Fenomena Seni Rupa dapat menyangkut banyak peristiwa, pergerakan, hingga perkembangan umum yang menyangkut seni rupa di dunia. Berbagai fenomena tersebut dapat ditelaah sebagai inspirasi hingga berbagai pertimbangan lain dalam berkarya. Tidak sedikit pula berbagai fenomena seni rupa yang dimanfaatkan untuk penelitian, baik dalam bidang seni rupa, maupun bidang lainnya seperti sejarah, arkeologi, dan bidang ilmu lainnya.

Oleh karena itu, fenomena seni rupa adalah ilmu yang dapat memberikan manfaat jika dipelajari, baik dari kacamata seni untuk seni, maupun seni untuk kehidupan secara umum. Pada bahasan kali ini akan dipelajari fenomena seni rupa secara umum dari masa ke masa berdasarkan aliran seni serta berbagai gejala estetik yang berkembang di masing-masing zaman. Mengapa? Karena hingga kini, aliran serta pemilahan gaya, atau style adalah indikator yang memiliki visibilitas data paling jelas untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran serta penelitian seni.

Seni Rupa Pramodern

Seni rupa pramodern adalah istilah yang digunakan untuk menyebut berbagai manifestasi karya seni rupa yang hadir sebelum masa industri (Tim Kemdikbud, 2018, hlm. 21). Hal ini berarti fenomena seni rupa adalah fenomena yang dilihat dari aspek kesejarahan berdasarkan perubahannya, baik dari aspek konseptual maupun aspek kebentukan (wujudnya).

Beberapa aliran seni rupa yang hadir pada masa Seni Rupa Pramodern adalah sebagai berikut.

Primitivisme

Aliran primitivisme adalah aliran yang memilii corak karya seni rupa bersifat bersahaja, naif, sederhana, spontan, jujur, baik dari segi penggarapan bentuk maupun pewarnaan (Tim Kemdikbud, 2018, hlm. 21). Seniman primitivisme bebas dari belenggu profesionalisme, tradisi, teknik, dan latihan formal proses kreasi seni.

Contoh aliran primitivisme mencakup patung primitif yang banyak ditemukan di Afrika Patung primitif yang ditemukan di Afrika kebanyakan merupakan karya tiga dimensi yang perwujudannya mengekspresikan makna seni dengan bahasa bentuk simbolik.

Selain itu, berbagai patung yang ditemukan di wilayah Athena juga dapat diklasifikasikan sebagai aliran primitivisme. Patung Dewi Kecantikan Yunani klasik mengekspresikan makna seni dengan idealisasi bentuk mimesis yang berarti meniru (melakukan imitasi) rupa manusia dalam wujud yang indah dan sempurna.

Naturalisme

Naturalisme adalah aliran seni rupa yang teknik pelukisannya berpedoman pada peniruan alam untuk menghasilkan karya seni sehingga seniman terikat sekali pada hukum proporsi, anatomi, perspektif, dan teknik pewarnaan untuk mencapai kemiripan sesuai dengan perwujudan objek yang dilihat oleh mata (Tim Kemdikbud, 2018, hlm. 21).

Tokoh-tokoh aliran ini antara lain:

  1. Abdullah SR,
  2. Wakidi,
  3. Pirngadi,
  4. Basoeki Abdullah,
  5. Trubus, Dullah,
  6. Rustamadji,
  7. Wahdi.

Baca lebih lanjut mengenai aliran Naturalisme di sini:

Naturalisme – Pengertian, Ciri, Tokoh, Contoh Karya & Analisis

Realisme

Aliran seni rupa realisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari naturalisme. Aliran ini muncul di belahan dunia barat sekitar pertengahan abad ke-17. Intisari filosofinya menunjukkan keyakinan seniman terhadap realitas duniawi yang kasat mata sebagai objek penciptaan karya seni.

Pada umumnya realisme dibedakan menjadi beberapa kategori. Misalnya, realisme sosialis (yang cenderung mengungkapkan adegan-adegan kehidupan manusia yang serba sengsara, getir, dan pahit). Herbert Read (dalam Tim Kemdikbud, 2018, hlm. 22) menyatakan bahwa “Jenis seni rupa yang sepenuhnya dapat kita sebut sebagai realistis adalah yang berusaha dengan segala daya untuk menyatakan perwujudan objek dengan tepat, dan seni seperti ini, sebagaimana halnya filsafat realisme, selalu berdasar atas keyakinan atas keberadaan objektif dari sesuatu”.

Dapat disimpulkan bahwa dalam pengertian murni, aliran realisme berusaha melukiskan keadaan secara nyata, seniman realis memandang dunia ini tanpa ilusi, mereka menciptakan karya seni rupa yang nyata menggambarkan apa-apa yang nyata dan benar-benar ada di dunia ini.

Dengan kata lain, seniman realis mendasarkan seninya pada penerapan panca inderanya tanpa mengikutsertakan fantasi dan imajinasinya.

Tokoh-tokoh realisme di Indonesia antara lain:

  1. Raden Saleh (realisme romantis),
  2. Soedjojono, Dullah,
  3. Rustamadji (realisme fotografis),
  4. Dede Eri Supria, dan
  5. Ronald Manullang (Realisme Baru).

Penjelasan lengkap mengenai aliran ini dapat disimak pada artikel berikut ini:

Realisme & Pengertian, Ciri, Tokoh, Contoh Karya, Analisis

Dekoratif

Karya seni rupa dekoratif senantiasa berhubungan dengan hasrat menyederhanakan bentuk dengan jalan mengadakan distorsi, ciri-cirinya bersifat kegarisan, berpola, ritmis, pewarnaan yang rata, dan secara umum mempunyai kecenderungan kuat untuk menghias. Tujuan dan sifat hias tersebut menyebabkan keindahan rupa dekoratif termasuk kategori seni yang mudah dicerna oleh masyarakat.

Pada karya dekoratif yang berwujud dua dimensi, aliran ini sering mengabaikan unsur perspektif dan anatomi, sedangkan pada karya tiga dimensi mengabaikan plastisitas bentuk (naturalistis).

Karya seni rupa dekoratif dapat diklasifikasi menjadi dua bagian utama, yakni dekoratif figuratif dan dekoratif geometris.

Dekoratif figuratif

Dekoratif figuratif biasanya ditandai dengan penggambaran wujud figur atau bentuk-bentuk di alam yang kita kenali. Seperti misalnya, pemandangan, pasar, kota, hewan-hewan di tengah rimba, lukisan kehidupan sehari-hari, dsb. Namun teknik pelukisannya tidak berupaya untuk meniru rupa secara realistis, melainkan dikerjakan dengan bentuk yang datar tanpa memperhitungkan aspek volume dalam penggarapan bentuk visual.

Dekoratif geometris

Sementara itu, dekoratif geometris adalah karya-karya seni rupa yang bebas dari peniruan alam, perwujudannya merupakan susunan motif, bentuk, atau pola tertentu di tata sedemikian rupa sehingga memiliki kapasitas untuk membangkitkan perasaan keindahan dalam diri pengamatnya. Lukisan-lukisan geometris cenderung rasional karena terikat pada pola, motif, bentuk-bentuk, dan teknik pelukisan yang menuntut keterampilan dan kesabaran dalam proses kreasinya.

Seni rupa dekoratif geometris dapat dilihat pada ragam hias di daerah-daerah seluruh kepulauan Indonesia. Misalnya motif pilin berganda, lingkaran, elips, setengah lingkaran, segi tiga, prisma, empat persegi, dan lain-lain. Motif tersebut biasanya tersusun rapi dengan teknik pengulangan, sehingga tercipta suatu harmoni, karena penempatannya mementingkan keteraturan dan kerapian, maka dalam bentuk tradisional komposisinya simetris. Namun kerap pula kita jumpai dalam era modern komposisi yang bebas, seperti pada karya Sapto Hudoyo dan Hatta Hambali.

Tokoh-tokoh pelukis dekoratif di Indonesia meliputi: Kartono Yudokusumo, Widayat, Suparto, Ratmoyo, Batara Lubis, Amrus Natalsya, Irsam, Sarnadi Adam, Ahmad Sopandi, Boyke Aditya, A.Y. Kuncana, I Gusti Nyoman Lempad, I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Made Deblog.

Seni Rupa Modern

Dasar filosofis dan gejala seni rupa modern pada hakikatnya merupakan kelanjutan perkembangan seni rupa sebelumnya (pramodern). Zaman modern adalah era di mana perkembangan ilmu pengetahuan baik dari bidang filsafat hingga teknologi melaju jauh lebih pesat jika dibandingkan dengan zaman pramodern.

Perkembangan filsafat memunculkan tokoh-tokoh seperti Imanuel Kant, Hegel, Schopen-hauer, Nietze, Comte, Charles Darwin, dan lain-lain yang menghasilkan berbagai filosofi, pencerahan, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru yang mengusung zaman modern.

Sementara itu, di bidang Mikrobiologi tampil nama-nama Antoni van Leeuwenhoek, Pasteur, Robert Koch, Paul Ehrilch, dan lain-lain. Sedangkan di sektor sosial ekomomi tampil Adam Smith, seorang pelopor sistem persaingan bebas, dengan lawannya Karl Marx, Thomas Maltus, Le Bon, Montesque, dan Rousseu. Selanjutnya, di bidang ilmu psikologi muncul Sigmund Freud dengan psikoanalisis yang menelurkan teori takbir mimpi-mimpi dan metode katarsis.

Tokoh penting lainnya meliputi Carel Gustave Jung, Alferd Adler, dan Kunkel bersaudara. Semua tokoh tersebut muncul bersamaan dengan perkembangan disektor fisika dan astronomi, sehingga jadilah abad modern yang dikuasai oleh ilmu dan teknologi.

Perkembangan atau “kemajuan” ini juga tentunya tidak hanya menyejahterakan kehidupan manusia saja, namun juga menimbulkan efek samping, yakni eksploitasi industrialisasi, kolonialisme, imperialisme, kemiskinan di pihak lain, sehingga terjadi dua kali perang dunia di abad ke-20 dan beratus kali perang lokal dan perang dingin.

Berbagai pergolakan ilmu pengetahuan serta dampak positif dan negatifnya merupakan pemicu kelahiran Seni Rupa Modern. Faktor lain yang menjadi dominan esensi seni rupa modern ialah kesadaran akan nilai individu sebagai karakter aktivitas manusia. Hal ini berakar dari budaya Renaisans, humanisme universal yang akhirnya tampil sebagai abad pencerahan di Eropa.

Oleh karena itu, dalam mengkaji fenomena seni rupa modern, kita dapat memulainya dari jasa para impresionisme Perancis.  Mengapa? Karena mereka merupakan pelopor utama yang ingin memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam berkarya namun berusaha untuk menanggalkan dampak negatifnya lewat berkarya pula.

Baca juga: Seni Rupa Modern : Sejarah, Sifat, Ciri & Penjelasan Para Ahli

Aliran Impresionisme

Para impresionis aktif menyelenggarakan pameran-pameran impresionisme pada tahun-tahun 1874, 1877, 1879, 1880, 1881, 1882, dan 1886. Meskipun dalam tubuh impresionisme terjelma beberapa keunikan individu, tapi secara keseluruhan kelompok ini menunjukkan kesatuan sikap, yakni pemberontakan terhadap kaum akademis, seperti Jaques Louis David dan Jean Augustie Dominique Ingres.

Kaum akademis di sini maksudnya adalah para tokoh seni rupa Akademi yang dianggap mengekang kreativitas seniman dengan memuat berbagai aturan-aturan ketat pada lukisan yang boleh dipamerkan di Akademi yang dulu merupakan pusat seni rupa di Perancis yang telah mendunia dan menelurkan banyak seniman terkenal.

Lalu seperti apa aliran impresionisme itu sendiri? Pada tahun 1876 kritikus Duranty menulis “Dari intuisi ke intuisi, secara bertahap mereka tiba pada dekomposisi sinar matahari menjadi lapisan spektrum dan elemennya, kemudian mengkonstruksikannya menjadi kesatuan dengan keselarasan baru, bagaikan warna pelangi yang bertaburan di atas kanvas mereka.”

Kemunculan aliran impresionisme membuka peluang perkembangan seni lukis  secara lebih terbuka, sehingga melahirkan beberapa kecenderungan. Dari Seurat dan Signac yang pointilis, eksploitasi anasir cahaya dan warna muncul ekspresionisme Vincent van Gogh, kemudian melahirkan fauvisme dan abstrak ekspresionisme. Respons Paul Cezanne terhadap impresionisme, mengakibatkan lahirnya kubisme, dan perkembangannya kemudian sampai kepada konstruksivisme, minimal art, dan seterusnya.

Baca lebih lanjut mengenai aliran impresionisme pada artikel berikut ini:

Impresionisme : Pengertian,Ciri,Tokoh, Contoh Karya & Analisis

Seni Pop (Pop Art)

Budaya pop tumbuh dari pertemuan beberapa kecenderungan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pada pertengahan tahun 1950-an. Budaya ini ditandai oleh minimnya pengangguran hingga meningkatnya konsumerisme, karena masyarakat mulai sanggup untuk mengonsumsi (berbelanja) dengan lebih pesat.

Hal tersebut terjadi karena meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang berarti trdapat mobilitas sosial ke atas, hingga melonggarnya struktur kelas dalam masyarakat, berubahnya pandangan sosial, dan kesejahteraan kaum muda, beserta budaya protesnya, pengalaman dan kepekaan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Kemunculan Pop Art

Gerakan ini membentuk diri di sekitar terbentuknya pula identifikasi seni di Amerika dan pengingkaran berbagai kaidah seni Eropa. Mudahnya, pop art menjadi tumpuan perpindahan “pusat seni” dunia dari Paris Prancis ke New York di Amerika . Pop Art dipelopori oleh para pelukis seperti Larry Rivers, Jasper John, dan Robert Raus-chenberg, yang tidak hanya menjadi seniman atau pelukis saja, namun berhasil menjadi selebritas yang terkenal di Amerika hingga ke seluruh penjuru dunia.

Para seniman tersebut melakukan kritik awal terhadap budaya massa yang dimulai kala itu. Mereka menyoroti bagaimana berbagai budaya lain diabaikan demi merangkul penuh semangat teknologi reproduksi dan berbagai citra serta objek kehidupan industri Amerika Serikat yang direproduksi secara komersial.

Namun cara yang mereka lakukan untuk mengkritik budaya komersial tersebut justru adalah dengan menggunakan berbagai elemen yang tersedia dalam budaya massa dan industrialisasi itu sendiri. Bisa jadi juga sebagian seniman justru “menyerah” serta beradaptasi terhadap zaman.

Budaya Massa & Konsumerisme

Yang jelas, Pop Art juga merupakan produk sistem perekonomian kapitalis, di mana segala hal dalam kehidupan ini, termasuk hal-hal yang berada dalam wilayah realitas simbolisme diusahakan menjadi komoditi yang bisa dijual ke pasar luas. Oleh karena itu, logika produk kesenian yang lahir dari sistem perekonomian ini adalah logika pasar, bukan logika artistik konvensional.

Dengan demikian, dalam dunia pop art, eksistensi sang pencipta juga tidak terlalu penting, yang lebih diperlukan adalah produknya yang bisa dikemas sebagai komoditi dan dijual ke pasar luas. Kecuali sosok seniman itu juga merupakan komoditi yang bisa dijual. Dengan kata lain rekayasa citra tentang dirinya lebih penting ketimbang pribadi seniman, karena semakin besar liputan media yang dia peroleh semakin laris karya-karyanya di pasar luas.

Tokoh Pop Art

Selanjutnya dalam panggung pop art muncul banyak seniman pop art lain yang semakin mengukuhkan aliran ini seperti, Andy Warhol, Roy Lichtenstein, Tom Wesselmann, dan kawan-kawan. Tak hanya lukisan, pop art juga tampil dalam seni patung, poster, desain, seni grafiti, fashion, dan sebagainya. Pop art dipandang pula sebagai salah satu manifestasi subkultur, gerakan kultural generasi muda. Pop art identik dengan gaya hidup generasi muda dengan karakteristik perlawanan kepada kemapanan norma-norma masyarakat yang berlaku.

Para peneliti budaya mengartikulasikan bahwa budaya massal yang menjadi fenomena utama dalam budaya pop art terdiri dari “triple M theory” yakni: masyarakat massal, media massa, dan budaya massa. Pop art adalah suatu aktivitas seniman yang menggunakan cara pemberian kesan populer sebagai hasil dari revolusi industri dan sekaligus penggunaan dari hasil-hasil revolusi tersebut.

Baca juga : Pop Art – Pengertian, Latar Belakang, Contoh & Tokoh

Seni Optik

Sebelum ditemukan seni optik seperti yang ada sekarang ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, khususnya setelah munculnya berbagai ilmu, seperti ilmu fisika, anatomi manusia, teristimewa pada sistem optik dan beberapa teori warna, baik untuk warna sinar maupun warna pigmen.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang Mempengaruhi Seni Optik

Ilmu optik pertama kali dipelajari selama bertahun-tahun di laboratorium oleh seorang ahli filsafat dan juga ahli ilmu fisika Inggris yang bernama Bacon (1220-1292). Bacon mempelajari struktur cahaya dan kaitannya dengan bagaimana mata manusia bisa menangkap warna.

Selanjutnya, pada tahun 1642-1727 Sir Isac Newton mengadakan percobaan tentang cahaya menggunakan prisma yang dipantulkan menggunakan sinar matahari yang menimbulkan spektrum warna. Dari eksperimen ini lahir teori yang mengatakan bahwa cahaya matahari dapat diuraikan menjadi beberapa warna, yaitu; merah, jingga, kuning, biru, dan ungu.

Kemudian, seorang Ilmuan Brewster mengajukan teori warna dengan membagi campuran warna-warna pigmen menjadi warna primer, sekunder, tertier, sedangkan Munsell (Amerika) tahun 1958 mengadakan penelitian tentang warna yang didasarkan standarisasi untuk aspek fisik yang dikelompokkan menjadi hue, ligthness, saturation.

Selain dari kemajuan ilmu pengetahuan mengenai cahaya, kelahiran seni optik juga tidak lepas dari beberapa peranan termasuk dari Bauhaus, konsep konstruktivisme, dan abstrak geometris yang dasar pemikirannya, eksak, matematis, geometrik, serta bentuk-bentuk tiga dimensional melalui penggarapan ilmu cahaya dan ilmu warna untuk menampilkan efek kedalaman dan presisi tinggi.

Seni optik pada kemunculannya meliputi seni dua dimensi dan tiga dimensi, yang mendasarkan diri pada ilmu optik, ilmu cahaya, dan ilmu warna untuk mengolah bentuk-bentuk tertentu yang digunakan untuk mengeksploitasi visibilitas dan persepsi mata.

Seni optik pada umumnya berbentuk abstrak, formal, dan konstruktivis melalui bentuk yang khas geometrik dan perulangan yang teratur, rapi, teliti, sehingga dapat menimbulkan efek-efek yang mengecoh mata dengan ilusi ruang. Warna-warna yang digunakan kebanyakan warna cerah atau ligthnes tinggi dengan memberikan batas pada hue atau saturation yang tajam dan tegas.

Tokoh Seniman Seni Optik

M.C. Escher, dapat dikatakan sebagai bapak seni optik, ia adalah seorang seniman grafik dari Belanda, dengan karya litografi pada tahun 1930-an menghasilkan karya-karya awalnya di Itali. Karya-karya Escher merupakan pengolahan mendasar akan ruang dan perspektif yang sangat unik dengan bentuk-bentuk yang mendetail. Dengan mengolah bentuk figur dan latar melalui perubahan bentuk ground dan langit menjadi bentuk burung dengan tepat dan sempurna sekali.

Perkembangan selanjutnya, banyak diadakan pameran-pameran seni optis baik di Prancis maupun negara Eropa. Salah satu pameran seni optis yang paling  terkenal adalah pameran “Responsive Eye” yang di koordinasi oleh William G. Seitz di New York tahun 1965. Para pelukis yang terlibat dalam seni optik selain Vasarely dan Josepf Albers, ada juga pelukis-pelukis muda lainnya Richard Anuskie-wiecz, Almir Mavigner, Larry Poons, Agam, de Soto, Bridget Riley, Jeffrey Steele, Tadasky, dan Yvaral.

Richard Anuskiewiez melakukan eksplorasi berdasarkan ilmu warna, ia menyusun paduan warna dan garis secara teratur dan sistematis yang menimbulkan efek optik sebagai akibat bayangan warna-warna yang tembus pandang dari keteraturan garis yang diciptakan. Melalui eksperimen yang terus-menerus diperoleh berbagai bentuk dan efek optik yang beragam.

Dia menyebut dirinya sebagai abstraksionis geometrik. Anuskiewiecz dengan karyanya yang berjudul All things do live in the three lebih banyak mengolah warna komplemen yang memberikan efek visual yang menakjubkan.

Seni Konseptual (Conseptual Art)

Istilah seni konseptual pertama kali dikemukakan oleh Edward Keinholz dan Herru Flint yang berasal dari California, tahun 1960. Istilah konseptual adalah sinonim dari idea art. Conseptus dalam bahasa Latin berarti: pikiran, gagasan, atau ide. Artinya, konseptual adalah sesuatu yang berkaitan dengan konsep.

Konsep atau ide adalah hal yang penting dalam penciptaan seni. Seni konseptual disatukan oleh satu sikap penggunaan bahasa verbal dan non verbal, analogi atau ilmu bahasa menjadi esensi dan seni. Dengan kata lain, seni konseptual adalah seni yang mengedepankan konsepnya saja, bahkan bisa jadi tidak ada artifak (benda seni) yang dihasilkan, hanya berupa sesuatu yang dapat disiapkan kapan saja ketika karya akan dipamerankan (seperti sepotong pisang yang ditempelkan pada panel menggunakan lak ban).

Oleh karena itu, seni konseptual sangatlah kontroversial, karena menjungkirbalikkan segala kemapanan seni (nilai-nilai, gaya, galeri, pasar seni, dan sebagainya). Para seniman konseptual menggunakan semiotika, feminisme dan budaya populer dalam berkarya, sehingga berlainan sekali dengan karya-karya seni konvensional. Karena itu konseptualisme akhirnya menjadi paham pemikiran yang memayungi bentuk-bentuk seni yang tidak berwujud piktorial dan skulptural seperti body art, eart art, video art, performance art, process art, instalation art, dan lain-lain.

Seni konseptual menemukan spektrum baru dalam seni rupa, sebagai pengganti kiasan atau pantun dalam bahasa, surat kabar, majalah, periklanan, pos, telegram, buku-buku, katalogus, foto kopi, film, video, anggota badan, bahkan dunia ini bisa dijadikan medium atau objek seni. Sejak kehadiran seni konseptual batas-batas antara seni secara fisik mulai kabur, sebab seni konseptual mengakses hampir semua bentuk seni dan non seni.

Seni Kontemporer

Pada Encyclopedia The World Art estetika kontemporer disebutkan, bahwa estetika kontemporer yang baru ini bertujuan untuk memfilsafatkan dalam pengertian anti metafisik, dan kemudian membedakannya dari estetika-estetika sebelumnya. Namun dia tidak akan membuang prinsip kategori-kategori, dan sebagai akibatnya menciptakan konsep mendua dan ragu tentang pengertian filsafat.

Sementara itu, Klaus Honnef mengidentifikasi seni rupa kontemporer sebagai perubahan paradoksal dari avant garde ke post avant garde, sedangkan John Grifith dan Endrew Benyamin menganggap seni rupa kontemporer bertentangan secara diametral dengan modernisme yang percaya pada universalisme. Seni rupa kontemporer tidak percaya lagi pada pusat-pusat perkembangan di mana pun, sebaliknya percaya pada perkembangan seni rupa dalam batas-batas kenegaraan.

Menurut teoretikus Jerman Udo Kulterman pengertian kontemporer dekat dengan paham posmodern dalam arsitektur, paham baru ini menentang kerasionalan modernisme yang dingin dan berpihak pada simbolisme instingtif. Dalam teori yang lebih baru tercatat prinsip pluralisme yang terbanyak mendasari pengertian kontemporer sekarang ini.

Dari berbagai keterangan di atas dapat ditentukan adanya dua paradigma aktivitas seni kontemporer. Pertama, kelompok yang mementingkan aktivitas seni sebagai aktivitas mental senimannya. Kedua, kelompok yang mementingkan aktivitas seni ditujukan bagi kepentingan masyarakat. Scruton melihat kecenderungan persepsi seperti itu sebagai sesuatu yang menyulitkan dalam penilaian estetik.

Baca juga: Seni Rupa Kontemporer: Pengertian, Sejarah, Ciri & Contoh

Seni Rupa Posmodern (Post-modern)

Istilah posmodernisme muncul pertama kali di wilayah seni, yakni seni musik, seni rupa, fiksi, film, fotografi, arsitektur, kritik sastra, dan sebagainya. Di sisi lain istilah posmodern juga muncul di wilayah keilmuan yakni ilmu sosiologi, antropologi, geografi, filsafat, dan sebagainya. Peristilahan ini didefinisikan sesuai dengan konteksnya, istilah posmodern diartikan untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme, sebuah gerakan yang menolak modernisme yang mandek dalam birokrasi museum dan akademi, menjelaskan siklus sejarah baru yang dimulai sejak berakhirnya dominasi barat, surutnya individualisme, kapitalisme, dan kristianitas, serta kebangkitan budaya non barat, hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari.

Posmodernisme merupakan tumbangnya batas antara budaya tinggi dan budaya pop, pencampuradukan gaya yang bersifat eklektik, parodi, pastiche, ironi, kebermainan, dan merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada “kedalaman” (Sugiharto, 1996, hlm. 24-26). Posmodernisme dengan konsep pluralismenya telah menghapus pemilahan atau hirarki antara seni dan desain. Prinsip modernisme telah diubah menjadi ‘Form Follow Fun’. Kedudukan fungsi yang selama ini diagung-agungkan oleh kalangan modernisme mengalami pergeseran pada era posmodernisme.

Karya-Karya Seni Rupa Era Posmodernisme

Kebudayaan posmodern tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme. Perkembangan masyarakat konsumer telah mempengaruhi cara-cara pengungkapan seni. Dalam masyarakat konsumer terjadi perubahan-perubahan mendasar yang berkaitan dengan cara objekobjek seni secara umum dikonotasi, dan cara model konsumsi ini direkayasa oleh para produser.

Masyarakat konsumer memiliki tiga bentuk “kekuasaan” yang beroperasi di belakang produser dan kekuasaan media massa. Ketiga bentuk kekuasaan ini menentukan bentuk dan gaya seni. Di dalam masyarakat konsumer relasi antara subjek dan objek lebih tepat dijelaskan melalui peran subjek sebagai ‘konsumer’. Maksudnya melalui perkembangan mutakhir dalam teknologi produksi, yaitu; otomatisasi dan komputerisasi, peran pekerja dapat diminimalisasi sedemikian rupa, sehingga relasi produksi semakin kehilangan maknanya.

Bahasa Estetik Posmodernisme

Wacana estetik posmodern mencerminkan bahwa tanda dan makna pada estetika posmodern bersifat tidak stabil, mendua, dan plural (polysemy). Dalam wacana ini, lebih ditekankan pada permainan tanda, keterpesonaan pada permukaan dan diferensi, ketimbang makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan abadi.

Bahasa estetik posmodern bersifat hiperriil dan ironik yang meliputi:

  1. Pastiche
    adalah karya sastra, seni atau arsitektur yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai pengarang, seniman atau arsitek dari masa lalu. Dalam mengimitasi karya masa lalu dalam rangka menghargai dan mengapresiasi seni. Sebagai karya yang mengandung unsur pinjaman pastiche mempunyai konotasi negatif sebagai miskin orisinalitas. Di samping itu pastiche adalah satu bentuk imitasi yang tanpa beban kritik dan perang menentang kemajuan serta sejarah, sebab sejarah tak dapaat diulangi. Pastiche juga dikatakan sebagai penggunaan topeng bahasa pengungkapan yang telah mati.
  2. Parodi
    adalah sebuah komposisi dalam karya sastra, seni atau arsitektur yang di dalamnya kecenderungan pemikiran dan ungkapan khas dalam diri seorang pengarang, seniman, arsitek, atau gaya tertentu diimitasi (imitasi yang ditandai oleh kecenderungan ironik) sedemikian rupa untuk membuatnya humoristik atau absurd. Efek-efek kelucuan dan absurditas biasanya dihasilkan dari distorsi atau plesetan ungkapan yang ada. Melalui konteks ini penggunaan kembali karya masa lalu yang dimuati dengan ruang kritik yang menekankan perbedaan ketimbang persamaan. Titik berangkat parodi bukanlah penghargaan, akan tetapi kritik, sindiran, kecaman, sebagai ungkapan rasa tidak puas atau sekedar menggali rasa humor dari karya rujukan yang bersifat serius.
  3. Kitch
    berakar dari bahasa Jerman verkitchen (membuat murahan) dan kistchen berarti memungut sampah dari jalanan. Kitch dalam bahasa estetik posmodern sering ditafsirkan sebagai sampah aristik atau sering pula didefinisikan sebagai selera rendah karena lemahnya ukuran atau kriteria estetik. Strategi Kitch adalah, mengkopi elemen-elemen gaya dari seni tinggi atau objek sehari-hari untuk kepentingan sendiri, yang produksinya didasari pada semangat memassakan atau mendemitosasi seni tinggi.
  4. Camp
    adalah satu bentuk dandysme (tanpa identitas seks), dan karenanya menyanjung tinggi kevulgaran. Camp sering menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya, dengan mengorbankan isi. Camp juga anti antagonisme seksual: maskulin/feminin.
  5. Skizophrenia
    didefinisikan sebagai putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna. Dalam konteksnya semua kata atau penanda, gambar, teks, atau objeknya dapat digunakan untuk menyatakan suatu konsep atau petanda (Piliang, 1995, hlm. 39-41).

Referensi

  1. Piliang, Y. A. (1995). Wawasan Semiotik dan Bahasa Estetik Post-modernisme. Jurnal Seni Rupa, 1, 95.
  2. Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodenisme: Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta: Kanisius.
  3. Tim Kemdikbud. (2017). Seni Budaya XI, semester 2. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *