasaan salah;
- School age (6-11 tahun), dengan kecenderungan: Industry vs Inferiority atau kerajinan melawan inferioritas;
- Adolescence (12-20 tahun), dengan kecenderungan: Identity vs Identity Confusion atau identitas melawan kekacauan identitas;
- Young adulthood ( 21-40 tahun), dengan kecenderungan: Intimacy vs Isolation atau keintiman melawan isolasi;
- Adulthood (41-65 tahun), dengan kecenderungan: Generativity vs Stagnation atau generativitas melawan stagnasi;
- Senescence (+65 tahun), dengan kecenderungan: Ego Integrity vs Despair atau integritas melawan keputusasaan (Thahir, 2018, hlm. 33-50).
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah pemaparan masing-masing tahap perkembangan Erikson.
1. Trust vs Mistrust (0-1 tahun)
Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust-mistrust atau kepercayaan dan kecurigaan. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Bayi akan sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang asing juga akan tidak dipercayai sama sekali (Thahir, 2018, hlm. 33). Itulah yang menjadi alasan mengapa kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya.
Tahap Trust vs Mistrust ini berlangsung pada masa oral, yakni masa kesenangan berpusat pada mulut yang membuat bayi sering memasukan berbagai benda ke mulutnya pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan.
Mengembangkan Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan atau trust ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oral pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoran (eliminasi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kualitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil.
Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada di dalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi.
Kepuasan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespons secara tepat terhadap lingkungannya.
Maladaptif Kepercayaan dan Kecurigaan
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.
Akan tetapi bukan berarti peran sebagai orang tua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan atau berlebihan. Orang tua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut ini sebagai penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan menggunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang ini.
Dengan kata lain, mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
2. Autonomy Vs Shame & Doubt (1-3 tahun)
Perkembangan masa kanak-kanak awal (early childhood) pada usia 1-3 tahun ditandai adanya kecenderungan otonomi (kemandirian) dan malu-malu serta ragu. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga sering kali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya (Thahir, 2018, hlm. 36).
Pada tahap ini pusat kesenangan berada pada anus-otot (analmascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu.
Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orang tuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Jika orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Artinya, dalam mengasuh anaknya orang tua harus memperhatikan aspek-aspek tertentu. Misalnya dengan mengizinkan seorang anak usia balita untuk dapat mengeksplorasi dan mengubah lingkungannya akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Sebaliknya, jika semuanya serba tidak boleh untuk balita itu, maka akan timbul sikap malu dan ragu-ragu. Singkatnya, keseimbanganlah yang diperlukan di sini, orang tua harus toleran namun bisa tegas jika diperlukan.
Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima kontrol dari orang lain seperti: belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, dll.
3. Initiative vs Guilt (4-5 tahun)
Inisiatif atau rasa bersalah adalah kecenderungan yang dihadapi oleh individu pada masa prasekolah (4-5 tahun). Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan atau keterampilan yang membuatnya terdorong untuk melakukan beberapa kegiatan. Akan tetapi karena kemampuan anak masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan.
Inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Saat seorang anak memiliki inisiatif yang tinggi, maka perkembangannya juga akan lebih terjamin. Namun demikian saat inisiatif anak terlalu tinggi, maka ia juga akan mengalami ketidakpedulian (ruthlessness).
Kecenderungan atau krisis antara inisiatif dan rasa bersalah dapat diseimbangkan. Caranya tentu dengan mewujudkan segala gagasan atau ide-idenya dan mendampinginya saat mengalami kegagalan. Saat keduanya telah seimbang, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial yakni tujuan (purpose).
4. Industry vs Inferiority (6-11 tahun)
Masa Sekolah (School Age) ditandai dengan munculnya kecenderungan kerajinan dan inferioritas. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengetahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 hingga 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, baik itu di sekolah maupun di tempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri.
Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.
Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan mengalami sifat yang oleh Alfred Adler (dalam Thahir, 2018, hlm. 43) disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka ia tidak mau mencoba lagi.
Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi. Pada usia ini juga anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan menggunakan cara maupun metode yang standar berupa prinsip-prinsip saja, bukan langkah-langkah. Dengan demikian anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku.
5. Identity vs Identity Confusion (12-20 tahun)
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja ditandai dengan adanya kecenderungan identitas dan kebingungan identitas. Para remaja mengalami krisis identitas sebagai salah satu bentuk dari persiapannya untuk menjadi dewasa. Mereka biasanya akan mulai mengasa kemampuan dan kecakapan-kecakapan untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya.
Hanya saja, dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri dari para remaja ini sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan sering kali mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Jika tidak, maka ia akan mengalami kekacauan atau krisis identitas dan tidak dapat sepenuhnya menjadi dewasa.
Di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik.
Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
6. Intimacy vs Isolation (21-40)
Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimasi dan isolasi. Pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain.
Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memedulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun.
Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isolasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk menyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
7. Generativity vs Stagnation (41-65 tahun)
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada tahap ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 hingga 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativitas atau stagnansi. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat.
Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal-hal tertentu ia mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memedulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak peduli terhadap siapa pun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya di tengah-tengah area kehidupannya kurang mendapat sambutan yang baik.
8. Ego Integrity vs Despair (65 tahun ke atas)
Tahap terakhir dalam teori perkembangan Erikson disebut dengan tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan antara integritas melawan keputusasaan. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya.
Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan akan menghantuinya.
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna.
Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat.
Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumpah serapah dan menyesali kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
Referensi
- Thahir, A. (2018). Psikologi perkembangan. Lampung: Aura Publishing.