Perkembangan moral menurut Kohlberg adalah fenomena kognitif yang merupakan bagian dari penalaran (reasoning), oleh karena itu ia pun sering menyebut moralitas individu sebagai penalaran moral (moral reasoning). Penalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasaan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Relasi diri dengan orang lain didasarkan atas prinsip equality yang artinya orang lain sama derajatnya dengan diri, sehingga antara diri sendiri dengan orang lain dapat dipertukarkan, ini disebut dengan prinsip reciprocity.

Ketika dilahirkan, anak tidak memiliki moral dalam dirinya namun dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk di kembangkan, berinteraksi dengan orang lain seorang anak akan belajar memahami tentang perilaku mana yang patut ditiru, boleh dilakukan dan dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk.

Secara formal, teori Kohlberg disebut sebagai cognitive-developmental theory of moralization, yang berakar pada teori Piaget. Asumsi dasar teori Piaget adalah kognisi (nalar) dan afeksi (perasaan) berkembang secara paralel dan keputusan moral merupakan proses perkembangan kognisi secara alami. Tampak jelas bahwa pengaruh Piaget amatlah kuat pada pemikiran Kohlberg. Belum lagi, pada masa itu, kebanyakan ahli psikologi lain berasumsi bahwa pikiran moral adalah proses psikososial.

Dalam mengembangkan teori moralnya, Kohlberg tidak memusatkan perhatian pada tingkah laku moral. Artinya, apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatannya. Kohlberg mengidentifikasi beberapa masalah filosofis dan mendasar yang mendasari studi perkembangan moral. Misalnya, mempertanyakan definisi konstruksi yang adil secara budaya pada suatu komunitas. Hal ini karena menurutnya psikolog yang mempelajari moralitas atau perkembangan moral harus berurusan dengan masalah relativitas moral atau netralitas nilai.

Relativitas moral adalah perbedaan nilai-nilai moral di antara suatu budaya dan masyarakat. Pada budaya A bisa jadi hal X adalah sesuatu yang melanggar moral, namun pada budaya B hal X justru dapat dianggap sebagai perbuatan yang sangat bermoral. Dengan kata lain, moral tidaklah universal, sifatnya subjektif.

Dilema Moral

Berdasarkan pendapatnya mengenai relativitas moral dan netralitas nilai Kohlberg menyatakan bahwa kita akan dihadapkan pada dilema moral. Yakni pergesekan antara moralitas individu, bahkan komunitas atau budaya secara umum terhadap budaya lain yang memiliki standar moral berbeda. Hal ini terus terjadi dan dua peradaban yang telah mutakhir pun akan mengalaminya.

Oleh karena itu, Kohlberg menyusun menyusun instrumen penelitian guna menggolongkan proses penalaran orang tersebut dalam mengatasi dilema moral. Hal ini karena dilema moral dianggap sebagai kejadian nyata yang akan dihadapi semua orang untuk membangun perkembangan moralnya. Seseorang akan dihadapkan pada dilema moral, sehingga muncul minat untuk menjelajahi moralnya, kemudian diberi pertanyaan mengenai solusi terhadap dilema tersebut dan mengapa ia mengambil keputusan itu (Zuchdi 2010, hlm. 11-13 dalam ).

Moral dilema ini dapat kita lihat pada Trolley Problem, di mana kita dihadapkan dengan situasi untuk memilih siapa yang akan kita selamatkan dari kematian. Misalnya, apakah kita akan lebih memilih untuk menyelamatkan pilihan A yang terdiri atas 5 orang lanjut usia, atau justru pilihan B yang terdiri dari 1 orang balita?

Kohlberg tidak mempermasalahkan persoalan benar atau salahnya suatu hal. Perbedaan dalam kematangan moral itu ada pada pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh mereka. Apakah perbuatan mencuri itu salah? seorang anak mungkin dapat dengan mudah menjawab bahwa mencuri adalah perbuatan salah dan tidak terpuji.

Namun pertimbangan-pertimbangan dibalik menyatakan hal itu salahlah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap perkembangan moral. Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa jika penalaran-penalaran yang diajukan oleh seseorang memiliki pertimbangan moral tertentu, maka akan tampak jelas adanya perbedaan-perbedaan yang berarti dalam pandangan moral orang tersebut.

Misalnya, mungkin saja seseorang berpendapat bahwa mencuri itu salah karena akan berurusan dengan hukum bahkan dijebloskan ke dalam penjara. Sementara yang lain bisa jadi menjawab karena mencuri merupakan perbuatan yang akan menyakiti kerja keras orang lain dan akan menimbulkan bahaya bagi kesejahteraan masyarakat.

Tahap Perkembangan Moral Kohlberg

Berdasarkan berbagai asumsi dasar Kohlberg yang meliputi cognitive-developmental theory of moralization dan moral dilema, pendidikan moral harus mengacu pada perkembangan penalaran moral individu. Hal ini juga terjadi karena seiring dengan perkembangannya, anak akan menjadi kurang bergantung pada hadiah (reward) dan hukuman (punishment). Penguatan (reinforcement) akan semakin tidak berpengaruh terhadap perkembangan moralnya.

Perkembangan moral anak akan lebih bergantung pada satu rasa pribadi tentang benar dan salah. Hal benar dan salah ini tentunya akan berbenturan dengan relativitas moral dan netralitas nilai. Hal ini dianggap mencerminkan internalisasi mereka atas kode moral masyarakat, perubahan dari kode moral eksternal ke internal ini merupakan fokus utama dalam kajian pendidikan moral. Tahap-tahap perkembangan moral yang disusun oleh Kohlberg dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

 

TingkatTahapDeskripsi
Tingkat ITahap 1: Moralitas Heteronomus

 

Perilaku moral dikaitkan dengan hukuman. Apapun yang dihargai adalah baik, apapun yang dihukum adalah buruk, anak-anak mematuhinya karena mereka takut dihukum.
Tahap 2: Individualisme tujuan dan Pertukaran InstrumentalMengejar kepentingan-kepentingan individual dipandang sebagai hal yang benar untuk dilakukan. Oleh karena itu, perilaku dikatakan baik apabila memenuhi kepentingan pribadi.
Tingkat IITahap 3: Ekspektasiekspektasi antar pribadi timbal balik, keselarasan hubungan dan antar pribadiRasa percaya dan kasih sayang dan kesetiaan dihargai dan dipandang sebagai basis penilaian moral. Anak-anak dan remaja mungkin mengadopsi standar2 moral orang tua mereka agar dianggap sebagai anak yang baik.
Tahap 4: Moralitas sistem-sistem Sosial“Baik” ditentukan oleh hukum2 masyarakat, dengan melakukan tugas asing2 . Hukum harus dipatuhi, bahkan jika itu tidak adil. Aturan dan hukum dipatuhi karena diperlukan untuk menjaga tatanan sosial. Keadilan dipandang sebagai hal yang harus ditegakkan.
Tingkat IIITahap 5: Kontrak Sosial dan hak-hak individualNilai-nilai, hak-hak, dan prinsip-prinsip melampaui hukum. “Baik” dipahami dalam kaitan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang telah disepakati masyarakat. Validitas hukum dievaluasi dan diyakini bahwa itu harus diubah jika tidak mempertahankan dan melindungi hak-hak dan nilai-nilai dasar.
Tahap 6: Prinsip-prinsip etika universalPada tahap ini individu telah mengembangkan satu kode moral internal yang didasarkan pada nilai-nilai universal dan hak-hak manusia yang mendahului aturan2 dan hukum2 sosial. Ketika dihadapkan pada konflik antara hukum dan nurani, nurani akan diikuti meski ini dapat melibatkan risiko pribadi.

Sumber: Thahir (2018, hlm. 61)

Saat melewati tahap-tahap perkembangannya, individu akan semakin mampu membedakan antara pelanggaran moral (moral transgressions) dan pelanggaran konvensional (conventional transgressions). Pelanggaran moral adalah perilaku-perilaku yang dianggap benar oleh suatu budaya tertentu. Sementara itu pelanggaran konvensional merupakan prilaku-prilaku yang meskipun etis tetapi melanggar pemahaman yang dianut secara luas (Santrock dalam Thahir, 2018, hlm. 62).

Referensi

  1. Hasanah, Enung. (2019). Perkembangan moral siswa sekolah dasar berdasarkan teori kohlberg. JIPSINDO, 6(2): 131-145.
  2. Thahir, A. (2018). Psikologi perkembangan. Lampung: Aura Publishing.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *