Pengertian Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar adalah suatu bentuk gangguan dalam satu atau lebih dari faktor fisik dan psikis yang mendasar yang meliputi pemahaman atau penggunaan bahasa, lisan atau tulisan yang dengan sendirinya muncul sebagai kemampuan tidak sempurna untuk mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, atau membuat perhitungan matematikal, termasuk juga keadaan ekonomi, budaya, atau lingkungan yang tidak menguntungkan (Betty dalam Nurjan, 2016, hlm. 162).

Seorang anak yang nilainya jelek belum tentu mengalami kesulitan belajar. Dalam suatu situasi pendidikan yang terbatas atau buruk, misalnya, anak itu berarti mempunyai “lingkungan yang tidak menguntungkan”. Hal yang sama bisa dikatakan tentang seorang anak yang hidup dalam kondisi di bawah standar seperti kurang gizi dan tidak mendapat dukungan pendidikan.

Kesulitan belajar atau learning disabilities adalah salah satu istilah yang mewadahi berbagai jenis kesulitan yang dialami anak terutama yang berkaitan dengan masalah akademis, kesulitan bidang akademik di sekolah yang sangat spesifik yaitu kesulitan dalam satu jenis atau bidang akademik seperti:

  1. Kesulitan berhitung (diskalkulia),
  2. kesulitan membaca (disleksia),
  3. kesulitan menulis (disgraphia),
  4. kesulitan berbahasa (dysphasia),
  5. kesulitan tidak terampil (dispraksia), dsb (Ginitasasi dalam Asrori, 2020, hlm. 94).

Dengan kata lain, kesulitan belajar dapat pula diartikan sebagai salah satu bentuk dari anak berkebutuhan khusus yang ditandai dengan adanya kesulitan untuk mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional.

Sementara itu The National Join Committee for Learning Disabilities (NJCLD), mengartikan kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, atau kemampuan dalam bidang studi tertentu (Asrori, 2020, hlm. 94).

Jenis-Jenis Kesulitan Belajar

Menurut Mulyadi (dalam Asrori, 2020, hlm. 94), kesulitan belajar mempunyai jenis dan macam amat banyak dan luas yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Learning disorder,
    adalah keadaan di mana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Dengan demikian, hasil belajar yang dicapai akan lebih rendah dari potensi yang dimiliki.
  2. Learning disabilities (ketidakmampuan belajar),
    adalah ketidakmampuan seseorang yang mengacu kepada gejala di mana seseorang tidak mampu belajar (menghindari belajar) sehingga hasil belajarnya di bawah potensi intelektualnya.
  3. Learning disfunction (ketidakfungsian belajar),
    adalah menunjukkan gejala di mana proses belajar tidak berfungsi dengan baik meskipun pada dasarnya tidak ada tanda-tanda subnormalitas mental, gangguan alat indera atau gangguan psikologis lainnya.
  4. Under achiever,
    adalah mengacu pada seseorang yang memiliki tingkat potensi intelektual di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah.
  5. Slow learner,
    adalah seseorang yang lambat dalam proses belajarnya sehingga membutuhkan waktu dibandingkan seseorang yang lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

Diagnosis Kesulitan Belajar

Diagnosis kesulitan belajar adalah keputusan (penentuan) mengenai hasil dari pengolahan data (Nurjan, 2016, hlm. 199). Tentu saja keputusan yang diambil itu setelah dilakukan analisis terhadap data yang diolah. Selain itu, diagnosis kesulitan belajar juga dapat berupa hal-hal sebagai berikut.

  1. Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar anak didik yaitu berat dan ringannya tingkat kesulitan yang dirasakan anak didik.
  2. Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.
  3. Keputusan mengenai faktor utama yang menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.

Oleh karena diagnosis merupakan penentuan jenis penyakit dengan meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya atau proses pemeriksaan terhadap hal yang dipandang tidak beres, maka agar akurasi keputusan yang diambil tidak keliru tentu saja diperlukan kecermatan dan ketelitian yang tinggi. Untuk mendapatkan hasil yang meyakinkan itu sebaiknya minta bantuan tenaga ahli dalam bidang keahlian mereka masing-masing yang meliputi:

  1. Dokter, untuk mengetahui kesehatan anak.
  2. Psikolog, untuk mengetahui tingkat IQ anak.
  3. Psikiater, untuk mengetahui kejiwaan anak.
  4. Sosiolog, untuk mengetahui kelainan sosial yang mungkin dialami oleh anak.
  5. Guru kelas, untuk mengetahui perkembangan belajar anak selama di sekolah.
  6. Orang tua anak, untuk mengetahui kebiasaan anak di rumah.

Namun demikian dalam praktiknya, tidak semua ahli di atas selalu harus digunakan secara bersama-sama dalam setiap proses diagnosis. Bantuan diperlukan tergantung pada kebutuhan dan tentu saja kemampuan yang tersedia di sekolah.

Prosedur Diagnosis Kesulitan Belajar

Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.

Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener & Senf (1982 dalam Nurjan, 2016, hlm. 200) sebagai berikut.

  1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa/siswi ketika mengikuti pelajaran.
  2. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa/siswi khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
  3. Mewawancarai orang tua atau wali siswa/siswi untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
  4. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa/siswi.
  5. Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa/siswi yang diduga mengalami kesulitan belajar.

Secara umum, langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5 (tes IQ). Untuk keperluan tes IQ, guru dan orang tua siswa dapat berhubungan dengan klinik psikologi.

Cara Mengatasi Kesulitan Belajar

Psikologi behavioral memberikan sumbangan teori-teori penting untuk mengajar anak berkesulitan belajar. Pusat perhatian teori-teori ini terutama pada tugas-tugas yang diajarkan dan analisis perilaku yang dibutuhkan untuk mempelajari tugas-tugas tersebut. Pembelajaran yang bertolak dari teori ini kadang-kadang disebut pembelajaran langsung direct instruction, tetapi ada pula yang menyebut belajar tuntas (mastery learning), pengajaran terarah (directed teaching), analisis tugas (task analysis), atau pengajaran keterampilan berurutan (sequential skills teaching).

Suatu rekomendasi yang didasarkan atas teori behavioral adalah bahwa guru hendaknya lebih memusatkan perhatian pada keterampilan-keterampilan akademik yang diperlukan oleh anak dari pada memusatkan pada kekurangan yang menghambat anak untuk belajar (Nurjan, 2016, hlm. 174).

Apabila siswa/siswi yang mengalami kesulitan belajar itu ber-IQ jauh di bawah normal (tuna grahita), orang tua hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/sekolah biasa tidak menyediakan tenaga pendidik dan kemudahan belajar khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Telah banyak ahli yang mengemukakan faktor-faktor penyebab kesulitan belajar dengan sudut pandang mereka masing-masing. Salah satu di antaranya adalah menurut Syah (dalam Asrori, 2020, hlm. 95), yang berpendapat bahwa faktor internal yang menyebabkan kesulitan belajar meliputi gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik peserta didik seperti:

  1. Bersifat kognitif (ranah cipta),
    yaitu antara lain rendahnya kapasitas intelektual atau intelegensi peserta didik.
  2. Bersifat afektif (ranah rasa),
    yaitu meliputi labilnya emosi, minat dan sikap peserta didik.
  3. Bersifat psikomotorik,
    yaitu terganggunya alat-alat indera penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga).

Sementara itu faktor eksternal yang dapat menyebabkan kesulitan belajar siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar peserta didik. Faktor ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

  1. Lingkungan sekolah,
    contohnya kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat belajar yang berkualitas rendah.
  2. Lingkungan keluarga,
    contohnya ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
  3. Lingkungan masyarakat,
    contohnya wilayah kumuh dan teman sepermainan (Syah dalam Asrori, 2020, hlm. 95).

Indikator Kesulitan Belajar

Indikator Kesulitan Belajar Siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah siswa yang tidak dapat belajar secara wajar karena adanya suatu gangguan dan hambatan yang dialami sehingga tidak dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Arifin, (2016, hlm. 306) mengemukakan beberapa indikator untuk menentukan kesulitan belajar siswa yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Peserta didik tidak dapat menguasai materi pelajaran sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
  2. Peserta didik memperoleh peringkat hasil belajar yang rendah dibandingkan dengan peserta didik lainnya dalam satu kelompok.
  3. Peserta didik tidak dapat mencapai prestasi belajar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
  4. Peserta didik tidak dapat menunjukkan kepribadian yang baik, seperti kurang sopan, membandel, dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Sementara itu Sugihartono, (2012, hlm. 154) mengemukakan ciri-ciri gejala, atau indikator siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah sebagai berikut.

  1. Prestasi belajar rendah artinya skor yang diperoleh di bawah skor rata-rata kelompoknya.
  2. Usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar tidak sebanding dengan hasil yang dicapai.
  3. Lamban dalam mengerjakan tugas dan lambat dalam menyelesaikan atau menyerahkan tugas.
  4. Sikap acuh dalam mengikuti pelajaran dan sikap kurang wajar lainya.
  5. Menunjukkan perilaku menyimpang dari perilaku temanya yang seusia, misalnya suka membolos, enggan mengerjakan tugas, tidak dapat kerja sama dengan temanya, terisolir, tidak dapat konsentrasi,tidak punya semangat dan sebagainya.
  6. Emosional, misalnya mudah tersinggung, mudah marah, pemurung merasa rendah diri, dan sebagainya.

Referensi

  1. Arifin, Z. (2016). Evaluasi pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  2. Asrori. (2020). Psikologi pendidikan pendekatan multidisipliner. Banyumas: Pena Persada.
  3. Nurjan, Syarifan. (2016). Psikologi Belajar. Ponorogo: Wade Group.
  4. Sugihartono. (2012). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *