Pengertian Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum adalah bagian dari sosiologi sukma manusia yang menelaah kenyataan sosial sepenuhnya dari hukum, diawali dengan pernyataan yang konkret yang dapat diperiksa dari luar, dalam kelakuan kolektif yang efektif dalam dasar materinya (Gurvitch, dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 5). Artinya, sosiologi hukum menafsirkan kelakuan dan manifestasi material hukum menurut makna batinnya, seraya mengilhami dan meresapi, sementara itu pun untuk sebagian diubahnya.

Laksana, dkk (2017, hlm. 8) sendiri berpendapat bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Sementara itu, menurut Soekanto (dalam Solikin, 2022, hlm. 5) sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisa atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala lainnya. Sedangkan menurut Raharjo (dalam Solikin, 2022, hlm. 5) sosiologi hukum adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosial.

Lebih lanjut Meuwissen (dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 5) berpendapat bahwa sosiologi hukum menjelaskan hukum positif yang berlaku (artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat) dengan bantuan faktor kemasyarakatan. Sedangkan Johnson (dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 5) mengemukakan bahwa sosiologi hukum adalah bagian dari sosiologi jiwa manusia, yang menelaah sepenuhnya realitas sosial hukum dimulai dari hal-hal yang nyata, seperti observasi perwujudan lahirlah dalam kebiasaan-kebiasaan kolektif yang efektif (organisasi-organisasi yang baku, adat istiadat sehari-hari dan tradisi-tradisi atau kebiasaan inovatif) dan juga dalam materi dasarnya (struktur ruang dan kepadatan lembaga-lembaga hukumnya secara demografis).

Dapat disimpulkan bahwa sosiologi hukum adalah cabang kajian sosiologi yang banyak memusatkan perhatiannya pada ihwal hukum, sebagaimana terwujud dari pengalaman kehidupan bermasyarakat sehari-hari (Laksana, dkk, 2017, hlm. 6).

Objek Sosiologi Hukum

Satjipto Rahardjo mengemukakan obyek yang menjadi sasaran studi sosiologi hukum yaitu mengkaji pengorganisasian sosial hukum. Obyek sasaran di sini adalah badan-badan yang terlibat dalam penyelenggaraan hukum, yaitu pembuat undang-undang, pengadilan, polisi dan advokat (Rahardjo, dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 8).

Hal yang sama di kemukakan oleh Apeldoorn bahwa sosiologi hukum mempergunakan hukum sebagai titik pusat penyelidikannya. Dengan berpangkal pada kaidah-kaidah yang diuraikan dalam undang undang, keputusan-keputusan pemerintah, peraturan-peraturan, kontrak, keputusan-keputusan hakim, tulisan-tulisan yang bersifat yuridis dan dalam sumber-sumber yang lain.

Sedangkan menurut Curzon (dalam Solikin, 2022, hlm. 13) sosiologi hukum, mempunyai objek kajian fenomena hukum yang didasarkan pada konsep hukum sebagai alat pengendalian sosial. Di situlah sosiologi hukum menyelidiki, adakah dan sampai di manakah kaidah-kaidah tersebut dengan sungguh-sungguh dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat, dengan perkataan lain sampai hingga mana hidup mengikutinya atau menyimpang daripadanya (Laksana, dkk, 2017, hlm. 9).

Apabila dijabarkan, yang menjadi objek sosiologi hukum adalah sebagai berikut.

  1. Sosiologi hukum mengkaji hukum dalam wujudnya atau Government Social Control. Dalam hal ini, sosiologi mengkaji seperangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan, guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
  2. Sosiologi hukum mengkaji suatu proses yang berusaha membentuk warga masyarakat sebagai makhluk sosial. Sosiologi hukum menyadari eksistensinya sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakat (Solikin, 2022, hlm. 14).

Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

Berbeda dengan kajian-kajian ilmu hukum murni yang sering disebut dengan Jurisprudence (Inggris) atau Reine Rechtslehre (Jerman). Sosiologi hukum tidak hendak membatasi kajian-kajian pada ikhwal kandungan normatif peraturan perundangan berikut sistematikanya dan doktrin-doktrin yang mendasarinya. Sosiologi hukum dapat dikatakan sebagai suatu cabang kajian khusus dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial yang disebut sosiologi.

Kalaupun sosiologi hukum juga mempelajari hukum sebagai perangkat kaidah khusus, yang dikaji bukanlah kaidah-kaidah itu sendiri, melainkan kaidah-kaidah positif dalam fungsinya yang diperlukan untuk menegakkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, Gurvitch (dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 5) membedakan sosiologi hukum atas beberapa bentuk dengan menggunakan ukuran ruang lingkup masalah yang dicakup sebagai berikut.

  1. Masalah sosiologi hukum sistematik (sistematic sociology of law), yang menelaah hubungan antara bentuk kemasyarakatan (forms of sociality) dengan jenis hukum (kinds of law).
  2. Masalah sosiologi hukum diferensial, yang menelaah manifestasi hukum sebagai suatu fungsi satuan kolektif yang nyata.
  3. Masalah sosiologi hukum genetik yang menelaah keteraturan sebagai tendensi dan faktor-faktor dari perubahan, perkembangan dan keutuhan hukum dalam satu tipe masyarakat tertentu.

Karakteristik Sosiologi Hukum

Menurut Rahardjo (dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 10) sosiologi hukum sebagai ilmu yang mempelajari fenomena hukum memiliki karakteristik studi secara sosiologis sebagai berikut.

  1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum. Apabila praktek itu dibedakan ke dalam pembuatan undang-undang, penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan, mengapa praktek yang demikian itu terjadi, sebab-sebanya, faktor-faktor apa yang mempengaruhinya, latar belakangnya dan sebagainya.
  2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pernyataan yang bersifat khas di sini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataan peraturan itu?”, “Apakah kenyataannya seperti yang tertera pada bunyi peraturan itu?”. Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sedang yang kedua senantiasa mengujinya dengan data (empiris).
  3. Sosiologi hukum tidak melakukan ”penilaian” terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan obyek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. perhatiannya yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap obyek yang dipelajarinya. Pendekatan yang demikian sering menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek-praktek yang menyimpang atau melanggar hukum. Sekali lagi dikemukakan di sini, bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitasnya semata-mata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.

Manfaat Sosiologi Hukum

Menurut Laksana, dkk (2017, hlm. 12) dari batasan, ruang lingkup, serta perspektif kajian sosiologi hukum, dapat ditarik beberapa manfaat yang dapat diberikannya sebagai berikut.

  1. Memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks sosial. Misalnya, kemampuan untuk memahami sampai sejauh manakah pengaruh timbal balik antara hukum sebagai kompleks daripada sikap-sikap atau prilaku, dengan perilaku-perilaku sosial lainnya dalam masyarakat.
  2. Mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum tertulis. Misalnya, bagaimana mengusahakan agar suatu undang-undang melembaga dalam masyarakat.
  3. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
  4. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.

Aliran Sosiologi Hukum

Kita dapat membedakan beberapa aliran dalam sosiologi hukum. Aliran tersebut muncul karena paradigma yang digunakan. Maka kendatipun pada dasarnya sama-sama berbagi pendekatan dan metode yang dipakai, yaitu optik sosiologis, tetapi aliran yang satu melakukan studi secara berbeda daripada yang lain. Terdapat dua aliran yang mengembangkan sosiologi hukum, yakni sebagai berikut.

Aliran Positif

Aliran Positif Aliran positif hanya membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara murni. Mereka tidak mau sedikit pun memasukkan ke dalam kajiannya hal-hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai, tujuan, maksud dan sebagainya.

Pada tahun 1972, Black menulis artikel “The Boundaries of Legal Sociology”. Tulisan tersebut menelaah apa yang sampai saat itu dilakukan dalam bidang sosiologi hukum di Amerika dan sekaligus menyatakan bagaimana hendaknya studi dalam bidang tersebut dilakukan. Artikel tersebut dapat dicatat sebagai pengumuman kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain (Rahardjo, dalam Laksana, 2017, hlm. 15).

Black (dalam Laksana, 2017, hlm. 15) mengungkapkan perihal terjadinya kekaburan antara ilmu (science) dan kebijaksanaan (policy) dalam sosiologi hukum. Kendati para sosiolog hukum saling mengkritik satu sama lain dalam penggunaan standar ilmu dan ketepatan metodologi serta validitas teori, tetapi menurut black, itu semua dilakukan dalam kerangka mendiskusikan atau meneliti masalah-masalah kebijaksanaan (policy implications).

Cara kerja seperti tersebut di atas sama sekali ditolak oleh Black, oleh karena telah memasukkan dan melibatkan (imparting) aspek-aspek yang bersifat kejiwaan, seperti emotion, indignation, dan personal involvement. Seorang sosiologi hukum tidak pantas berbicara mengenai sosiologi hukum sebagai seorang borjuis, liberal, pluralis atau melioris yang penting bukan pemihakan terhadap semua “isme” tersebut, melainkan berkonsentrasi kepada apa yang disebut Black sebagai style of discourse.

Selanjutnya, Black (dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 16) melanjutkan bahwa dalam ilmu hukum atau penggunaannya sehari-hari, hukum dilihat sebagai keharusan-keharusan yang mengikat. Sementara itu, sosiologi hukum harus membebaskan dirinya dari pemahaman seperti itu dan hanya melihat fakta, seperti putusan hakim, polisi, jaksa dan pejabat administratif.

Hanya fakta-fakta itulah yang menjadi urusan sosiologi hukum dan bukan bagaimana seharusnya suatu perilaku itu dijalankan menurut hukum. Suatu pendekatan sosiologi hukum yang murni terhadap hukum tidak melibatkan suatu penilaian terhadap kebijaksanaan hukum, melainkan pada analisis ilmiah kehidupan hukum sebagai suatu sistem perilaku (behavior).

Sosiologi hukum hanya berurusan dengan fakta yang dapat diamati (observable fact). Sosiologi hukum tidak memikirkan tentang adanya tujuan hukum, maksud hukum dan nilai hukum. Baginya, hukum adalah apa yang kita lihat dan terjadi dalam masyarakat. Sosiologi hukum bertolak dari amatan yang terjadi dalam masyarakat. Hukum menurut aliran sosiologi positif merupakan variabel kuantitatif (Anwar & Adang, dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 16).

Aliran Normatif

Aliran normatif pada dasarnya menyatakan bahwa hukum itu bukan hanya fakta yang teramati, tetapi juga suatu institusi nilai. Hukum mengandung nilai-nilai dan hukum bekerja untuk mengekspresikan nilai tersebut dalam masyarakat. Maka menjadi hilanglah dasar atau landasan yang hakiki bagi kehadiran hukum dalam masyarakat, apabila hukum itu tidak dapat dilihat sebagai institusi yang demikian itu.

Plilip Selznick, Jeromi Skolnick, Philippe Nonet dan Charlin adalah tokoh-tokoh yang mengembangkan apa yang akan disebut sebagai “The Berkeley Perspective”. Menurut mereka, sosiologi hukum hendaknya mempelajari landasan sosial (social foundations) yang ada dalam ideal legalitas. Dengan demikian, sikap yang diambil oleh aliran ini berbeda dengan aliran positif yang berpendapat, bahwa penilaian (value judgement) tidak dapat ditemukan dalam dunia empirik. Berbeda dengan itu, program Berkeley justru menekankan agar sosiologi hukum memikirkan tentang ide-ide hukum (legal ideas) dengan bersungguh-sungguh.

Menurut aliran normatif, hukum bukan merupakan fakta yang teramati tetapi merupakan suatu institusi nilai. Hukum mengandung nilai-nilai dan bekerja untuk mengekspresikan nilai-nilai tersebut dalam masyarakat. Menurut aliran ini, sosiologi hukum bersifat derivatif, karena itu tidak dapat dipisahkan dari institusi primer seperti politik dan ekonomi (Anwar & Adang, dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 17).

Aliran normatif berpendapat bahwa kajian sosiologis memperkaya pemahaman kita terhadap kondisi dan biaya dalam usaha mencapai berbagai aspirasi manusia seperti demokrasi, keadilan, efisiensi, dan keakraban (intimacy). Kondisi sosiologis dan biaya yang dikeluarkan untuk mencapai berbagai aspirasi tersebut tidak lazim untuk dikaji pada orang berbicara mengenai keadilan. Di sini sosiologi datang memperkaya pemahaman dengan memperluas cakrawala pengetahuan kita, yaitu memberikan pemaparan mengenai struktur sosiologis dari demokrasi, keadilan dan sebagainya.

Maka sosiologi hukum yang dilepaskan dari normativitas hukum hanya akan menimbulkan ketidaktahuan (ignorancy) mengenai hakikat hukum. Sosiologi hukum yang hanya berhenti sebatas pengamatan dari luar sebagaimana dipujikan oleh Black akan menghasilkan orang-orang yang buta huruf (to graduate illiterates) (Rahardjo, dalam Laksana, dkk, 2017, hlm. 17).

Referensi

  1. Laksana, I.G.N.D. (2017). Buku ajar sosiologi hukum. Tabanan: Pustaka Ekspresi.
  2. Solikin, H.N. (2022). Pengantar sosiologi hukum islam. Pasuruan: Penerbit Qiara Media.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *