Atribusi adalah usaha untuk mengetahui berbagai hal dan faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku serta mengalami suatu kejadian dengan mengetahui alasan-alasan atas perilaku dan kejadian yang telah dialaminya tersebut. Saat berinteraksi dengan orang lain, sering kali kita tidak hanya mengamati perilaku mereka dan dampak dari perilaku tersebut, namun kita juga mencari tahu mengapa mereka melakukan perilaku tersebut. Hal inilah yang dinamakan dengan atribusi, yaitu sebuah proses dimana seorang pengamat menyimpulkan penyebab dari perilaku orang lain (Maryam, 2018, hlm. 72).

Contohnya, mengapa seseorang mengemudikan mobilnya dengan ugal-ugalan? Apakah ada faktor internal yang menyebabkannya seperti bahwa tempramennya sedari dulu tidak stabil? atau adakah suatu keinginan untuk menjadi pusat perhatian karena selfesteem orang tersebut terlalu rendah? dan lain-lain Segala hal dan faktor baik itu faktor internal maupun eksternal disebut sebagai atribusi yang menyebabkan seseorang berprilaku dan mengalami peristiwa yang ia lakukan dan alami.

Seperti yang dikemukakan oleh Arfan (2019, hlm. 129) yang menyatakan bahwa atribusi adalah teori yang dikembangkan oleh banyak ahli seperti Fritz Heider yang berpendapat bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yakni faktor- faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan hingga faktor keberuntungan.

Dalam bukunya yang berjudul “The Psychology of Interpersonal Relations”, Fritz Heider (1958) mengemukakan bahwa semua orang sejatinya bertingkah seperti seorang ilmuwan, karena termotivasi untuk memahami orang lain dengan baik dalam rangka untuk mengelola kehidupan sosial kita, oleh karena itu, kita semua akan mengamati, menganalisis, dan menjelaskan perilaku orang lain tersebut. Penjelasan inilah yang dinamakan dengan atribusi, dan teori yang menjelaskan prosesnya disebut teori atribusi (attribution theory) (Maryam, 2018, hlm. 73).

Teori atribusi menjelaskan bahwa terdapat perilaku yang berhubungan dengan sikap dan karakteristik individu, dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan melihat perilaku individu, kita dapat mengetahui sikap atau karakteristik orang tersebut sehingga dapat memprediksi perilaku seseorang dalam menghadapi situasi tertentu di masa depan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori atribusi adalah usaha untuk menginterpretasikan, mengetahui dan menjelaskan penyebab perilaku dan peristiwa yang dialami serta dilakukan oleh seseorang berdasarkan berbagai faktor yang menaunginya, baik faktor internal seperti usaha diri, maupun faktor eksternal seperti kesulitan yang dihadapi.

Jenis Atribusi

Tertarik dengan bagaimana orang-orang menjawab pertanyaan “mengapa”, Heider menemukan penyebab khusus dari sebuah perilaku dalam dua kategori, yaitu personal (dispositional attribution) dan situasional (situational attribution).

  1. Atribusi personal terjadi ketika penyebab perilaku dikarenakan karakteristik internal individu, seperti karakteristik kepribadian, kemampuan, dan suasana hati (mood); sedangkan
  2. Atribusi situasional menyimpulkan bahwa penyebab perilaku seseorang karena faktor situasi atau eksternal, seperti situasi yang dihadapi memang menekannya untuk melakukan hal tersebut seperti kejadian yang traumatis, ucapan orang lain yang menyakitkan, dsb.

Sebagai catatan, selanjutnya atribusi personal dan situasional ini juga terkadang disebut sebagai atribusi internal dan eksternal.

Bias-bias Atribusi

Apakah orang memiliki waktu, motivasi, atau kapasitas kognitif untuk mengelaborasi dan berproses dengan penuh perhatian ketika mengatribusi orang lain? Jawabannya, kadang ya, kadang tidak. Sebagai orang yang melakukan persepsi sosial, kita memiliki keterbatasan kemampuan untuk memproses segala informasi yang relevan, atau kita mungkin memang kurang terlatih untuk menggunakan prinsip-prinsip teori atribusi.

Lebih penting lagi, sering kali kita tidak berupaya untuk berpikir secara hati-hati tentang atribusi yang kita buat. Dengan penjelasan yang begitu banyak dan kita tidak memiliki banyak waktu dalam sehari, orang sering kali melakukan tindakan jalan pintas atau potong kompas (mental shortcut). Mental shortcut atau kesalahan atributsi lainnya ini akan menghasilkan atribusi yang tidak akurat dan biasa disebut sebagai bias atribusi. Beberapa bias atribusi yang dapat terjadi di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Heuristik kognitif (cognitive heuristic)
    Menurut Daniel Kahneman dan Amos Tversky, orang sering melakukan atribusi dan tipe penilaian sosial lainnya dengan menggunakan heuristic kognitif tertentu, di mana seseorang memproses informasi secara potong kompas sehingga penilaian yang dilakukan dapat cepat, namun seringkali mengalami kesalahan.
  2. Kesalahan atribusi mendasar (fundamental attribution error)
    Pada bias ini, kita cenderung mempersepsikan tindakan orang lain disebabkan karena faktor personal atau internal (disposisional), dan mengabaikan peranan faktor eksternal atau situasi sebagai penyebab sebuah perilaku.
  3. Efek pelaku-pengamat (actor-observer effect)
    Tipe kesalahan atau bias atribusi ini menjelaskan bahwa adanya kecenderungan kita mengatribusi perilaku diri sendiri disebabkan faktor situasional (eksternal), sementara perilaku orang lain disebabkan karena faktor internal atau personal (disposisional).
  4. Bias mengutamakan diri sendiri (self-serving bias)
    Bias ini menjelaskan bahwa ada kecenderungan kita mengatribusi perilaku kita yang positif karena faktor internal atau personal, sementara untuk perilaku yang negatif kita atribusikan karena faktor eksternal atau situasional (Kassin dkk dalam Maryam, 2018, hlm. 78-79).

Terdapat pula pola-pola umum yang menyebabkan kegagalan proses atribusi yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Atribusi Internal, yaitu keberhasilan dan kegagalan disebabkan oleh faktor yang bersifat inheren atau faktor internal.
  2. Atribusi Eksternal, yaitu faktor penyebab keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh kekuatan ekternal.
  3. Atribusi Stabil, yaitu keberhasilan dan kegagalan yang dipengaruhi oleh faktor yang bersifat jangka panjang dan sulit mengalami perubahan.
  4. Atribusi Tidak Stabil, yaitu keberhasilan dan kegagalan yang dipengaruhi oleh faktor yang bersifat sementara.
  5. Atribusi dapat Dikontrol, yaitu suatu kondisi dimana keberhasilan dan kegagalan yang dapat dikelola dan dikendalikan.
  6. Atribusi Tidak dapat Dikontrol, yaitu suatu kondisi dimana keberhasilan dan kegagalan tidak dapat dikelola dan dikendalikan.

Teori Inferensi Korespondensi (Corespondent Inference Theory)

Selanjutnya ahli lain yang menyikapi dan meneliti lebih lanjut mengenai teori atribusi adalah Jones dan Davis yang mengutarakan teori inferensi korespondensi. Menurut Jones dan Davis (dalam Maryam, 2018, hlm. 73) masing-masing orang berusaha untuk memahami orang lain dengan mengamati dan menganalisa perilakunya. Teori inferensi korespondensi memperkirakan bahwa orang-orang berusaha untuk menyimpulkan (inferensi) sebuah perilaku , apakah perilaku tersebut sesuai dengan karakteristik personal pelaku yang stabil dan menetap untuk  jangka waktu yang lama (Kassin dkk, 2008 dalam Maryam, 2018, hlm. 73).

Apakah seseorang yang suka melakukan tindakan agresi karena memiliki watak yang jahat? Apakah seseorang yang menyumbangkan uangnya untuk kegiatan amal memang seorang dermawan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, orang melakukan penyimpulan berdasarkan pada tiga faktor sebagai berikut.

  1. Faktor pertama adalah derajat pilihan perilaku.
    Perilaku yang dipilih secara bebas lebih informatif daripada perilaku yang dipaksakan karena kondisi tertentu.
  2. Faktor kedua adalah ekspektasi dari sebuah tindakan.
    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sebuah tindakan memberikan informasi lebih banyak tentang seseorang saat tindakan itu bersumber dari norma daripada saat perilaku tersebut khas atau unik. Menurut Jones dan Davis, kita bisa memperhatikan tindakan yang memiliki tingkat harapan sosialnya (social desirability) rendah dibandingkan yang tingkat harapan sosialnya tinggi. Dengan kata lain, kita bisa belajar banyak tentang orang lain melalui tindakannya yang tidak biasa dilakukan oleh kebanyakan orang pada umumnya.
  3. Faktor yang ketiga, adalah efek niat atau konsekuensi dari perilaku seseorang.
    Tindakan yang menghasilkan banyak hasil sesuai yang diharapkan masyarakat tidak mengungkapkan motif khusus seseorang, dibandingkan jika sebuah tindakan dengan hasil tunggal (Newtson dalam Maryam, 2018, hlm. 74). Dengan kata lain, kita bisa fokus pada tindakan yang menunjukkan efek yang hanya dapat disebabkan oleh satu faktor spesifik dan bukan karena banyak faktor lain. Tindakan yang menghasilkan efek tidak umum ini lebih informatif karena bisa mengabaikan pengaruh faktor-faktor lain. Misalnya, kita sulit untuk memastikan secara tepat mengapa seseorang tetap bekerja pada sebuah pekerjaan yang menyenangkan, gajinya tinggi, dan lokasinya menarik (tiga hasil yang diinginkan, masing-masing cukup untuk menjelaskan tingkah laku). Sebaliknya, kita mungkin merasa lebih pasti tentang mengapa seseorang tetap bekerja pada pekerjaan yang tidak menyenangkan, gajinya rendah, namun lokasinya menarik (hanya satu hasil yang memang diinginkan).

Teori Korespondensi (Covariation Theory) Harold Kelley

Teori inferensi korespondensi berusaha untuk mendeskripsikan bagaimana penerima pesan (perceiver) mencoba untuk menjelaskan karakteristikpersonal individu dari kejadian perilaku. Bagaimanapun, perilaku bisa diatribusikan tidak hanya dari faktor personal, namun juga faktor situsional. Menurut Kelley (dalam Maryam, 2018, hlm. 75), orang-orang membuat atribusi dengan menggunakan prinsip-prinsip kovariansi (covariation principle) yang berasumsi bahwa agar sesuatu bisa menjadi penyebab perilaku, maka prinsip-prinsip tersebut harus ada, namun jika tidak ada maka tidak bisa dikatakan sebagai penyebab sebuah perilaku.

Terdapat tiga jenis informasi kovariansi yang digunakan dalam melakukan atribusi, yaitu konsensus (consensus), kekhasan (distinctiveness), dan konsistensi (consistency).

  1. Konsensus (consensus)
    Individu akan mencari informasi konsensus (consensus) untuk melihat bagaimana orang yang berbeda bereaksi terhadap stimulus yang sama. Menurut Baron dan Byrne (2003 dalam Maryam, 2018, hlm. 76), konsensus merupakan derajat kesamaan reaksi orang lain terhadap stimulus atau peristiwa tertentu dengan orang yang sedang kita amati. Semakin tinggi proporsi orang yang bereaksi serupa dengan pengamat, semakin tinggi tingkat konsensusnya.
  2. Kekhasan (distinctiveness)
    Individu ingin mencari informasi yang khas atau khusus (distinctiveness) untuk melihat bagaimana orang yang sama bereaksi terhadap stimuli atau peristiwa yang berbeda.
  3. Konsistensi (consistency)
    Varian konvariansi yang ketiga ini akan melihat apa yang terjadi pada sebuah perilaku pada waktu yang berbeda ketika orang dan stimulusnya sama, atau derajat kesamaan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus atau peristiwa yang sama pada waktu yang berbeda. Dengan kata lain, konvariansi akan mencari konsistensi terhadap penyebab dan perilaku yang sepadan (Maryam, 2018, hlm. 75-76).

Menurut teori Kelley, kita mengatribusi perilaku orang lain pada penyebab internal apabila tingkat konsensus dan kekhasan rendah namun konsistensinya tinggi. Sebaliknya, kita mengatribusi perilaku seseorang pada penyebab eksternal jika tingkat konsensus, kekhasan, dan konsistensinya tinggi. Kita juga biasa mengatribusi perilaku orang lain merupakan kombinasi antara faktor internal dan eksternal jika tingkat konsensus rendah namun tingkat kekhasan dan konsistensinya tinggi (Baron & Byrne, 2003, dalam Maryam, 2018, hlm. 76).

Referensi

  1. Arfan Ikhsan Lubis. (2019). Akuntansi Keperilakuan Multiparadigma. Jakarta: Salemba Empat.
  2. Maryam, E.W. (2018). Psikologi sosial. Sidoarjo: UMSIDA Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *