Sejarah manajemen sejatinya dapat dilihat dari perkembangan manusia sendiri. Misalnya, manajemen sebenarnya lahir dari sejak manusia melakukan kegiatan pengaturan diri, keluarga dan kelompoknya untuk sesuatu tujuan yang diinginkannya. Tujuan tersebut dapat berupa seni atau keindahan, pencapaian suatu materi atau juga keberlangsungan hidupnya. Dalam contoh kecil tersebut, sudah tampak bahwa agar kehidupannya berlangsung dengan baik maka dibutuhkan pengelolaan yang apik.

Mempelajari sejarah manajemen sangat penting bagi kita untuk dapat memperoleh gambaran tentang bagaimana manajemen itu telah berlangsung pada masa lalu, bagaimana kemudian manajemen tersebut berkembang, prinsip-prinsip apa yang dikembangkan pada masa lalu dan bagaimana manajemen tersebut berlangsung dewasa ini.

Pada akhirnya kita harus pula mempelajari dan mengantisipasi perkembangan di masa mendatang yang tentu saja juga akan menentukan arah pertumbuhan manajemen itu sendiri. Dengan mengetahui arah perkembangan manajemen tersebut maka kita juga akan dapat mempersiapkan diri kita untuk membekali diri kita masing-masing dengan keterampilan-keterampilan manajerial yang diperlukan di masa mendatang. Berikut adalah berbagai pemaparan mengenai sejarah perkembangan manajemen.

Sejarah Perkembangan Manajemen

Sejarah perkembangan manajemen tidak jauh berbeda dengan perkembangan manusia itu sendiri. Artinya, bahwa manajemen telah berlangsung sejak manusia itu berada di bumi ini, seiring dengan perkembangan dan tuntutan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada zaman purba atau zaman batu, manusia juga menggunakan keterampilan dan keahliannya untuk membuat alat-alat dari batu guna merealisasikan tujuan hidupnya.

Pada abab-abad yang lalu misalnya, banyak karya besar manusia yang sampai saat ini dapat dinikmati oleh manusia sekarang. Contohnya, bagaimana kita mengenal Candi Borobudur di Indonesia. Karya besar tersebut lahir pada saat ilmu dan teknologi belum begitu berkembang. Untuk membangun candi tersebut diperlukan beratus-ratus hingga ribuan orang membantu pekerjaan pembangunan candi tersebut.

Dahulu tidak dikenal yang namanya semen untuk menyatukan satu batu atau bata dengan batu atau bata lainnya, konon pada saat itu digunakan perekat dari putih telur ayam. Dengan kata lain untuk menyusun bangunan tersebut diperlukan berjuta-juta telur ayam. Pekerjaan besar ini membutuhkan keterampilan manajemen yang tinggi, yaitu bagaimana mengelola ribuan orang yang bekerja serta pengalokasian sumber daya lainnya.

Dahulu keterampilan dan keahlian masih sederhana, sedangkan sekarang akibat perkembangan teknologi dan informasi, keterampilan dan keahlian orang-orang meningkat dengan pesatnya. Dengan adanya fasilitas internet misalnya, kejadian di suatu negara bisa dengan cepat dilihat atau didengar oleh penduduk negara lain yang memiliki jarak yang sangat jauh dari negara yang dimaksud, bahkan hingga ke pelosok-pelosok desa dan kampung.

Manajemen kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan keahlian serta pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh manusia itu. Pengetahuan serta teknologi (IPTEK) terus tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan itu sekaligus juga mengembangkan keterampilan manajemen umat manusia.

Evolusi Teori Manajemen

Daft (2003 dalam Krisnandi dkk, 2019, hlm. 18) menyatakan bahwa perspektif sejarah terhadap manajemen mencerminkan perspektif atau lingkungan untuk menerjemahkan peluang dan masalah yang timbul. Meskipun demikian, sejarah tidak hanya menyusun peristiwa dalam suatu urutan secara kronologis, tetapi juga mengembangkan suatu pemahaman mengenai dampak dari suatu kekuatan sosial terhadap suatu organisasi.

Mempelajari sejarah merupakan suatu cara untuk menciptakan pemikiran yang strategis, melihat gambaran yang luas dan benar, serta memperbaiki keterampilan konseptual. Kekuatan sosial itu sendiri mengacu pada berbagai aspek budaya yang turut mempengaruhi hubungan antar-orang. Kekuatan orang ini membentuk apa yang dikenal sebagai kontrak sosial, yang merupakan aturan dan persepsi umum tidak tertulis mengenai hubungan antar orang dan antar karyawan dengan manajemen.

Teori itu sendiri merupakan asumsi-asumsi yang saling berhubungan dan diungkapkan dalam rangka menjabarkan suatu keterkaitan di antara berbagai fakta yang bisa diobservasi. Misalnya apabila cuaca sore hari mendung, maka malam hari atau sebentar lagi hujan akan turun. Kalimat ini merupakan sebuah hipotesis atau dugaan sementara, dan apabila berdasarkan penelitian ternyata mendukung hipotesis yang dibuat, maka hipotesis tersebut menjadi sebuah teori.

Gerakan manajemen ilmiah sebenarnya telah dimulai sekitar akhir abad yang lalu, di mana para insinyur Amerika Serikat dan Eropa mencari dan mengembangkan cara-cara baru untuk mengelola suatu perusahaan. Beberapa variabel yang diperhatikan dalam manajemen ilmiah adalah sebagai berikut.

  1. Pentingnya peranan manajer dalam menggerakkan dan meningkatkan produktivitas perusahaan.
  2. Pengangkatan dan pemanfaatan tenaga kerja dengan persyaratan-persyaratannya.
  3. Tanggung jawab kesejahteraan pegawai/karyawan.
  4. Kondisi yang cukup untuk meningkatkan produktivitas kerja.

Berbagai kegiatan dalam jejak rekam sejarah, di mana variabel-variabel di atas diperhatikan dapat dikatakan sebagai aktivitas manajemen. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah beberapa kronologis sejarah perkembangan ilmu manajemen menurut perintisnya.

Aliran-Aliran Manajemen

Pada sekitar abad ke-17 terjadi perubahan besar dalam bidang produksi. Barang-barang konsumsi dapat dihasilkan dalam jumlah yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Peningkatan produksi barang ini disebabkan banyak ditemukan peralatan-peralatan pengolahan barang. Pada saat itu peran tenaga kerja dapat sebagian telah digantikan dengan mesin-mesin baru.

Aliran Manajemen Ilmiah

Manajemen ilmiah lahir seiring dengan perkembangan teknologi yang dihasilkan oleh para ahli teknik yang bekerja pada perusahaan-perusahaan besar di Eropa dan Amerika Serikat. Pada masa ini dikenal oleh kalangan usahawan sebagai revolusi industri. Para insinyur di Eropa dan Amerika Serikat berupaya untuk mengembangkan berbagai cara baru untuk mengelola perusahaan. Teori Manajemen Ilmiah itu sendiri dikembangkan berkat adanya kebutuhan terhadap peningkatan produktivitas. Dalam hal ini, produktivitas dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan efisiensi pekerja. Beberapa variabel dalam manajemen ilmiah dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

  1. Peningkatan produktivitas perusahaan.
  2. Pemanfaatan tenaga kerja beserta persyaratannya.
  3. Peningkatan kesejahteraan karyawan.
  4. Lingkungan yang baik untuk peningkatan produktivitas kerja.

Tokoh-tokoh yang memberikan sumbangan terhadap manajemen ilmiah di antaranya adalah sebagai berikut.

Robert Owen (1771-1858)

Robert Owen merupakan manajer dari beberapa pabrik pemintal kapas di New Lanark, Scotlandia sejak tahun 1800-an. Dalam teorinya, Owen menekankan peranan sumber daya manusia sebagai kunci kesuksesan dari suatu perusahaan (Krisnandi dkk, 2019, hlm. 19). Sebagai perintis manajemen ilmiah, Owen melihat pada saat itu kondisi kerja dan kehidupan pekerja di pabrik-pabriknya sangatlah buruk, di mana banyak anak-anak di bawah umur sudah dipekerjakan, serta jam kerja yang melebihi kemampuan pekerja untuk melakukannya.

Owen kemudian menerapkan kebijakan untuk membatasi usia kerja seseorang yang bekerja di pabriknya di atas 10 tahun, dan menolak pekerja di bawah 10 tahun. Di samping itu, Owen juga menetapkan suatu prosedur kerja yang mampu meningkatkan produktivitas kerja, selanjutnya juga menetapkan kebijakan insentif agar kesejahteraan karyawan meningkat.

Charles Babbage (1792-1871)

Charles Babbage merupakan profesor matematika yang sering memperhatikan berbagai cara kerja di pabrik. Ia beranggapan bahwa pengaplikasian berbagai prinsip ilmiah pada serangkaian proses pekerjaan akan mampu meningkatkan produktivitas kerja dan lebih efisien. Babbage menganjurkan bahwa setiap pekerjaan dapat dibagi ke dalam berbagai macam keterampilan, sehingga pekerja dapat dilatih dengan keterampilan tertentu yang spesifik.

Dengan demikian, pekerja hanya dituntut untuk bertanggung jawab atas tugas pekerjaannya sendiri. Tugas pekerjaan yang dilakukan secara berulang-ulang dapat meningkatkan keterampilannya, sehingga produktivitas dan efisiensi dapat dicapai perusahaan.

Frederick Wilson Taylor (1856-1915)

Taylor adalah seorang manajer pabrik di Amerika Serikat yang melakukan penelitian mengenai studi waktu kerja (time and motion studies) di bagian produksi. Dengan studi waktu sebagai dasarnya, Taylor mampu memecah setiap pekerjaan ke dalam berbagai komponen dan merancang cara kerja yang terbaik dan tercepat untuk setiap pekerjaan tersebut. Dalam penelitian tersebut ditentukan berapa kemampuan pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan menggunakan bahan dan alat yang tersedia di dalam perusahaan.

Menurut Taylor, manajemen memiliki empat prinsip berikut.

  1. Perkembangan manajemen ilmiah yang riil.
    Prinsip ini merupakan metode terbaik untuk melaksanakan setiap tugas dapat ditentukan. Kembangkanlah sebuah ilmu bagi setiap unsur pekerjaan seseorang yang akan menggantikan metode kaidah ibu jari yang lama.
  2. Seleksi ilmiah pekerja.
    Dalam hal ini, setiap pekerja dipertanggungjawabkan tugas yang dinilai paling sesuai untuknya. Para pekerja tersebut perlu dipilih secara ilmiah untuk kemudian dilatih dan dikembangkan potensi dan keterampilannya.
  3. Pendidikan dan pengembangan ilmiah.
    Manajemen perlu bekerja sama dengan para pekerja secara sungguh-sungguh dalam rangka memastikan bahwa setiap pekerjaan dijalankan sesuai dengan prinsip ilmu yang telah dikembangkan sebelumnya.
  4. Kerja sama pribadi yang bersahabat antara manajemen dan tenaga kerja.
    Pekerjaan beserta tanggung jawabnya perlu dibagi rata di antara pimpinan dan bawahan. Manajemen perlu mengambil alih berbagai pekerjaan yang dinilai lebih tepat untuknya daripada untuk bawahannya (Krisnandi dkk, 2019, hlm. 21).

Frank B. Gilberth (1968-1924) dan Lillian M. Gilberth (1878-1972)

Frank dan Lillian adalah pasangan suami istri yang memberikan kontribusi bagi gerakan manajemen ilmiah. Mereka bekerja sama dalam mempelajari kelelahan dan gerakan serta berfokus pada cara untuk mendorong kesejahteraan masyarakat. Bagi Frank dan Lillian, manajemen ilmiah ditujukan untuk membantu karyawan dalam mencapai potensinya secara utuh sebagai manusia.

Frank berpendapat bahwa gerakan dan kelelahan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Selain itu, setiap gerakan yang dihilangkan juga akan menimbulkan suatu kelelahan. Sedangkan Lillian menyatakan bahwa gerakan yang efektif dapat mengurangi kelelahan. Dengan kata lain hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa gerakan yang efektif akan menyemangati kerja karyawan.

Herrington Emerson (1853-1931)

Menurut Emerson, pemborosan merupakan penyakit yang merintangi manajemen. Oleh sebab itu, Emerson merumuskan beberapa prinsip berikut.

  1. Perumusan tujuan yang jelas.
  2. Pelaksanaan kegiatan yang logis.
  3. Penyediaan staf yang terampil.
  4. Penciptaan kedisiplinan kerja.
  5. Pemberian imbal jasa yang adil.
  6. Pelaporan yang cepat, tepat, terpercaya, dan kontinu.
  7. Penginstruksian dan perencanaan dari urutan kerja.
  8. Adanya standar, metode, skedul dan waktu di setiap kegiatan.
  9. Adanya kondisi yang standar.
  10. Adanya operasi yang standar.
  11. Adanya instruksi praktis yang standar secara tertulis.
  12. Adanya balas jasa efisiensi dan rencana insentif.

Aliran Manajemen Klasik

Aliran manajemen klasik (teori administrasi klasik) dikenal dengan fokus pada kebutuhan menyistemisasikan kegiatan manajemen. Berikut adalah beberapa tokoh yang  turut berkontribusi pada teori manajemen klasik.

Henry Fayol (1841-1925)

Henry Fayol merupakan industrialis Prancis yan sering disebut sebagai bapak aliran manajemen klasik karena upaya menyistematisasi studi manajerial. Pokok pikirannya ditulis dalam bukunya yang berjudul General and Industrial Management. Menurut Fayol, praktik manajemen dapat dikelompokkan dalam beberapa pola yang dapat diidentifikasi dan dianalisis. Selanjutnya, analisis tersebut dapat diajarkan kepada manajer lain atau calon manajer.

Fayol membagi kegiatan bisnis dalam enam kegiatan pokok yang saling berkaitan.

  1. Teknis, memproduksi produk;
  2. Komersial, membeli bahan baku dan menjual produk;
  3. Keuangan, mencari dan menggunakan dana;
  4. Keamanan, menjaga karyawan dan kekayaan perusahaan;
  5. Akuntansi , mencatat dan mengukur transaksi; dan
  6. Manajemen.

Max Weber (1864—1920)

Max Weber merupakan ahli sosiologi Jerman yang mengembangkan teori birokrasi. Menurutnya, suatu organisasi yang terdiri atas ribuan anggota membutuhkan aturan yang jelas untuk anggota organisasi tersebut. Adapun organisasi yang ideal adalah birokrasi saat aktivitas dan tujuan diturunkan secara rasional dan pembagian kerja disebutkan dengan jelas. Birokrasi didasarkan pada aturan yang rasional dan yang dapat dipakai untuk mendesain struktur organisasi yang efisien. Keahlian teknis dan evaluasi berdasarkan prestasi ditekankan.

Model birokrasi Weber dipakai untuk memahami pengelolaan organisasi besar, seperti perusahaan multinasional yang mempunyai karyawan ribuan orang. Perhatikan bahwa birokrasi Weber berlainan dengan pengertian birokrasi populer. Orang cenderung mengartikan kata birokrasi dengan konotasi negatif, yaitu organisasi yang lamban dan tidak responsif terhadap perubahan.

Mary Parker Follet (1868-1933)

Follet mengemukakan pemahaman mengenai kelompok dan tingginya komitmen terhadap kerja sama antarmanusia. Menurut Follet, kelompok ialah suatu mekanisme di mana berbagai individu dapat mengkombinasikan bakatnya untuk mencapai sesuatu yang baik. Menurutnya, organisasi merupakan komunitas tempat manajer dan karyawan bekerja secara harmonis tanpa adanya dominasi dari salah satu pihak terhadap pihak lainnya, serta dapat menyelesaikan berbagai perbedaan dan konflik yang timbul melalui diskusi. Follet beranggapan bahwa manajer bertugas untuk membantu karyawan agar saling bekerja sama dalam rangka mencapai berbagai kepentingan yang terintegrasi. Menurut Follet, tanggung jawab kolektif dapat ditimbulkan oleh upaya membuat karyawan merasa memiliki perusahaan.

Chester I. Barnard (1886-1961)

Menurut Chaster, organisasi ialah sistem kegiatan yang diarahkan ke tujuan. Chaster mengemukakan bahwa manajemen memiliki dua fungsi utama, yaitu merumuskan tujuan dan mengadakan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapainya. Barnard memandang pentingnya komunikasi dalam mencapai tujuan bersama. Berdasarkan teori penerimaan pada wewenang yang dikemukakannya, bawahan hanya akan menerima perintah jika mampu, memahami dan berkeinginan untuk menuruti pimpinannya.

Aliran Hubungan Manusiawi

Perkembangan lanjutan dalam manajemen kembali dimulai pada 1930 dan popular sejak 1950-an, yakni berupa manajemen yang memperhatikan karyawannya. Pandangan ini timbul dari berbagai kelemahan manajemen klasik yang berorientasi pada tugas dan menimbulkan stres serta pelambatan dan penurunan produktivitas akibat monotonnya pekerjaan.

Aliran Hubungan manusiawi (human relations) pada umumnya mengacu pada suasana kerja yang berasal dari hubungan antara manajer dan karyawan. Jika hubungan manusia pada suatu organisasi efektif, suasana kerja akan mendorong semangat kerja dan keharmonisan suasana kerja. Efektivitas kerja diharapkan akan terjadi dari suasana kerja atau hubungan manusiawi yang baik.

Studi Hawthorne

Studi Hawthorne dilakukan di pabrik Western Electric Company dari tahun 1924—1933 di Hawthorne, dekat Chicago, Amerika Serikat. Studi disponsori oleh General Electric, Co. Studi tersebut bertujuan melihat pengaruh tingkat cahaya penerangan di tempat kerja terhadap produktivitas. Pada mulanya, karyawan dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, yaitu tingkat penerangan diubah-ubah. Kelompok kedua merupakan kelompok pengendali (control group). Cahaya penerangan untuk kelompok kedua tidak diubah-ubah.

Ketika tingkat cahaya penerangan dinaikkan, ada kenaikan produktivitas pada kelompok pertama meskipun polanya tidak menentu. Ketika tingkat penerangan diturunkan, produktivitas tetap cenderung naik. Bahkan, produktivitas pada kelompok pengendali, yaitu tingkat penerangan tidak diubah, menunjukkan kecenderungan kenaikan produktivitas. Hasil seperti itu tentu saja membingungkan.

Pada eksperimen selanjutnya, sekelompok pekerja ditempatkan di tempat terpisah. Beberapa variabel yang berkaitan diubah-ubah, seperti upah, lamanya waktu istirahat, dan hari kerja diperpendek. Bahkan, pekerja diperbolehkan memberi saran/usulan perubahan. Hasil yang diperoleh tetap membingungkan. Produktivitas cenderung naik meskipun tidak teratur polanya. Elton Mayo (1880—1949) bersama beberapa koleganya, seperti Fritz J. Roethlisberger dan William J. Dickson, kemudian masuk dalam tim penelitian.

Mereka kemudian mengambil kesimpulan bahwa kenaikan produktivitas tersebut terjadi karena kelompok kerja yang dijadikan studi dan juga kelompok kendali merasa menjadi perhatian. Akibatnya, mereka termotivasi untuk bekerja lebih baik. Para peneliti sampai pada kesimpulan bahwa perhatian manajemen dapat meningkatkan semangat kerja karyawan. Gejala seperti itu kemudian sering disebut sebagai efek Hawthorne (Hawthorne effect).

Sumbangan dan keterbatasan pendekatan hubungan manusiawi

Aliran hubungan manusiawi menyadarkan pentingnya kebutuhan sosial. Dengan demikian, aliran ini menyeimbangkan konsep lama yang menekankan ekonomi/rasionalitas manusia. Suasana kerja menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Pelatihan-pelatihan yang kemudian banyak memfokuskan pada upaya memperbaiki hubungan kerja antara manajer dan karyawan. Aliran ini memelopori studi baru dalam bidang dinamika kelompok, yaitu perhatian ditujukan tidak hanya pada individu, tetapi juga pada proses dan dinamika kelompok. Teori ini selanjutnya menginspirasi para ilmuwan perilaku manusia seperti Agryris, Maslow, dan McGregor untuk mengkaji motivasi secara lebih dalam.

Sementara itu, keterbatasan dari teori hubungan manusia antara lain konsep makhluk sosial yang tidak secara lengkap menggambarkan individu di tempat kerjanya. Di samping itu, perbaikan kondisi dan kepuasan kerja karyawan tidak mampu meningkatkan produktivitas sesuai harapan. Selain lingkungan sosial di tempat kerja, upah, menariknya pekerjaan, struktur organisasi dan hubungan perburuhan juga berperan dalam mempengaruhi produktivitas.

Aliran Manajemen Modern

Aliran manajemen modern di dasari oleh asumsi bahwa manusia memiliki berbagai kebutuhan dan mengalami perubahan yang cepat, sehingga tidak ada pendekatan yang bisa digunakan pada kondisi tersebut (Krisnandi, dkk, 2019, hlm. 25). Akan tetapi, pendekatan ini tetap mengakui gagasan teori manajemen klasik dan sumber daya manusia. Pada dasarnya, manajemen modern dibangun berdasarkan dua konsep utama, yakni teori perilaku organisasi dan manajemen kuantitatif.

Pemikiran pokok dari Teori Perilaku adalah sebagai berikut

  1. Organisasi merupakan suatu keseluruhan dan pendekatan manajer untuk melakukan pengawasan yang harus disesuaikan dengan kondisi yang ada.
  2. Diperlukan pendekatan motivasional untuk membangun komitmen pekerja terhadap tujuan organisasi.
  3. Diperlukan manajemen yang sistematik dengan pendekatan yang didasarkan pada berbagai pertimbangan yang relevan.
  4. Manajemen teknik dapat dinilai sebagai suatu proses teknik mengenai peranan prosedur dan prinsip yang dijalankan secara ketat.

Sementara itu pendekatan kuantitatif meyakini bahwa pokok masalah perlu diidentifikasi dengan riset ilmiah dan operasional, serta teknik ilmiah lainnya seperti perencanaan program, capital budgeting, pengembangan sumber daya manusia, dan sebagainya. Pendekatan-pendekatan tersebut dinamakan pendekatan ilmu manajemen (science management), yakni pendekatan dengan prosedur sebagai berikut.

  1. Perumusan masalah.
  2. Penyusunan model matematis.
  3. Penyelesaian model.
  4. Penganalisisan model dan hasil dari model tersebut.
  5. Pengawasan terhadap hasil.
  6. Pengimplementasian kegiatan.

Pendekatan Sistem Manajemen

Pendekatan Sistem Sistem dapat diartikan sebagai gabungan sub-subsistem yang saling berkaitan. Organisasi sebagai suatu sistem akan dipandang secara keseluruhan, terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan (subsistem), dan sistem/organisasi tersebut akan berinteraksi dengan lingkungan. Pandangan yang menyeluruh semacam itu akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan pandangan yang terisolasi.

Pendekatan Kontingensi (Situasional)

Pada nyatanya, tidak ada teori (manajemen) yang dapat diberlakukan di semua situasi karena setiap organisasi mempunyai karakteristik yang berbeda. Agar dapat menyesuaikan respon manajerial dengan permasalahan dan peluang yang ada di berbagai kondisi, perlu diterapkan pendekatan kontingensi. Pendekatan ini akan membantu manajer dalam memahami berbagai perbedaan situasional dan meresponnya secara tepat.

Pendekatan kontingensi banyak digunakan di berbagai bidang dan fungsi organisasi, mulai dari pemasaran, strategi, kepemimpinan, motivasi, hingga penetapan keputusan. Berdasarkan hal tersebut, pendekatan kontingensi melihat berbagai permasalahan dengan memasukkan unsur lingkungan. Perubahan lingkungan yang cepat akan membuat manajer kesulitan dalam mengambil suatu keputusan yang tepat.

Pendekatan kontigensi memberikan “resep praktis” terhadap persoalan manajemen. Tidak mengherankan pendekatan ini dikembangkan manajer, konsultan, atau peneliti yang banyak berkecimpung dengan dunia nyata. Pendekatan ini menyadarkan manajer bahwa kompleksitas situasi manajerial membuat manajer lebih fleksibel atau sensitif dalam memilih teknik-teknik manajemen yang terbaik berdasarkan situasi yang ada.

Keterlibatan Dinamik

Dunia telah berubah secara dramatis selama beberapa dekade, dan organisasi mencoba berbagai metode baru manajemen yang cenderung akan lebih mampu merespons permintaan lingkungan dan konsumen saat ini. Keterlibatan dinamik merupakan sebuah pendekatan baru yang melihat perubahan keadaan global dengan semangat pemikiran baru. Dinamik mencerminkan perubahan, pertumbuhan dan kesinambungan, sedangkan keterlibatan mencerminkan keterlibatan intensif dengan orang lain. Berdasarkan hal tersebut, keterlibatan dinamik menggambarkan upaya bersemangat para manajer dalam berfokus pada hubungan manusiawi dan beradaptasi dengan perubahan kondisi dengan cepat.

Pendekatan Hubungan Manusiawi Baru (Neohuman Relation)

Pendekatan ini berusaha mengintegrasikan sisi positif manusia dan manajemen ilmiah. Pendekatan ini dimulai pada tahun 1950-an dan memperoleh momentum pada tahun 1960-an. Pendekatan perilaku mengatakan bahwa manusia berusaha mengaktualisasikan dirinya. Pendekatan hubungan manusiawi baru melangkah lebih lanjut. Mereka melihat bahwa manusia merupakan makhluk yang emosional, intuitif, dan kreatif. Dengan memahami kedudukan manusia tersebut, prinsip manajemen dapat dikembangkan lebih lanjut.

Beberapa nama dapat disebutkan mewakili aliran ini. W. Edward Deming mengembangkan prinsip-prinsip manajemen, seperti Fayol, yang berfokus pada kualitas kerja dan hubungan antarkaryawan. Prinsip manajemen tersebut dipercaya membantu Jepang meningkatkan kualitas produk mereka. William Ouchi pada tahun 1981 menerbikan buku berjudul Theory ZHow American Business Can Meet the Japanese Challenge. Buku tersebut mencoba menggabungkan manajemen gaya Amerika Serikat (tipe A) dengan gaya Jepang (tipe J). Menurutnya, dua tipe perusahaan berbeda dalam tujuh hal, yakni sebagai berikut.

  1. jangka waktu ikatan kerja,
  2. cara pengambilan keputusan,
  3. lokasi tanggung jawab,
  4. jangka waktu evaluasi dan promosi,
  5. mekanisme pengendalian,
  6. spesialisasi karier, dan
  7. perhatian terhadap karyawan.

Referensi

  1. Krisnandi H., Efendi S., Sugiono E. (2019). Pengantar manajemen. Jakarta: LPU-UNAS.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *