Definisi Ekonomi Informasi

Ekonomi informasi (information economics) adalah cabang ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana informasi memengaruhi perilaku pasar, pengambilan keputusan, hingga model bisnis digital. Pada akhir 1990-an, muncul wacana new economy yang dianggap akan menghapus hukum ekonomi lama, misalnya hukum supply and demand.

Namun kenyataannya, hukum ekonomi tetap relevan di era digital, hanya penerapannya yang berbeda. “Komoditas utama bukan lagi barang fisik, melainkan information goods” (Shapiro & Varian, 1999, hlm. 3).

Information goods adalah barang yang nilai utamanya terletak pada informasi, bukan bentuk fisiknya. Contohnya ensiklopedia digital, perangkat lunak, laporan riset saham, hingga streaming film. Dengan kata lain, komoditas yang diperjualbelikan bukan benda berwujud, melainkan pengetahuan, data, dan konten digital seperti short video.

Ciri-ciri Ekonomi Informasi

Seperti yang dibahas sebelumnya, ciri utama dari ekonomi informasi adalah barangnya yang tidak berbentuk fisik, melainkan berupa informasi. Barang tersebut disebut sebagai information goods, sehingga information goods ini bisa menjadi ciri utama dari ekonomi informasi. Shapiro dan Varian (1999) menjelaskan beberapa ciri utama dari information goods yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Sampling
    Konsumen perlu mencoba produk informasi sebelum membeli. Contoh: trailer film Netflix atau free trial Spotify.
  2. First-Copy Costs
    Biaya produksi awal sangat tinggi, tetapi biaya reproduksi digital mendekati nol. “Producing the first copy may be expensive, but reproducing it is almost costless” (Shapiro & Varian, 1999, hlm. 21).
  3. Value-Based Pricing
    Harga ditentukan berdasarkan nilai persepsi konsumen, bukan biaya produksi. Nilai persepsi konsumen ini bisa berasal dari banyaknya basis pengguna, basis fans, hingga niche tertentu.
  4. Network Effects
    Nilai produk meningkat seiring bertambahnya jumlah pengguna. “The value of a network increases as more people use it” (Katz & Shapiro, 1985, hlm. 424).

Strategi Bisnis dalam Ekonomi Informasi

Karena tidak bisa sepenuhnya mengandalkan biaya produksi sebagai dasar harga, bisnis informasi memerlukan strategi khusus untuk menentukan harga dan memaksimalkan profit. Beberapa strategi bisnis dari ekonomi informasi meliputi :

  1. Free & Subsidized (Gratis & Subsidi)
    Produk digital sering ditawarkan gratis, dengan pendapatan dari iklan atau layanan tambahan (freemium). Contoh: TikTok gratis digunakan, tetapi pendapatannya berasal dari iklan.
  2. Versioning
    Perusahaan merilis versi produk dengan fitur berbeda untuk segmen pasar yang beragam, misalnya perangkat lunak edisi basic vs pro.
  3. Bundling
    Menggabungkan beberapa produk menjadi satu paket bernilai lebih tinggi (contoh: Netflix menawarkan paket basic, standard, dan premium dengan akses berbeda).

Google menjadi contoh nyata penerapan strategi ini. Hal Varian, profesor ekonomi dari UC Berkeley, diangkat sebagai Chief Economist Google. Ia merancang sistem lelang AdWords/AdSense dengan prinsip auction theory yang disesuaikan dengan karakteristik information goods (Varian, 2007).

Peran Ekonomi dalam Era Digital

Ekonomi berperan menjembatani teori dengan praktik bisnis di dunia berbasis informasi. Misalnya, dalam menentukan model harga, strategi pasar, hingga mekanisme lelang digital.

Dalam ekonomi informasi, keberhasilan produk tidak hanya ditentukan kualitas teknis, tetapi juga oleh jumlah pengguna (network effects). Semakin banyak orang yang menggunakan suatu layanan, semakin tinggi pula nilai produk itu. Contohnya, WhatsApp menjadi sangat berguna ketika banyak teman kita ikut menggunakannya.

Fenomena ini menciptakan positive feedback loop: makin banyak pengguna → makin tinggi nilai produk → makin sulit pesaing masuk.

Akhirnya terjadi winner-takes-all market, di mana satu perusahaan mendominasi, seperti Facebook di media sosial atau Microsoft Windows di sistem operasi.

Tantangan Ekonomi Informasi

Selain strategi, ekonomi informasi juga menghadapi sejumlah tantangan di era digital:

  1. Fenomena Winner-Takes-All
    “Once a firm gains a sufficient lead, network effects can create a self-reinforcing cycle” (Easley & Kleinberg, 2010, hlm. 491).
  2. Lock-In dan Switching Costs
    Konsumen sering terikat pada satu ekosistem digital sehingga sulit pindah ke layanan pesaing.
  3. Aspek Hukum dan Regulasi
    Perlindungan data, privasi, serta hak cipta menjadi isu besar dalam perdagangan informasi.
  4. Kesenjangan Digital (Digital Divide)
    Tidak semua masyarakat memiliki akses yang sama terhadap informasi, menciptakan ketidakmerataan kesempatan ekonomi.

Contoh Studi Kasus Ekonomi Informasi

Contoh dari ekonomi informasi ini meliputi Netflix, TikTok, dan AI tools membuktikan bahwa information goods kini menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital. Beberapa contoh nyata dari fenomena ekonomi informasi di antaranya adalah sebagai berikut.

TikTok: Network Effects, dan Lock-In

TikTok menjadi bukti paling nyata dari efek jaringan (network effects). Semakin banyak kreator mengunggah konten, semakin besar nilai platform ini bagi pengguna baru. Dampaknya, pengguna lain merasa “ketinggalan tren” bila tidak ikut menggunakan TikTok.

Lebih jauh, TikTok menciptakan fenomena lock-in yang berdampak pada perilaku bisnis:

  1. UMKM merasa perlu berjualan di TikTok Shop karena basis konsumen yang sangat besar.
  2. Brand besar seperti Samsung, Unilever, hingga Nike pun “dipaksa” hadir di TikTok agar tidak kehilangan audiens muda.
  3. Ekosistem e-commerce Indonesia ikut terdampak, di mana Tokopedia, Shopee, hingga Lazada harus menyesuaikan strategi agar tidak ditinggalkan.

Dengan kata lain, TikTok bukan sekadar aplikasi hiburan, melainkan ekosistem yang memaksa pemain bisnis menyesuaikan diri atau berisiko “terlock-out” dari pasar.

Shopee dan Efek Jaringan Ganda (Two-Sided Network Effects)

Shopee tumbuh pesat karena efek jaringan dua sisi:

  • Sisi penjual (merchant): semakin banyak konsumen di Shopee maka semakin menarik bagi UMKM dan brand besar untuk membuka toko di sana.
  • Sisi pembeli (konsumen): semakin banyak penjual bergabung maka semakin beragam produk dan promosi tersedia maka semakin menarik untuk konsumen baru.

Shopee juga memanfaatkan lock-in melalui program loyalitas seperti ShopeePay, Shopee Coins, dan gratis ongkir. Konsumen yang sudah terbiasa dengan sistem pembayaran, voucher, dan poin merasa “berat” berpindah ke platform lain (karena kehilangan benefit).

Akibatnya, pesaing seperti Lazada atau Tokopedia sering mengalami lock-out, meskipun mereka punya produk serupa, sulit menarik konsumen yang sudah “terikat” oleh ekosistem Shopee.

WhatsApp dan Lock-In Komunikasi

WhatsApp adalah contoh ekstrem network effect di Indonesia:

  • Hampir semua orang punya WhatsApp, maka nilai aplikasi meningkat seiring jumlah penggunanya.
  • Efek jaringan begitu kuat, hingga aplikasi alternatif (Line, Telegram, Signal) kesulitan bersaing, walaupun menawarkan fitur lebih canggih.

Dari sisi bisnis, WhatsApp menciptakan lock-in dengan menghadirkan layanan WhatsApp Business dan integrasi dengan e-commerce/CRM. Misalnya:

  • UMKM menggunakan WhatsApp sebagai primary channel komunikasi dengan pelanggan.
  • Migrasi ke platform lain terasa tidak mungkin, karena semua kontak, grup, dan riwayat interaksi sudah terkunci di WhatsApp.

Kondisi ini menunjukkan fenomena lock-out: pesaing potensial tidak hanya kalah fitur, tetapi juga kalah ekosistem.

AI (ChatGPT & MidJourney) sebagai Information Goods Baru

AI generatif seperti ChatGPT atau MidJourney memperlihatkan karakteristik khas information goods:

  • First-copy costs: biaya melatih model AI sangat mahal (ratusan juta hingga miliaran dolar).
  • Costless reproduction: setiap interaksi tambahan dengan pengguna hampir tanpa biaya.
  • Versioning: OpenAI menyediakan ChatGPT gratis dengan model terbatas dan versi Plus berbayar (GPT-4).
  • Bundling: integrasi API dengan Microsoft 365 (Word, Excel, Teams) menunjukkan bagaimana AI dijadikan nilai tambah dalam ekosistem digital yang lebih luas.

Dampaknya, AI menciptakan network effects karena semakin banyak pengguna maka semakin banyak data untuk fine-tuning sehingga semakin tinggi nilai dan ketergantungan konsumen.

Kesimpulan

Ekonomi informasi menegaskan bahwa teori ekonomi tidak hilang di era digital, tetapi beradaptasi dengan kondisi baru. Definisi, ciri khas information goods, strategi bisnis kreatif, serta tantangan hukum dan regulasi menunjukkan kompleksitas baru dalam ekonomi modern.

Contoh nyata Netflix, TikTok, dan AI tools membuktikan bahwa information goods kini menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital. Seperti disampaikan Shapiro & Varian (1999): “Technology changes. Economic laws do not.”

Referensi (Daftar Pustaka)

  1. Easley, D., & Kleinberg, J. (2010). Networks, crowds, and markets: Reasoning about a highly connected world. Cambridge University Press.
  2. Katz, M. L., & Shapiro, C. (1985). Network externalities, competition, and compatibility. The American Economic Review, 75(3), 424–440.
  3. Shapiro, C., & Varian, H. R. (1999). Information rules: A strategic guide to the network economy. Harvard Business School Press.
  4. Varian, H. R. (2007). Position auctions. International Journal of Industrial Organization, 25(6), 1163–1178. https://doi.org/10.1016/j.ijindorg.2006.10.002

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *