Jenis belajar amatlah beragam dan tidak melulu persoalan akademis dan keterampilan saja. Hal ini merupakan catatan penting karena belajar haruslah berupa kombinasi yang seimbang antarragam-jenisnya. Jika tidak, belajar tidak akan mampu memberikan dampak perubahan positif bagi individu apalagi masyarakat dan kesejahteraan manusia pada umumnya.

Misalnya, jika kemampuan teknis seperti coding, menggambar, atau riset dan analisis tidak diimbangi oleh soft skill atau kemampuan pengelolaan diri dan bersosialisasi maka dampak dari kemampuan teknis tersebut tidak akan pernah memberikan dampak yang signifikan. Bahkan individu dengan keterampilan teknis hebat berpotensi “tidak terpakai” di industri kerja sekalipun jika ia tidak mampu bekerja sama dengan rekan-rekannya.

Ambil contoh seorang Programmer yang andal menulis kode tidak akan pernah bisa menyelesaikan program aplikasi yang dibangunnya jika tidak mampu mendisiplinkan diri untuk menyelesaikannya tepat waktu. Seorang ilmuwan hebat yang menemukan konsepsi dan teori kuat tidak akan bisa memberikan dampak positif jika tidak mampu mengomunikasikannya dengan baik pada masyarakat.

Sementara itu seseorang yang memiliki intelegensi tinggi dan kaya akan ilmu pengetahuan akan menjadi percuma jika tidak diimbangi oleh sikap dan perilaku yang berbudi luhur, karena justru berpotensi mengakibatkan kemunduran manusia. Oleh karena itu amatlah mengetahui ragam belajar yang akan membuka wawasan seseorang terhadap semua hal yang dibutuhkan untuk menjadi sukses dan mampu berkontribusi secara positif pada masyarakat dan kehidupan umat manusia pada umumnya.

Berikut adalah pemaparan rinci mengenai beberapa jenis ragam belajar menurut para ahli.

1. Belajar Abstrak

Belajar abstrak adalah belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak (Nurjan, 2016, hlm. 50). Abstrak di sini artinya hal yang dipelajari tidak dapat dilihat atau disentuh secara langsung atau tidak ada wujud konkretnya. Sesuatu yang dipelajari haruslah digambarkan atau direpresentasikan dalam proses kognisi individu secara imajiner. Dengan demikian Dalam mempelajari hal-hal yang abstrak diperlukan peranan akal atau kognisi yang kuat.

Sementara itu menurut Suralaga (2021, hlm. 79) belajar abstrak adalah kegiatan belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah yang tidak nyata. Untuk mempelajari hal yang abstrak diperlukan prinsip, konsep, dan generalisasi. Dengan kata lain, jenis belajar abstrak adalah pembelajaran yang mempelajari perihal konsep dan teori-teori akan suatu hal. Beberapa contoh belajar abstrak meliputi belajar matematika, kimia, kosmografi, astronomi, dan ilmu agama seperti ilmu tauhid (Nurjan, 2016, hlm. 50).

2. Belajar Keterampilan

Belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat saraf dan otot-otot (neuromuscular) (Nurjan, 2016, hlm. 50). Tentunya meskipun berhubungan dengan saraf belajar keterampilan juga tetap akan melibatkan proses mental kognisi juga.

Jenis belajar ini mungkin merupakan ragam belajar yang paling populer setelah belajar pengetahuan karena memberikan kemampuan konkret untuk melakukan suatu hal yang konkret pula. Sesuatu yang dipelajari dapat langsung dipraktikkan dan menghasilkan suatu produk pasti yang bisa jadi sangat diterima di industri kerja dan masyarakat.

Sementara itu menurut Suralaga (2021, hlm. 79) belajar keterampilan adalah jenis belajar yang menggunakan gerakan-gerakan motorik, yang berhubungan dengan fungsi otot, fungsi bagian tubuh seperti tangan atau kaki. Termasuk dalam belajar motorik adalah melakukan gerakan senam, berlari, berenang, membuat produk prakarya, dll.

Tujuan dari ragam belajar keterampilan adalah memperoleh dan menguasai keterampilan yang menggabungkan kognisi dan motorik (psikomotorik) tertentu. Dalam belajar jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amatlah diperlukan. Beberapa contoh belajar keterampilan lainnya adalah belajar memainkan alat musik, menari, melukis, memperbaiki benda-benda elektronik, dll.

3. Belajar Sosial

Belajar sosial adalah belajar yang bertujuan untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial seperti masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah lain yang bersifat kemasyarakatan (Nurjan, 2016, hlm. 50). Sementara itu menurut Suralaga (2021, hlm. 79) belajar sosial adalah belajar untuk memahami hubungan sosial antarindividu seperti bagaimana individu berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain serta memahami dan mampu memecahkan masalah-masalah dalam hubungan sosialnya dengan keluarga, teman, dan sebagainya.

Tidak melulu mengenai kelompok atau lingkungan sosial, belajar sosial juga dapat bermanfaat untuk mengatur dorongan nafsu pribadi demi kepentingan bersama dan memberi peluang kepada orang lain atau kelompok lain untuk memenuhi kebutuhannya secara berimbang dan proporsional, termasuk mengakomodasi anggota masyarakat yang memiliki perbedaan sebagai akibat dari konstruksi sosial di masyarakat. Bidang-bidang studi yang termasuk bahan pelajaran sosial antara lain sosiologi, pelajaran agama, dan pendidikan moral Pancasila.

4. Belajar Sikap

Belajar sikap adalah belajar untuk membiasakan diri untuk bersikap baik yang dapat diperoleh melalui keteladanan dan pembiasaan; dengan membentuk kebiasaan-kebiasaan baru atau memperbaiki kebiasaan yang tidak diinginkan (Suralaga, 2021, hlm. 80). Contoh belajar sikap misalnya adalah belajar menghormati orang tua, menyayangi saudara, teman, menolong dan bekerja sama, hingga sikap hidup bersih dan sehat.

5. Belajar Pemecahan Masalah

Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti (Nurjan, 2016, hlm. 51). Tujuan dari belajar pemecahan masalah adalah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu, kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi serta insight (tilikan akal) amat diperlukan.

Dalam hal ini, hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana sarana pemecahan masalah. Untuk keperluan ini, guru (khususnya guru mengajar eksakta, seperti matematika dan IPA) sangat dianjurkan menggunakan model dan strategi mengajar yang berorientasi pada cara pemecahan masalah (Lawson, 1991 dalam Nurjan, 2016, hlm. 51).

6. Belajar Rasional

Belajar rasional adalah belajar dengan menggunakan kemampuan berpikir secara logis dan rasional atau sesuai dengan akal sehat (Nurjan, 2016, hlm. 51). Tujuan dari belajar rasional adalah untuk memperoleh aneka ragam kecakapan menggunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar ini erat kaitannya dengan belajar pemecahan masalah. Dengan belajar rasional, siswa diharapkan memiliki kemampuan rational problem solving, yaitu kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis, dan sistematis (Reber, 1988 dalam Nurjan, 2016, hlm. 51).

Bidang-bidang studi yang dapat digunakan sebagai sarana belajar rasional sama dengan bidang-bidang studi untuk belajar pemecahan masalah. Perbedaannya, belajar rasional tidak memberikan tekanan pada penggunaan bidang studi eksakta. Artinya, bidang studi non-eksakta pun dapat memberi efek yang sama dengan bidang studi eksakta dalam belajar rasional.

7. Belajar Kebiasaan

Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada (Nurjan, 2016, hlm. 52). Belajar kebiasaan dapat dilakukan melalui perintah (dari orang tua atau guru), teladan dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuan dari belajar kebiasaan adalah agar individu atau peserta didik/siswa-siswi memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual). Selain itu, arti tepat dan positif di atas ialah selaras dengan norma dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang bersifat religius maupun tradisional dan kultural.

8. Belajar Apresiasi

Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgment) arti penting atau nilai suatu objek (Nurjan, 2016, hlm. 52). Tujuannya adalah agar peserta didik memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (affective skills) yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik, dan sebagainya.

Sementara itu menurut Suralaga (2021, hlm. 80) belajar apresiasi adalah belajar untuk membertimbangkan arti penting atau nilai suatu objek. Dengan kata lain jenis belajar apresiasi berarti mempelajari kebaikan dan keburukan suatu hal untuk dinilai atau dievaluasi makna atau muatannya.

Bidang-bidang studi yang dapat menunjang tercapainya tujuan belajar apresiasi antara lain bahasa dan sastra, kerajinan tangan (prakarya), kesenian, dan menggambar. Guru juga perlu membandingkan perbedaan belajar apresiasi untuk mengatasi kesenjangan dalam belajar maupun ketidaksetaraan gender dan stereotip-stereotip lainnya.

9. Belajar Pengetahuan

Belajar pengetahuan adalah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu (Nurjan, 2016, hlm. 52). Studi ini juga dapat diartikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk menguasai materi pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan eksprerimen (Reber, 1988 dalam Nurjan, 2016, hlm. 53). Tujuan belajar pengetahuan adalah agar peserta didik memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat laboratorium dan penelitian lapangan.

Sementara itu menurut Suralaga (2021, hlm. 77) belajar pengetahuan adalah belajar dengan cara memproses informasi dan melakukan penyelidikan terhadap objek pengetahuan tertentu. Pembagian jenis belajar berdasarkan materi menurut Gagne (dalam Suralaga, 2021, hlm. 77) dibagi menjadi tiga jenis utama yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Belajar informasi verbal,
    yakni belajar untuk memperoleh pengetahuan dengan menggunakan bentuk bahasa lisan atau tertulis baik berupa data, fakta, nama suatu objek, maupun konsep. Dengan belajar informasi verbal ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupannya. Contoh belajar jenis ini adalah dengan menyebutkan nama-nama organ tubuh, nama-nama benda di sekitarnya.
  2. Belajar kemahiran intelektual,
    jenis belajar ini berhubungan dengan pengetahuan konsep, menyusun kaidah dan menentukan prinsip. Contohnya adalah belajar tentang konsep kebersihan, kesehatan, dan kebersamaan.
  3. Belajar pengaturan kegiatan intelektual,
    yakni belajar bagaimana cara menangani aktivitas belajar dan berpikir sendiri, misalnya belajar pemecahan masalah yang menuntut kemampuan berpikir kritis atau kreatif.

Sementara itu menurut Bloom (dalam Suralaga, 2021, hlm. 78) membagi belajar pengetahuan menjadi aspek kognitif yang meliputi enam tingkatan berikut ini. Contohnya adalah mampu menyebutkan nama-nama hewan, mengingat peristiwa penting dalam sejarah, dan lain-lain.

  1. Ingatan,
    merupakna kemampuan untuk mengingat, mengenal, dan mereproduksi bahan pengetahuan atua pelajaran. Kemampuan ini merupakan belajar aspek kognitif atau pengetahuan yang paling rendah.
  2. Pemahaman,
    yaitu kemampuan untuk menjelaskan suatu konsep atau prinsip tertentu, misalnya dapat menjelaskan manfaat menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan.
  3. Penerapan atau aplikasi,
    yakni kemampuan utnuk menggunakan informasi dengan cara baru atau dalam situasi baru, misalnya peserta didik dapat menggunakan suatu teori untuk memecahkan permasalahan dari suatu kasus seperti mengerjakan soal matematika dan fisika.
  4. Analisis,
    yaitu kemampuan untuk memisahkan atau menguraikan suatu bahan menjadi komponen-komponen atau bagian-bagian untuk melihat hubungan dari bagian-bagian dan kesesuaiannya. Misalnya, peserta didik dapat mengelompokkan berbagai jenis titik, garis, bidang, dan warna untuk membentuk suatu gambar benda dua dimensi dan tiga dimensi di alam sekitar.
  5. Evaluasi,
    yakni kemampuan membuat pertimbangan atau penilaian untuk membuat keputusan atas dasar internal (keajegan, logika, ketepatan) atau eksternal (dibandingkan karya, teori, atau prinsip dalam bidang tertentu). Misalnya peserta didik dapat menilai cara yang terbaik dari beberapa cara untuk menyelesaikan suatu kasus.
  6. Kreatif,
    merupakan kemampuan menghasilkan ide atau gagasan untuk menciptakan sesuatu yang baru atau meningkatkan nilai manfaat pada benda tertentu. Contohnya adalah individu dapat membuat karya seni, mahasiswa dapat merancang desain penelitian, dan lain-lain.

Referensi

  1. Nurjan, Syarifan. (2016). Psikologi Belajar. Ponorogo: Wade Group.
  2. Suralaga, F. (2021). Psikologi pendidikan implikasi dalam pembelajaran. Depok: Rajawali Pers.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *