Pengertian Good Governance

Good governance adalah paradigma yang beranggapan bahwa suatu pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang berorientasi kepada masyarakat dan bukan lagi kepada birokrat atau dengan kata lain pemerintahan yang sedang mereformasi diri melaksanakan wirausaha birokrasi untuk menghindari korupsi, kolusi, dan nepotisme (Muhammad, 2019, hlm. 74).

Good atau dalam Bahasa Indonesia berarti “baik” tentunya memiliki pengertian yang amat luas. Namun demikian, Pasolong (2019, hlm. 246) mengemukakan bahwa “good” dalam good governance berarti:

  1. nilai-nilai yang sesuai keinginan rakyat atau nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan nasional: kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial;
  2. aspek-aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dalam pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan.

Sementara itu , istilah Governance atau pemerintahan mengandung arti praktik penyelenggaraan kewenangan oleh Pemerintah dalam mengelola urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi khususnya. Dengan demikian good governance dapat diartikan sebagai pengelolaan kewenangan oleh pemerintah yang sesuai dengan nilai-nilai kepentingan rakyat serta mengaplikasikan aspek-aspek fungsional yang efektif untuk mencapai tujuan pemerintahan.

Selanjutnya Mardiasmo (dalam Rodiyah dkk, 2021, hlm. 37) mengartikan good governance sebagai suatu konsep pendekatan yang orientasinya pada pembangunan sektor publik kepada pemerintahan yang baik. Definisi sederhana ini mungkin terbaca agak mengaburkan, akan tetapi muatan makna yang dibawakan masih sama yakni mengutamakan kepentingan publik dibandingkan birokrat atau para pejabatnya sendiri.

Lebih lanjut World Bank (dalam Pasolong, 2019, hlm. 249) mengartikan good governance sebagai penyelenggaraan manajemen yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi investasi, menghindarkan korupsi/KKN baik secara politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan hukum dan kerangka kerja politik bagi tumbuhnya wirausaha.

Sedangkan menurut UNDP (Pasolong, 2019, hlm. 250) good governance adalah sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsip-prinsip; partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsensus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggung jawab serta memiliki visi yang strategik.

Dapat disimpulkan bahwa good governance adalah pendekatan pemerintahan yang pendekatannya lebih menjunjung nilai-nilai kepentingan rakyat daripada birokrat sendiri melalui penyelenggaraan manajemen yang solid, bertanggung jawab dan menghindari kesalahan alokasi investasi, korupsi, baik secara politik maupun administrasi.

Tiga Pilar dan Domain Good Governance

Menurut Rodiyah dkk (2021, hlm. 37) Good governance memiliki tiga pilar utama (three pillars) dan tiga domain (three domain) yang akan dijabarkan sebagai berikut.

The Three Pillars of Good Governance

  1. Political Governance
    Political governance lebih mengacu pada proses pembuatan kebijakan
  2. Economic Governance
    Economic Governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup.
  3. Administrative Governance
    Administrative Governance mengacu pada system implementasi kebijakan.

The Three Domains of Good Governance

  1. Negara
    Negara memiliki tugas penting dalam pembangunan manusia berkelanjutan, diwujudkan dalam perlindungan lingkungan, masyarakat, menciptakan komitmen politik, menyediakan infrastruktur, melakukan desentralisasi, demokrasi pemerintahan, memperkuat finansial, memberikan pelayanan dan memberikan kesempatan yang sama di semua bidang sosial, politik, dan ekonomi.
  2. Swasta
    Swasta memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi dengan menggunakan pendekatan pasar, menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif sehingga produksi barang dan jasa berjalan dengan baik.
  3. Masyarakat
    Organisasi masyarakat sipil memainkan peran memfasilitasi interaksi sosial politik dan memobilisasi berbagai keperluan dalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik, melakukan monitoring, partisipasi publik dalam berbagai aktivitas, menjaga dan melindungi budaya, keyakinan agama dan berbagai nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).

Asas-Asas Good Governance

Untuk menerapkan good governance maka perlu diterapkan pula asas atau prinsip yang menyelubunginya. Menurut UNDP (dalam Pasolong, 2019, hlm. 257) asas-asas atau prinsip-prinsip good governance terdiri atas 9 asas sebagai berikut.

  1. Partisipasi (participation).
    Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan rakyat, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
  2. Aturan hukum (rule of law).
    Kerangka aturan hokum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama hukum tentang hak asasi manusia.
  3. Transparansi (transparency).
    Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi.
  4. Daya tanggap (responsiveness).
    Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang kepentingan (stakeholders).
  5. Berorientasi konsensus (consensus orientation).
    Pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
  6. Berkeadilan (equity).
    Pemerintahan yang baik akan memberi kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
  7. Efektivitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency).
    Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.
  8. Akuntabilitas (accountability).
    Para pengambil keputusan dalam organisasi sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders).
  9. Visi strategis (strategic Vision).
    Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Sementara itu World Bank (dalam Pasolong, 2019, hlm. 258) mengajukan 4 prinsip-prinsip good governance sebagai berikut.

  1. Akuntabilitas
    Adanya kewajiban bagi aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.
  2. Transparansi
    Kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
  3. Keterbukaan
    Menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan.
  4. Aturan hukum
    Kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.

Implementasi Good Governance

Menurut Sedarmayanti dalam Pasolong (2019, hlm. 258) untuk mewujudkan good governance, diperlukan manajemen penyelenggaraan pemerintah yang baik dan handal, yaitu manajemen kondusif, responsif dan adaptif dan untuk dapat menciptakan administrasi publik yang mengandung unsur sistem koperasi dan pendekatan pelayanan publik yang relevan bagi masyarakat serta dengan menciptakan beberapa hal berikut.

  1. Kerangka kerja tim (team works) antar organisasi, departemen dan antar wilayah.
  2. Hubungan kemitraan (partnership) antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat negara yang bersangkutan tadi tidak sekedar kemitraan internal diantara jajaran instansi pemerintah saja.
  3. Pemahaman dan komitmen akan manfaat dan arti pentingnya tanggungjawab bersama dan kerjasama (cooperation) dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.
  4. Adanya dukungan dan sistem kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini secara realistik dapat dikembangkan.
  5. Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal (kode etik) administrasi publik, juga terhadap nilai-nilai etika dan moralitas yang diakui dan dijunjung tinggi secara bersama-sama dengan masyarakat yang dilayani.
  6. Adanya pelayanan administrasi publik yang berorientasi kepada masyarakat yang dilayani, inklusif (mencerminkan layanan yang mencakup secara merata terhadap seluruh masyarakat bangsa yang bersangkutan tanpa adanya pengecualian), administrasi publik yang mudah dijangkau oleh masyarakat, dan bersifat bersahabat, berasaskan pemerataan yang berkeadilan dalam setiap tindakan dan layanan yang diberikan kepada masyarakat, mencerminkan wajah pemerintah yang sebenarnya atau tidak menerapkan standar ganda dalam menentukan kebijakan dan memberikan layanan terhadap masyarakat berfokus pada kepentingan masyarakat dan bukannya kepentingan internal organisasi pemerintah, bersikap profesional dan bersikap tidak memihak.

Permasalahan Menuju Good Governance

Beberapa permasalahan yang terkait dengan SDM dalam penyelenggaraan good governance di Indonesia menurut Derajad (dalam Pasolong, 2019, hlm. 262) adalah sebagai berikut.

  1. Permasalahan dalam birokrasi Indonesia (feodal, dan lain-lain).
  2. Permasalahan PNS dalam birokrasi pemerintah (besarnya jumlah PNS, rendahnya kualitas dan ketidaksesuaian kompetensi yang dimiliki, dan lain-lain).
  3. Permasalahan global mengenai SDM.

Permasalahan-permasalahan tersebut di atas, tidak dapat jika hanya diatasi melalui penerapan kebijakan-kebijakan yang bersifat setengah-setengah atau kurang serius. Oleh karena bagaimanapun juga, permasalahan yang ada adalah merupakan akumulasi permasalahan yang telah atau pernah terjadi sebelumnya, yaitu kebijakan-kebijakan di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) yang kurang terarah.

Untuk menghadapi permasalahan di atas, menurut Drajad (2004) perlu ada pembenahan melalui pendekatan peningkatan profesionalisme yang berbasis pada kompetensi, dilakukan repositioning peran SDM, identifikasi pengembangan kemampuan, sehingga SDM dalam birokrasi pemerintah akan mampu menciptakan kinerja yang tinggi.

Selanjutnya Drajad (dalam Pasolong, 2019, hlm. 263) menyebut bahwa ada beberapa nilai SDM yang perlu dicapai sehingga birokrasi pemerintah akan menjadi lebih kompetitif, yakni sebagai berikut.

  1. Hubungan proaktif antara strategi dengan kompetensi.
  2. Bahwa setiap orang dapat dikembangkan potensinya.
  3. Sikap konsisten dalam pencapaian tujuan.
  4. Mengembangkan kepercayaan dan pembagian tugas.
  5. Adanya saluran komunikasi yang terbuka; serta.
  6. Partisipasi aktif.

Referensi

  1. Muhammad. (2021). Pengantar ilmu administrasi negara. Aceh: Unimal Press.
  2. Pasolong, Harbani. (2019). Teori administrasi publik. Bandung: Alfabeta.
  3. Rodiyah, I., Sukmana, H., Mursyidah, L. (2021). Pengantar ilmu administrasi publik. Sidoardjo: Umsida Press.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *