Tunadaksa adalah individu yang mempunyai gangguan gerakan yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular atau struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan. Individu tunadaksa di antaranya adalah penyandang celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh (Anggara dalam Asrori, 2020, hlm. 81).

Sementara itu menurut Hallahan & Kauffman (dalam Sulthon, 2016, hlm. 23) tunadaksa adalah keterbatasan fisik nonindra atau masalah kesehatan yang merasa terganggu dalam belajar di sekolah, yang memerlukan layanan latihan, peralatan, material, dan fasilitas khusus.

Secara fisik, terkadang tunadaksa tidak berbeda dengan orang pada umumnya. Orang bisa mengetahui mereka tunarungu pada saat berbicara, sebab mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang jelas, atau bahkan tidak berbicara sama sekali dan mereka hanya menggunakan bahasa bibir atau menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi. Akan tetapi pada penyandang tunadaksa terdapat beberapa orang yang tampak biasa saja di luar jika klasifikasi tunadaksa disandangnya termasuk dalam kategori berat yang tentunya akan terlihat menggunakan kursi roda atau alat bantu gerak lainnya.

Selain itu tunadaksa juga didefinisikan sebagai seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan (Effendi dalam Asrori, 2020, hlm. 81).

Dapat disimpulkan bahwa tunadaksa merupakan suatu kelainan dan keterbatasan fisik nonindra yang dapat disebabkan oleh penyakit, virus, atau bawaan sebelum atau setelah lahir sehingga membutuhkan pelayanan khusus karena mengalami keterbatasan tertentu baik pada masa perkembangan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Ciri/Karakteristik Tunadaksa

Secara umum karakteristik atau ciri dari individu penyandang tunadaksa adalah sebagai berikut.

  1. Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh.
  2. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur, tidak terkendali).
  3. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap.
  4. Terdapat kelainan pada alat gerak.
  5. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam.
  6. Kesulitan pada saat berdiri, berjalan, duduk dan menunjukan sikap tubuh yang tidak normal.
  7. Hiperaktif/ tidak dapat tenang (Geniofam dalam Asrori, 2020, hlm. 83).

Sementara itu menurut Murtie (2017, hlm. 259-260) pemahaman mengenai anak tunadaksa dapat diketahui melalui ciri-ciri baik secara fisik maupun psikologis yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Salah satu bagian tubuh mengalami hambatan. Misalnya memiliki kelemahan pada kaki, tangan, jari-jari, atau bagian tubuh lainnya.
  2. Hambatan faktor motorik, saat akan pindah tempat, melakukan gerak, berjalan, atau tidak bisa mengontrol koordinasi tubuhnya.
  3. Rasa kurang percaya diri karena pada keadaan seperti disebutkan pada poin nomor 1 dan 2 di atas, anak penyandang tunadaksa cenderung menutup diri sehingga potensinya menjadi terhambat.

Klasifikasi Tunadaksa

Terdapat banyak pengklasifikasian tunadaksa yang didasarkan atas keadaan tertentu seperti: orthopedically handicapped (tunadaksa karena gangguan tulang dan otot) dan neurologically handicapped (tunadaksa karena gangguan saraf). Menurut Asrori (2020, hlm. 82) penggolongan tunadaksa berdasarkan taraf gangguannya adalah sebagai berikut.

  1. Tunadaksa taraf ringan
    Klasifikasi ini adalah tunadaksa murni dan tunadaksa kombinasi ringan. Tunadaksa jenis ini pada umumnya hanya mengalami sedikit gangguan mental dan kecerdasannya cenderung normal. Kelompok ini lebih banyak disebabkan adanya kelainan anggota tubuh saja, seperti lumpuh, anggota tubuh berkurang (buntung), dan cacat fisik lainnya.
  2. Tunadaksa taraf sedang
    Individu yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa akibat cacat bawaan, cerebral palsy ringan, dan polio ringan. Kelompok ini dialami dari tuna akibat cerebral palsy (tunamental) yang disertai dengan menurunnya daya ingat waktu tidak sampai jauh di bawah normal.
  3. Tunadaksa taraf berat
    Klasifikasi ini adalah akibat cerebral palsy berat dan keturunan akibat infeksi. Pada umumnya anak yang terkena cacat ini pada tingkat kecerdasannya tergolong dalam kelas debil, embesil, dan idiot. Berdasarkan berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunadaksa adalah seorang anak yang mengalami berbagai jenis gangguan fisik yang disebabkan faktor sejak lahir atau penyakit dan luka, mengakibatkan kesulitan dalam mengoptimalkan fungsi anggota tubuh.

Cerebral Palsy (Tunadaksa karena Gangguan Saraf Pusat)

Selanjutnya, tunadaksa juga dapat diklasifikasikan menjadi celebral palsy atau tunadaksa yang disebabkan oleh gangguan sistem saraf pusat. Berdasarkan taraf atau tingkatan gangguannya, celebral palsy dapat dibedakan menjadi jenis-jenis berikut ini.

  1. Cerebral palsy kategori ringan, cirinya dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri;
  2. Cerebral palsy kategori sedang, dengan ciri membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus seperti brace;
  3. Cerebral palsy kategori berat, memiliki ciri yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulansi, bicara, dan menolong diri (Karyana & Widati, 2013, hlm. 34 ).

Sementara itu berdasarkan letak kelainan otak dan fungsi gerak, serebral palsly dapat dibedakan menjadi beberapa jenis di bawah ini.

  1. Spastik,
    pada otot terdapat kekakuan sebagian atau seluruh, terjadi kekejangan pada otot-otot diakibatkan adanya gerakan kaku dan dapat hilang saat keadaan diam. Seperti pada saat tidur. Umumnya kekejangan ini terjadi parah ketika dalam keadaan marah.
  2. Dyskenesia athetoid, meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol).
  3. Rigid,
    dengan ciri terjadi kekakuan seluruh tubuh, jadinya sulit dibengkokkan. Anak mengalami kekakuan pada otot-otot disertai Gerakan sangat lambat dan kasar. Kondisi-kondisi anak seperti ini sangat memberi dampak pada aktivitas dalam sehari-hari.
  4. Tremor,
    anggota tumbuhnya selalu bergerak sendiri seperti getaran kecil pada mata, tangan atau pada kepala secara terus menerus.
  5. Athethoid,
    memiliki ciri tidak mengalami kekejangan atau kekakuan, otot-otot bergerak dengan mudah, dan terkadang ada gerakan yang tidak terkendali di luar kemampuannya. Gerakan dapat terjadi di tangan, kaki, lidah, bibir dan mata.
  6. Ataxia,
    cirinya di antara lain adalah keseimbangannya terganggu, jalannya gontai, mata dan tangan tidak berfungsi karena tidak terkoordinasi.
  7. Jenis campuran,
    mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe yang telah disebutkan di atas (Karyana & Widati, 2013, hlm. 34-35).

Tunadaksa karena Gangguan Rangka dan Otot

Kelainan sistem otot dan rangka pada anak tunadaksa digolongkan dalam kelompok sebagai berikut.

  1. Poliomyelitis,
    infeksi yang terletak di sumsum tulang belakang karena virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya tetap. Anak polio dibedakan menjadi: (a) Tipe spinal, otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki yang mengalami kelumpuhan; (b) Tipe bulbair, cirinya ada gangguan pernafasan pada fungsi motorik satu atau lebih saraf tepi sehingga terjadi kelumpuhan; (c) Tipe bulbispinalis, gabungan antara tipe spinal dan bulbair.
  2. Encephalitis,
    anak mengalami demam, kesadaran menurun, tremor, dan terkadang mengalami kejang. Kelumpuhan ini sifatnya layu, tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indra. Kelainan ini berakibat pada otot yang menjadi kecil (atropi) dikarenakan kerusakan sel saraf, sendi mengalami kekakuan (kontraktor), anggota gerak mengalami pemendekan, pelengkungan pada tulang belakang ke salah satu sisi, seperti huruf S (scoliosis), mengalami pembengkokan ke luar atau ke dalam pada telapak kaki, dislokasi (sendi yang luar dari dudukannya), lutut melenting ke belakang (genu recorvatum).
  3. Muscle Dystopy,
    akibat dari penyakit ini perkembangan otot tidak sempurna karena mengalami kelumpuhan dengan sifat progresif dan simetris, dan dapat dikarenakan suatu keturunan.
  4. Spina Bifida,
    yakni kelainan tulang belakang yang dicirikan dengan terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan selama proses perkembangan tidak tertutup kembali. Sehingga saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus produksi cairan yang berlebihan ini menjadikan pembesaran pada kepala. Sehingga terjadi ketunadaksaan (Karyana & Widati, 2013, hlm. 35-37).

Hambatan-hambatan Tunadaksa

Individu yang menyandang tunadaksa akan menghadapi hambatan-hambatan dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya. Adapun hambatan yang dialami oleh penyandang tunadaksa adalah sebagai berikut.

  1. Terjadinya pengendalian dari berbagai bagian tubuh oleh otak. Hal ini bisa mempengaruhi indra penglihatan, pendengaran, bahasa, dan gerak. Ini adalah Hambatan dalam faktor sensorik.
  2. Kecerdasan di bawah rata-rata, sebab kurang percaya diri anak dalam penangkapan pembelajaran. Ini adalah hambatan dalam faktor kognisi.
  3. Mengalami hambatan dalam berpikir suatu hal dengan tepat. Karena adanya satu hal yang ada di otak sehingga keabnormalan fisik menjadi tunadaksa.
  4. Hambatan dalam segi emosi dan sosial. Perasaan kurang percaya diri anak tunadaksa mempengaruhi emosi dan hubungan sosial mereka dengan orang lain. Perasaan yang sering muncul di antaranya malu, minder, rendah diri, dan sensitif. Sehingga jika ada orang mendekat anak sering melakukan penolakan pada orang tersebut.
  5. Anak tunadaksa dalam mengembangkan konsep diri dan melakukan aktualisasi dirinya kurang. Secara kognitif anak tunadaksa sama dengan anak normal lainnya, namun sifat yang kurang percaya diri, minder dan lain sebagainya menjadikan potensi pada diri mereka kurang berkembang (Murtie, 2017, hlm. 260).

Dampak Ketunadaksaan

Melalui karakteristik anak tunadaksa tersebut dapat mempengaruhi dalam hal kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan yang cenderung bersifat pasif. Dalam hal ini tingkah laku anak tunadaksa dipengaruhi oleh jenis dan derajat keturunannya. Dampak lain juga dapat diketahui dari beberapa aspek di antaranya aspek akademik, aspek sosial, dan aspek kesehatan yang akan dijelaskan menurut Atmaja (2018, hlm. 143) sebagai berikut.

  1. Dampak aspek akademik
    Tingkat kecerdasan pada anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada otot dan rangka yakni normal, dalam hal ini anak tunadaksa ang mengalami kelainan pada otot dan rangka dapat belajar bersama anak normal lainnya. Sedangkan pada anak tunadaksa yang mengalami kelainan cerebral palsly, tingkat kecerdasannya mulai dari sangat rendah hingga sangat tinggi. Menurut Hardman (dalam Karyana & Widat, 2013, hlm. 43) 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% memiliki tingkat kecerdasan normal dan di atas normal, dan sisanya kecerdasan sedikit di bawah rata-rata.
  2. Dampak sosial emosi
    Dampak ini karena seorang pengidap tunadaksa merasa bahwa dirinya memiliki tubuh yang cacat, tidak berguna, dan bahkan menjadi beban orang lain sehingga menjadikan mereka malam belajar, bermain, dan berlaku seperti orang lain. Anak ini juga tidak diterima kehadirannya oleh orang tua dan masyarakat sehingga membuat rusaknya perkembangan pribadi pada sang anak. Hal lain juga mengenai kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa yang menimbulkan masalah emosi seperti mudah untuk marah, mudah untuk tersinggung, rendah diri, frustasi, pemalu, sulit bergaul dengan temannya.
  3. Dampak fisik dan kesehatan
    Dampak pada anak tunadaksa selain pada cacat fisik, juga memiliki gangguan lain yakni sakit gigi, daya pendengaran kurang, penglihatan, gangguan dalam berbicara dan lain sebagainya. Gangguan ini biasanya terjadi pada anak tunadaksa kelainan otot dan tulang. Sedangkan pada pengidap tunadaksa yang mengalami gangguan cerebral palsy biasanya akan mengalami kerusakan pada pyramidal track dan extrapymadial yang fungsinya mengatur sistem motorik. Sehingga mereka mengalami kekacauan, gangguan keseimbangan, gerakan yang tidak dapat dikendalikan, dan bahkan susah pindah tempat.

Faktor Penyebab Tunadaksa

Penyebab Tunadaksa ada beberapa macam, terletak di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem musculus skeletal. Terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan setelah lahir yang akan dijelaskan sebagai berikut.

  1. Sebelum lahir (fase prenatal).
    Kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan disebabkan oleh: (a) ketika ibu mengandung penyakit yang menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi, sypilis, rubela, dan typus abdominolis; (b) Peredaran terganggu, tali pusat tertekan, akibat kelainan kandungan merusak pembentukan saraf-saraf di dalam otak; (c) Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syaraf pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu; (d) Ibu mengalami trauma (kecelakaan) saat sedang mengandung, mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat.
  2. Sebab-sebab saat kelahiran (fase natal, peri natal).
    Sebab kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara lain: (a) terlalu lamanya proses kelahiran dan tulang pinggang ibu kecil. Jadi, bayi kekurangan oksigen, dan menyebabkan terganggunya sistem metabolisme di otak bayi, jadi, jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan; (b) jaringan syaraf otak pada bayi dapat rusak karena pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan; (c) Anetasi dipakai ibu saat melahirkan karena operasi melebihi dosis. Akibatnya mempengaruhi sistem persarafan otak bayi, otak mengalami kelainan pada struktur ataupun fungsinya.
  3. Sebab-sebab setelah proses kelahiran (fase post natal).
    Masa bayi setelah dilahirkan sampai di perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun. Penyebabnya adalah kecacatan setelah lahir antara lain: (a) Faktor penyakit, seperti meningitis (radang selaput otak), enchepalis (radang otak), influenza, diphtheria, partusis dan lan-lain; (b) Faktor kecelakaan, misalnya mengalami kecelakaan lalu lintas, terjadi benturan pada benda keras, pernah terjatuh dan terkena di bagian kepala; (c) Pertumbuhan tubuh atau tulang tidak sempurna (Karyana & Widati, 2013, hlm. 41-42).

Penanganan Terhadap Penyandang Tunadaksa

Menghadapi anak tunadaksa memerlukan penanganan yang khusus, dalam hal ini melibatkan orang sekitar untuk menanganinya. Adapun penanganan yang dilakukan terhadap anak tunadaksa yakni sebagai berikut.

  1. Orang tua perlu menyadari dan menerima sepenuhnya keadaan anak. Penerimaan keadaan anak adalah suatu energi positif dari orang tua. Dengan menerima sepenuhnya, orang tua dapat menyadari bahwa kondisi kurang sempurna yang disandang anak dibaliknya memiliki potensi lain. Di sini orang tua yang memiliki anak tunadaksa adalah menggali potensi tersebut dan mendampingi anak agar dapat mengembangkan dengan baik dan terarah.
  2. Mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang hal yang berkaitan dengan penanganan terhadap bagian tubuh anak yang terbatas geraknya. Melalui kesadaran mencari informasi ini, orang tua dapat memiliki sarana dan prasarana dalam mengasuh dan mendampingi anak. Melalui informasi ini bisa diminimalkan risiko dengan berbagai terapi. Sehingga anggota tubuh dapat berfungsi secara normal seperti anak lainnya.
  3. Memberikan ruang gerak dan sekolah yang sesuai bagi anak. Anak tunadaksa memiliki mental sama seperti anak normal, sehingga tetap bisa sekolah di sekolah umum. Perlu diperhatikan bahwa orang tua harus mempertimbangkan mengenai fasilitas dan mental anak agar dapat efektif dan tumbuh dengan baik di sekolah. Namun, terkadang anak minder jika disekolahkan di sekolah umum. Namun demikian, sekolah umum yang menyokong prinsip inklusif dapat menjadi salah satu opsi yang sangat baik.
  4. Stimulasi kemampuan anak dalam bidang yang disukai dan dikuasanya. Setelah mengetahui potensi yang ada di dalam diri anak tunadaksa maka selanjutnya orang tua dapat melakukan stimulasi pada kemampuannya agar kepercayaan dalam diri anak tumbuh. Dan mereka mudah mengembangkan diri, dan tidak terlalu fokus pada kekurangan diri mereka (Murtie, 2017, hlm. 261).

Referensi

  1. Asrori. (2020). Psikologi pendidikan pendekatan multidisipliner. Banyumas: Pena Persada.
  2. Atmaja, J.R. (2018). Pendidikan dan bmbingan anak berkebutuhan khusus,. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
  3. Sulthon. (2016). Modul pendidikan anak berkebutuhan khusus. Kudus: IAIN Kudus.
  4. Karyana, Asep & Sri Widati. (2013). Pendidikan anak berkebutuhan khusus tunadaksa. Jakarta: PT. Luxima Metro Media.
  5. Murtie, Afin. (2017). Ensiklopedia anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta: Maxima.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *