Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang dicetuskan di Amerika Serikat dan dipelopori oleh John B. Watson (1878-1958). Watson menentang pendapat yang umum berlaku di saat itu bahwa dalam eksperimen-eksperimen psikologi diperlukan introspeksi (seperti dalam aliran strukturalis). Aliran Behaviorisme adalah aliran psikologi yang memandang orang sebagai makhluk rektif yang memberikan responsnya terhadap lingkungannya, serta pengalaman lampau dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka (Warsah & Daheri, 2021, hlm. 39).

Dalam aliran behaviorisme, berbagai perilaku yang terjadi sebagai akibat dari stimulus yang menghasilkan respons itu haruslah tampak dari luar dan dapat diobservasi atau diamati secara lahiriah. Bahkan, menurut Saleh (2018, hlm. 13) behaviorisme adalah aliran psikologi yang hanya mengakui tingkah laku yang nyata dapat diamati sebagai objek studinya dan menolak anggapan-anggapan psikologi lainnya yang mempelajari tingkah laku yang tidak nampak dari luar.

Behaviorisme ikut dibesarkan secara tidak langsung pula oleh para ahli faal yang meneliti sistem kerja tubuh sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, sebagian ahli seperti Purwanto (dalam Thobroni, 2015, hlm. 55) berpendapat bahwa aliran behaviorisme adalah aliran psikologi yang beranggapan bahwa berpikir adalah tindakan-tindakan dari reaksi yang dijalankan oleh urat saraf dan otot-otot bicara dengan contoh apabila kita mengatakan atau mengungkapkan sebuah gagasan.

Aliaran behaviorisme menyatakan bahwa perilaku manusia dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu:

  1. Perilaku yang terbuka, yang dapat diukur secara objektif, seperti ilmu perilaku, rangsangan, kebiasaan, dan hasil belajar; dan
  2. Perilaku yang tertutup, dipelajari melalui gerakan otot tubuh, proses berpikir dan perasaan. Inti dari pendekatan behaviorisme ialah bahwa kehidupan manusia dipengaruhi oleh stimulus-stimulus, respons, reward, dan hukuman.

Untuk lebih memahami mengapa behaviorisme terbentuk menjadi aliran yang seperti telah diutarakan di atas, kita harus merujuknya pada perkembangan aliran ini sendiri. Meskipun behaviorisme diciptakan oleh Watson dan dibesarkan oleh tokoh seperti Skinner, namun perkembangannya sendiri dapat dirujuk pada para ahli faal di masa pada psikologi baru saja menjadi ilmu mandiri.

Perkembangan Behaviorisme berdasarkan Tokohnya

Salah satu tokoh yang dianggap berpengaruh besar terhadap aliran psikologi behaviorisme itu adalah Ivan Petrovich Pavlov (1849 – 1936) yang merupakan seorang ahli faal (salah satu ilmu medis) yang sebetulnya tidak suka dianggap sebagai seorang ahli psikologi. Namun demikian, peranan Pavlov dalam psikologi amatlah penting, karena kajiannya mengenai refleks-refleks akan merupakan dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviorisme.

Pandangannya yang sangat penting adalah bahwa aktivitas psikis sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks-refleks belaka. Karena itu, mempelajari aktivitas psikis (psikologi) dapat dilakukan dengan cara mempelajari refleks-refleks saja yang selanjutnya lebih diperhatikan mengenai respons dari stimulus yang ada di lingkungan.

Penemuan Pavlov yang sangat menentukan dalam sejarah psikologi adalah hasil penyelidikannya tentang refleks berkondisi (conditioned reflex). Dengan penemuannya ini Pavlov meletakkan dasar-dasar behaviorisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi penelitian-penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar. Bahkan Amerika Psychological Association (A.P.A) mengakui Pavlov adalah seorang yang terbesar pengaruhnya dalam psikologi modern selain Freud.

Behaviorisme Pavlov

Percobaan Pavlov yang berpengaruh terhadap behaviorisme adalah ketika ia menggunakan seekor anjing untuk memperlihatkan unconditioned reflex dan conditioned reflex. Dalam percobaannya ia memperlihatkan makanan pada anjing, lantas anjing itu pun kemudian mengeluarkan air liur. Hal tersebut adalah unconditioned reflex, karena semua anjing pada dasarnya akan mengeluarkan air liur jika melihat makanan.

Selanjutnya ia membuat situasi khusus yakni membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing tersebut. Mula-mula anjing masih tetap baru mengeluarkan air liur setelah melihat makanan, akan tetapi, setelah dikondisikan, lama-lama anjing juga mengeluarkan air liur ketika bel dibunyikan. Hal inilah yang disebut sebagai conditioned reflex. Dalam taraf percobaan yang lebih lanjut, sebelum bel dibunyikan Pavlov menyalakan lampu terlebih dahulu, dan hasilnya dapat ditebak, setelah dikondisikan anjing tersebut akan mengeluarkan air liur bahkan sebelum bel berbunyi.

Bunyi bel pada percobaan ini menjadi rangsang berkondisi (conditioned stimulus). Jika pengondisian atau latihan itu diteruskan, maka pada suatu waktu keluarnya air liur setelah anjing mendengar bunyi bel akan tetap terjadi walaupun tidak ada lagi makanan yang mengikuti bunyi bel itu. Dengan perkataan lain, refleks berkondisi akan bertahan walaupun rangsang tak berkondisi tidak ada lagi.

Tentunya, ketidakadaan rangsang tak berkondisi ini hanya bisa dilakukan sampai pada taraf tertentu, karena jika terlalu lama tidak ada rangsang tak berkondisi, binatang percobaan itu tidak akan mendapat imbalan (reward) atau refleks yang sudah dilakukannya dan karena itu reflex itu makin lama akan makin menghilang dan terjadilah ekstinksi atau proses penghapusan refleks (ekstinction).

Simpulan dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsangrangsang tak berkondisi lama- kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi (Saleh, 2018, hlm. 180).

Behaviorisme Watson

John Broadus Watson (1878-1958) adalah pendiri Behaviorisme di Amerika Serikat dengan karyanya yang paling penting yakni “Psychology As The Behaviorist Views It” (1913) (Saleh, 2018, hlm. 181). Karya ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap perkembangan psikologi behaviorisme yang saat itu sangat mementingkan kesadaran.

Menurut Watson (dalam Mularsih 2017, hlm. 55) manusia adalah subjek ilmiah karena prilaku manusia dapat diukur dan diamati serta diuji secara objektif dengan metode empiris yakni observasi, kondisional, uji coba dan laporan verbal. Pendapat-pendapat Watson umumnya adalah ekstrim dan argumentasi-argumentasinya untuk mempertahankan pendapat itu sering kali dianggap kekanak-kanakan oleh para ahli psikologi Iain, hingga Watson sering dipanggil sebagai Naive Behaviorist.

Kenaifannya nampak misalnya pada pendapatnya bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam. Karena itu psikologi harus dibatasi dengan ketat pada penyelidikan-penyelidikan tentang tingkah laku yang nyata saja, misalnya makan, menulis, berjalan, dan sebagainya.

Watson memberikan pengaruh cukup penting terhadap bidang pendidikan. Bahkan pemeloporannya melalui aliran behaviorisme ini telah menjadi Building block dari teori belajar behaviorisme yang selanjutnya diaplikasikan oleh para pendidik sebagai model hingga metode pembelajaran atau pengajaran.

Watson menekankan pentingya pendidikan dalam perkembangan tingkah laku. Ia percaya bahwa dengan memberikan proses kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, ia bisa membuat seorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu. Ia menyatakan pendapatnya ini secara ekstrem dengan mengatakan “berikan kepada saya sepuluh orang anak, maka akan saya jadikan kesepuluh anak itu sesuai dengan kehendak saya”.

Pengaruh Watson yang lain adalah dalam psikoterapi, yaitu dengan digunakannya teknik kondisioining untuk menyembuhkan kelainan-kelainan tingkah laku. Misalnya seorang penderita obsesif kompulsif yang tidak dapat menghentikan kebiasaannya mencuci tangannya berpuluh-puluh kali dalam sehari, diberikan psikoterapi dengan memberinya hukuman setiap kali ia hendak mencuci tangannya.

Behaviorisme Skinner

Tokoh aliran behaviorisme lainya adalah Buuhus Frederich Skinner yang berpendapat, keperibadian terutama adalah hasil dari sejarah penguatan pribadi individu (indvidual’s personal history of reinforcement). Dalam sebuah karyanya, Skinner, seperti dikutip Wulansari & Sujanto (1997, hlm. 110 dalam Warsah & Daheri, 2021, hlm. 183), membuat tiga asumsi dasar dalam behaviorisme, yakni sebagai berikut.

  1. Perilaku itu terjadi menurut hukum (behavior can be controlled). Organisme yang berperan dan berpikir, Skinner tidak mencari penyebab perilaku dalam jiwa manusia dan menolak alasan-alasan penjelasan dengan mengendalikan keadaan pikiran (mind) atau motif-motif internal.
  2. Perilaku dan kepribadian manusia tidak dapat dijelaskan dengan mekanisme psikis seperti id atau ego. Perilaku yang dapat dijelaskan hanya berkenaan dengan kejadian atau situasi-situasi anteseden yang dapat diamati.
  3. Perilaku manusia tidak ditentukan oleh pilihan individual skinner menolak bahwa orang-orang adalah perilaku-perilaku bebas yang menentukan nasibnya sendiri.

Formula Tingkah Laku

Skinner juga kurang sependapat dengan seorang tokoh sebelumnya yakni Edward Chance Tolman (1886 – 1959) yang memberikan perumusan tingkah laku sebagai B = f(S,A), dimana B adalah behavior (tingkah laku); f berarti fungsi; s berarti situasi; dan A berarti antecedent, yaitu hal-hal yang mendahului suatu situasi.

Menurut Skinner, faktor A (antecedent) adalah faktor yang sangat bervariasi dan sukar ditetapkan secara pasti. Faktor A ini sering dijadikan alasan bagi peneliti-peneliti yang tidak dapat menerangkan suatu tingkah laku. Dengan demikian, faktor A sering dijadikan tempat pelarian kalau peneliti itu menemui jalan buntu dalam penelitiannya.

Skinner berpendapat bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh stimulus saja, tidak ada faktor perantara lainnya. Dengan demikian, formulasi atau rumus Skinner untuk tingkah laku adalah:

B = f (S)

Suatu tingkah laku atau respon (R) tertentu akan timbul sebagai reaksi terhadap suatu stimulus tertentu (S). Teori ini dikenal dengan nama Teori S-R.

Percobaan Perilaku Operant Skinner

Untuk menjelaskan teori S-R itu Skinner mengadakan sebuah percobaan yang disebut proses kondisioning operant. Proses kondisioning operant (operant conditioning) sesungguhnya tidak jauh berbeda dari proses kondisioning klasik dari Pavlov yang telah dijelaskan sebelumnya.

Uji coba yang dilakukan oleh Skinner adalah ia memasukkan seekor tikus ke dalam sebuah kotak yang khusus dibuat untuk percobaan ini. Tikus itu akan bergerak ke sana kemari dan sekali-sekali secara kebetulan ia akan menginjak sebuah alat penekan yang terdapat dalam kotak itu. Kemudian Skinner memasukkan makanan (stimulus tak berkondisi).

Setiap kali tikus menginjak alat penekan, tikus akan melihat makanan dan makan makanan itu (respons tak berkondisi). Kemudian setelah beberapa kali percobaan ini diulang, tikus akan tahu bahwa dengan menekan alat ia akan bisa memperoleh makanan. Maka ia akan dengan sengaja menekan alat tiap kali ia membutuhkan makanan.

Perbuatan menekan alat ini disebut tingkah laku operant, karena tikus itu sengaja melakukannya untuk mengubah situasi (dari tidak ada makanan kepada ada makanan) untuk kepuasan dirinya sendiri. Adapun makanan merupakan imbalan (reward) dari perbuatan menekan alat itu.

Pada tingkat yang lebih lanjut, Skinner hanya memberikan makanan kalau tikus menekan alat penekan pada saat lampu dalam kotak menyala. Kalau lampu sedang tidak menyala, maka walaupun alat ditekan, makanan tidak akan keluar. Maka tikus hanya akan menekan alat kalau lampu sedang menyala. Tikus sekarang dapat membedakan bila ia boleh menekan alat dan bila ia tidak perlu menekan alat. Lampu sekarang menjadi stimulus diskriminasi.

Relevansi Perilaku Operant dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari, Skinner merasa telah mendapati banyak sekali tingkah laku operant. Sebuah pesawat telepon misalnya, adalah sebuah stimulus operant. Orang tahu bahwa dengan mengangkat telepon ia bisa berhubungan dengan tempat lain. Jika seseorang merasa tidak membutuhkan berhubungan dengan orang lain, maka ia tidak akan menelpon. Sebaliknya, jika ia merasa butuh untuk menghubungi orang lain, maka ia akan mengangkat telepon dan terjadilah tingkah laku operant. Kalau bel telepon berbunyi, maka ini merupakan tanda bahwa ada orang yang akan bicara, maka ia perlu mengangkat telepon. Bel ini adalah stimulus diskriminasi, karena ia membedakan kapan telepon itu harus diangkat.

Referensi

  1. Karwono, Mularsih. (2017). Belajar dan pembelajaran serta pemanfaatan sumber belajar. Depok: PT Rajagrafindo persada.
  2. Saleh, A.A. (2018). Pengantar psikologi. Makassar: Penerbit Aksara Timur.
  3. Thobroni. (2015). Belajar & pembelajaran, teori dan praktik. Yogyakarta: ArRuzz Media.
  4. Warsah, I., Daheri, M. (2021). Psikologi: suatu pengantar. Yogyakarta: Tunas Gemilang Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *