Pengertian Majas Metafora

Majas metafora adalah gaya bahasa yang menggunakan kata pembanding untuk mewakili hal lain yang sebenarnya ingin diungkapkan. Pembanding yang dapat digunakan mulai dari bandingan benda fisik, sifat, ide, atau perbuatan lain. Contohnya adalah: “Aku ini binatang jalang”.

Tentunya “Aku” bukanlah seekor binatang, namun seorang insan manusia. Namun beginilah bagaimana metafora diaplikasikan. Ia membandingkan dirinya sendiri dengan binatang yang merupakan makhluk yang tidak seperti pemikiran dan emosi manusia.

Berarti, “Aku” melucuti kemanusiaannya, seakan bukan lagi seorang insan, hina, tidak memiliki derajat yang sama dengan manusia. Sementara “Jalang” hanyalah penguatan untuk memastikan keelokan dan keindahan binatang tidak menjadi pembanding di dalamnya.

Bayangkan bagaimana kalau potongan larik puisi Chairil Anwar di atas menggunakan kalimat eksplisit atau apa adanya. Maka larik tersebut akan berbunyi “Aku ini seorang manusia yang hina dan tidak tahu malu”. Betapa tidak efektif dan lemahnya larik tersebut. Bahkan untuk dijadikan potongan monolog drama saja sudah terlalu klise dan kurang menggoda daya estetis kita.

Oleh karena itu, metafora dapat menambahkan efek dramatis pada kalimat. Sehingga, ide klise untuk merendahkan diri sendiri seperti ini terasa lebih kuat. Kekuatan atau efek dramatis yang dihasilkan oleh metafora terletak pada kontras perbandingan yang dilakukan.

Perbedaan Metafora dan Simile

Tarigan (2013, hlm. 15) Mengatakan bahwa metafora adalah pemakaian kata-kata tanpa arti sebenarnya, melainkan sebagai gambaran yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Di dalamnya terdapat perbandingan singkat yang tersusun rapi untuk menghasilkan makna yang lain.

Namun, metafora adalah perbandingan yang implisit dan tidak langsung mengatakan bahwa Aku tampak seperti monyet, atau kamu bagaikan bidadari. Perbandingan seperti itu adalah majas simile, bukan metafora.

Metafora akan langsung menyebut subjek yang dibandingkan sebagai bidadari, tanpa kata penunjuk seperti: bagaikan,  tampak, bak, dsb.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Nurgiantoro (2017, hlm. 227) yang mengungkapkan bahwa metafora adalah bentuk perbandingan antara dua hal berupa benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan lain yang bersifat implisit, hubungan antar keduanya bersifat sugesti tanpa kata penunjuk perbandingan.

Jadi, sederhananya, perbedaan metafora dan simile terletak pada penggunaan kata penunjuk. Simile akan menggunakan kata penunjuk: bagaikan, tampak, bak, seperti, dsb, sementara metafora tidak menggunakan.

Metafora: Aku ini binatang jalang.

Simile: Aku ini bagaikan binatang jalang.

Jenis Majas Metafora

Melanjutkan penjelasannya mengenai metafora, Nurgiantoro (2017) membagi metafora menjadi tiga jenis pembanding. Berikut adalah penjelasannya.

  1. Metafora Eksplisit (In Praesetia)
    Merupakan pembanding tiga hal yang ditunjukkan secara jelas untuk pembandingnya. Contohnya: Aku adalah burung yang ingin terbang bebas di angkasa. Jelas-jelas bahwa ia mengibaratkan atau membandingkan dirinya dengan
  2. Metafora Implisit (In Absentia)
    Yaitu pembanding yang tidak ditunjukkan langsung tetapi menggunakan kata yang tersembunyi. Contohnya adalah: Sayapku patah, namun terbang bukanlah pilihan. Daripada dengan gamblang (eksplisit) menyebutkan burung, majas menggunakan sayap dan terbang sebagai penunjuk secara tidak langsung terhadap perbandingan dirinya dengan burung.
  3. Metafora Usang
    Merupakan ungkapan perbandingan yang sudah lazim untuk digunakan dan telah banyak dipahami maknanya oleh masyarakat luas tanpa harus berpikir lama. Contohnya: Aisyah adalah kembang desa di kampung itu.

Contoh Majas Metafora

Berikut adalah berbagai contoh majas metafora yang menggunakan berbagai jenis perbandingan, tema dan penggunaan yang berbeda.

  1. Sayapku patah, namun terbang bukanlah pilihan; hidup dan mati.
  2. Aku mengental dalam tarianmu pada kapal-kapal kaku.
  3. Tikus-tikus itu tak kenal lelah menggerogoti nafkah rakyatnya.
  4. Engkau adalah hamparan ilalang bagi hembusan nafasku.
  5. Raja kelana berbisik kepadaku untuk pulang.
  6. Kembang-kembang bertumbuhan di dadaku ketika kau menyapa.
  7. Ombak badai menghantam kepalaku saat ia berteriak.
  8. Malaikat itu perlahan mengusap kepalaku yang bersimbah darah.
  9. Aku terdaging di puncak-puncak kediaman hening, mengeras dalam hujan panjang.
  10. Pengacara itu adalah harimau di antara kancil-kancil yang hanya pandai untuk meloncat.

Referensi

  1. Nurgiyantoro, Burhan. (2017). Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  2. Tarigan, Henry Guntur. (2013). Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *