Pengertian Tunagrahita

Tunagrahita adalah kondisi di mana seorang anak atau individu dengan kelemahan intelektual di bawah rata-rata sehingga mengalami berbagai hambatan dari berbagai aspek sebagai akibat dari adanya gangguan perkembangan saraf pusat (otak). Seperti yang diungkapkan oleh Marlina (2015, hlm. 16) bahwa tunagrahita adalah kondisi yang ditandai dengan kemampuan mental jauh di bawah rata-rata, memiliki hambatan dalam penyesuaian diri secara sosial, berkaitan dengan adanya kerusakan organik pada susunan syaraf pusat dan tidak dapat disembuhkan serta membutuhkan layanan pendidikan yang sistematis, layanan multidisiplin dan dirancang secara individual (Marlina, 2015, hlm. 16).

Sementara itu menurut Somantri (dalam Asrori, 2020, hlm. 91) mengungkapkan bahwa tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental adalah individu yang memiliki keterbatasan kecerdasan sehingga mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal sehingga membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yang disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut.

Sementara itu, American Association of Mental Defeciency (AAMD dalam Marlina, 2015, hlm. 16) mendefinisikan tunagrahita sebagai kondisi kompleks yang menunjukkan kemampuan intelektual rendah dan mengalami hambatan dalam perilaku adaptif. Artinya, seseorang tidak dapat dikategorikan tunagrahita apabila tidak mengalami gangguan intelektual rendah tanpa diiringi oleh hambatan perilaku yang tidak mampu menyesuaikan diri.

Rinciannya, perilaku adaptif atau penyesuaian diri yang dimaksud tersebut dapat dilihat dari tujuh aspek yang meliputi:

  1. terhambat dalam perkembangan keterampilan sensori motor,
  2. terhambat dalam keterampilan komunikasi,
  3. terhambat dalam keterampilan menolong diri sendiri,
  4. terhambat dalam sosialisasi,
  5. terhambat dalam mengaplikasikan keterampilan akademik dalam kehidupan sehari-hari,
  6. terhambat dalam menilai situasi lingkungan secara tepat, dan
  7. terhambat dalam menilai keterampilan sosial (Rochyadi dalam Marlina, 2015, hlm. 16).

Lebih spesifik lagi, AAMD (dalam Asrori, 2020, hlm. 91) menyatakan tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata, yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun.

Sementara itu menurut Pujiastuti (2021, hlm. 57) Tunagrahita adalah nama lain dari retardasi mental yang terdiri dari kata “tuna” yang artinya “merugi”, dan “grahita” dengan arti “pikiran”, dengan demikian tunagrahita, retardasi mental (mentally retarded atau mentally defective) atau  terbelakang mental merupakan penyebutan yang dipergunakan untuk menamakan anak atau seseorang yang mempunyai kapasitas kecerdasan berada pada level dasar, spesifiknya memiliki skor IQ di bawah 70 bersumber pada Uji intelegensi baku.

Dapat disimpulkan bahwa tunagrahita adalah kondisi individu yang memiliki kapasitas intelektual rendah berdasarkan skor IQ di bawah rata-rata sehingga mengalami berbagai hambatan adaptif atau penyesuaian diri seperti berkomunikasi hingga keterampilan menolong diri sendiri sebagai akibat dari adanya hambatan atau gangguan organis pada pusat saraf (otak).

Ciri Tunagrahita

Menurut Marlina (2015, hlm. 17) anak tunagrahita dapat dikenali dengan ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil atau besar.
  2. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia.
  3. Perkembangan bicara/bahasa terlambat.
  4. Tidak ada atau kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong).
  5. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali).
  6. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).

Karakteristik Tunagrahita

Menurut Gunadi (2011, hlm. 139) anak tunagrahita memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut.

  1. Mengalami kesulitan dalam mempelajari hal yang baru dan pengetahuan yang bersifat abstrak, penyandang tunagrahita juga cepat lupa dengan apa yang sedang mereka pelajari jika tidak dilatih terus menerus.
  2. Memiliki cacat fisik dan kurang dalam perkembangan gerak mereka. Mayoritas penyandang tunagrahita dengan kategori berat memiliki keterbatasan dalam gerak fisik, seperti tidak dapat atau tidak lancar dalam berjalan.
  3. Mengalami kesulitan dalam mengurus diri sendiri. Penyandang tunagrahita rata-rata dari merek tidak dapat mengurus kebutuhan hidupnya sendiri, seperti berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan sendiri.
  4. Kurangnya kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Penyandang tunagrahita dengan kategori ringan masih dapat bermain dengan teman mereka, namun tunagrahita dengan kategori berat tidak dapat melakukan hal-hal tersebut.
  5. Penyandang tunagrahita terkadang bertingkah laku kurang wajar secara terus menerus, senang memutar-mutar jari mereka di depan wajah dengan membentur-benturkan kepala mereka atau menggigit dirinya sendiri.

Klasifikasi Tunagrahita

Menurut AAMD (dalam Lisinus & Sembiring, 2020, hlm. 90) klasifikasi tunagrahita terbagi menjadi tiga golongan yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik)
    Pada tunagrahita ringan ini, mereka memiliki kecerdasan dengan IQ berkisar 50-70, tunagrahita ringan memiliki kemampuan untuk dapat berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja, mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan, mampu melakukan pekerjaan semi terampil, dan pekerjaan sederhana.
  2. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)
    Tingkat kecerdasan IQ yang dimiliki penyandang tunagrahita sedang berkisar antara 30-50, mereka dalam belajar keterampilan sekolah untuk tujuan fungsional, mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri, mampu beradaptasi dengan lingkungan, mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang dilakukan dengan pengawasan orang terdekat.
  3. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat)
    Tunagrahita berat merupakan tunagrahita yang hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih dalam mengurus dirinya, dan tingkat kecerdasan IQ yang dimiliki tunagrahita berat kurang dari 30. Tunagrahita berat ini mereka masih mampu dilatih dalam mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan namun sangat terbatas.

Klasifikasi Tunagrahita berdasarkan Tipe Klinis

Menurut Asori (2020, hlm. 91) berdasarkan penyebab gangguan kecerdasan dari sisi kelainan organis atau tipe klinisnya, tunagrahita dapat digolongkan menjadi tiga jenis yang di antaranya adalah sebagai berikut.

Down Syndrome

Down syndrom dapat dikenali berdasarkan ciri fisik tertentu, seperti kepalanya kecil bulat (brachicephaly) dan ceper, tidak sempurna. Ubun-ubunnya tidak lekas tertutup, menjadi keras bahkan sering tidak pernah bisa tertutup sama sekali. Bentuk giginya abnormal, tulang-tulang rusuk dan tulang-tulang punggung sering mengalami kelainan. Bibir tebal atau sumbing, kupingnya sangat besar atau sangat kecil. Kulitnya kering dan kasar, tetapi sering juga lembut dan lunak seperti kulit bayi. Pipinya berwarna kemerah-merahan. Tangannya lunak, besar dan lebar seperti mengandung air. Telapak kaki ceper, perut buncit dan pusarnya menonjol keluar. Sendi-sendi dan otot-ototnya kaku (Semiun dalam Asrori, 2020, hlm. 92).

Penyebab Down Syndrome

Down syndrome ditandai dengan adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga pada kromosom yang ke-21, menyebabkan jumlah kromosom menjadi empat puluh tujuh, bukan empat puluh enam seperti pada individu normal. Down syndrome terjadi pada sekitar satu dari delapan ratus kelahiran. Kondisi ini biasanya terjadi pada pasangan kromosom ke-21 pada sel telur atau sperma gagal untuk membelah secara normal sehingga bisa mengakibatkan ekstra kromosom.

Kelainan kromosom tertentu dapat mengakibatkan kelainan metabolik selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan otak secara negatif dan melahirkan retardasi mental. Contohnya adalah down syndrom atau mongolisme. Disebut mongolisme sebab penderitanya sering bermata sipit, mirip orang mongol. Penyebabnya adalah kelainan pada kromosom (adanya trisomi pada kromosom 21). Usia ayah maupun ibu yang sudah lanjut, yakni di atas 40 atau bahkan 50 tahun waktu bayi dikandung atau dilahirkan, berpengaruh terhadap timbulnya kelainan kromosom tersebut.

Oleh karena itu, pasangan yang berada pada pertengahan usia 30 atau lebih, yang sedang menantikan kehadiran bayi, sering menjalani tes genetis prenatal untuk mendeteksi down syndrome dan abnormalitas genetis. Down syndrome dapat dilacak melalui kerusakan kromosom ibu pada sekitar 95% kasus, sementara sisanya adalah kerusakan pada sperma ayah (Zaenal dkk dalam Asrori, 2020, hlm. 91).

Hipotiroid kongenital

Hipotiroid kongenital adalah keadaan menurun atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid yang didapat sejak lahir (Asrori, 2020, hlm. 92). Gejala dan tanda yang dapat muncul: letargi (aktivitas menurun), ikterus (kuning), makroglosi (lidah besar), hernia umbilikalis (bodong), hidung pesek, konstipasi, kulit kering, skin mottling (Burik), mudah tersedak, suara serak, hipotoni (tonus otot menurun), ubun-ubun melebar, perut buncit mudah kedinginan (intoleransi terhadap dingin), miksedema (wajah sembab) (Mranani dalam ASrori, 2020, hlm. 92).

Penyebab Hipotiroid Kongenital

Hipotiroid terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan metabolisme pembentukan hormon tiroid atau defisiensi iodium. Hormon Tiroid yaitu Tiroksin yang terdiri dari Triiodotironin (T3) dan Tetra-iodotironin (T4), merupakan hormon yang diproduksi kelenjar tiroid (kelenjar gondok). Pembentukannya memerlukan mikronutrien iodium. Hormon ini berfungsi mengatur produksi panas tubuh, metabolisme, pertumbuhan tulang, jantung, syaraf, serta pertumbuhan dan perkembangan otak. Hormon ini sangat penting peranannya pada bayi dan anak yang sedang tumbuh. Kekurangan hormon tiroid pada bayi dan masa awal kehidupan, bisa menghambatan pertumbuhan (cebol/stunted), dan retardasi mental keterbelakangan mental.

Hydrocephal

Hidrosefalus adalah penambahan volume cairan serebrospinalis diruang ventrikel dan ruang subarachnoid (Asrori, 2020, hlm. 93). Pada anak dibawah enam tahun, termasuk neonatus, akan tampak pembesaran kepala (makrosefali). Perkusi pada kepala anak memberi sensasi yang khas. Hal ini menggambarkan adanya pelebaran sutura. Vena-vena di kulit kepala sangat menonjol, terutama bila bayi menangis. Mata penderita hidrosefalus memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu setting-sun sign (skelera yang tampak di atas iris) (Afdhalurrahman dalam Asrori, 2020, hlm. 93).

Penyebab Hydrocephal

Kondisi hydrocephal bisa disebabkan karena tidak seimbangnya produksi dan absorpsi cairan serebrospinalis (Asrori, 2020, hlm. 93). Hidrosefalus bersifat kongenital, biasanya tampak pada masa bayi. Hidrosefalus yang muncul setelah umur 6 bulan biasanya tidak bersifat kongenital. Kasus hidrosefalus pernah dijelaskan oleh Hippocrates, Galen, dan para dokter muslim di awal abad pertengahan, mereka percaya bahwa penyakit ini disebabkan oleh akumulasi cairan di ekstraserebral. Sekitar 40-50% bayi dengan perdarahan intraventrikular derajat 3 dan 4 akan mengalami hidrosefalus. Hidrosefalus yang muncul dari komplikasi meningitis bakteri sering terjadi pada bayi, biasanya bakteri penyebabnya masih sulit dikenali karena pasien sering datang setelah sepsisnya tertangani.

Penyebab Tunagrahita

Terdapat bermacam yang dapat menyebabkan seorang anak menjadi tunagrhita, mulai dari terjadinya infeksi, trauma fisik, kelainan gentik, lahiran secara prematur, dan lain sebagainya. Namun demikian, secara garis besar penyebab utama tunagrahita itu berasal dari luar, seperti terkena paparan sinar X-Rays, pengaruh zat-zat yang bersifat toksik, kerusakan otak saat lahir, atau terinfeksi virus penyakit dan bersumber dari dalam, seperti abnormalitas pembentukan kromosom. Seperti yang diungkapkan oleh Lisinus & Sembiring (2020, hlm. 96-98) bahwa faktor-faktor yang menyebabkan tunagrahita adalah sebagai berikut.

  1. Faktor Keturunan
    Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap anak tunagrahita, dijelaskan bahwa sekitar 5% anak tunagrahita disebabkan oleh faktor keturunan, hal ini disebabkan oleh kelainan yang diwariskan pada gen, seperti fragile X syndrome, kerusakan salah satu gen seperti phenylketonuria.
  2. Sebelum Lahir
    Beberapa anak tunagrahita yang mengalami keterbelakangan mental disebabkan oleh orang tua yang pada saat mereka mengandung dengan usia kandungan 12 minggu, ibu mereka meminum alkohol, selain itu juga virus rubella menjadi penyebab terjadinya ketunagrahitaan pada anak.
  3. Kerusakan Pada Waktu Lahir
    Kerusakan ini bisa disebabkan oleh proses melahirkan yang sulit, sehingga dalam hal ini diperlukan peralatan untuk membantu agar anak tersebut dapat lahir.
  4. Gangguan Metabolisme dan Gizi
    Kegagalan dalam metabolisme dan kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan akan gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik maupun mental pada individu. Gejala-gejala yang dapat dilihat dari adanya gangguan metabolisme dan gizi adalah kejang-kejang syaraf, serta kelainan tingkah laku, tengkorak kepala besar, telapak tangan lebar dan pendek, leher yang pendek, lidah besar dan menonjol, persendian kaku, tidak normal dalam tinggi badan, kerangka tubuh tidak proposional, dll.
  5. Trauma dan Zat Radioaktif
    Trauma otak yang terjadi di kepala dapat menimbulkan pendarahan intracranial terjadinya kecacatan pada otak, biasanya disebabkan karena kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu. Penyinaran atau radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan tunagrahita microchephaly. Janin yang terkena zat radioaktif pada usia tiga sampai enam minggu pertama kehamilan sering menyebabkan kelainan pada berbagai organ, karena pada masa ini embrio mudah sekali berpengaruh.
  6. Masalah pada Kelahiran
    Kelahiran yang disertai hypoxia (kejang dan nafas pendek) dipastikan bahwa bayi yang akan dilahirkan menderita kerusakan otak.
  7. Faktor Lingkungan
    Kurangnya kontak pribadi dengan anak, misalnya dengan tidak mengajaknya berbicara, tersenyum, bermain yang mengakibatkan timbulnya sikap tegang, dingin dan menutup diri. Kondisi ini akan memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan anak baik fisik maupun mental intelektual.
  8. Kerusakan Biokimia
    Menurut Waiman dan Gerritsen (dalam Lisinus & Sembiring, 2020, hlm. 96-98), pada saat ini lebih dari 90 penyakit yang dapat menyebabkan kelainan metabolisme sejak kelahiran, hal tersebut dapat diturunkan secara genetika dalam arti diturunkan dalam penurunan sifat.

Dampak dan Permasalahan Tunagrahita

Menurut Amin (dalam Muhtar & Lengkana, 2019, hlm. 43-44)  terdapat beberapa dampak permasalahan yang dialami oleh penyandang tunagrahita yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Masalah dalam kehidupan sehari-hari
    Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri dalam kehidupan sehari-harinya. Masalah-masalah yang sering ditemui dalam dalam cara mereka makan, menggosok gigi, memakai sepatu, melakukan ibadah, dan lain sebagainya.
  2. Masalah kesulitan belajar
    Keterbatasan intelektual siswa tunagrahita, menyebabkan mereka kesulitan dalam berpikir, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa mereka selalu mengalami kesulitan dalam belajar.
  3. Masalah Penyesuaian Diri
    Penyesuaian diri terhadap lingkungan sangat dipengaruhi oleh kecerdasan yang dimiliki seseorang, siswa tunagrahita sendiri memiliki kecerdasan yang berada di bawah rata-rata sehingga dalam hal penyesuaian diri terhadap lingkungan siswa tunagrahita mengalami kesulitan dalam beradaptasi.
  4. Masalah gangguan dan kepribadian
    Dalam kondisi seperti ini dapat dilihat dari tingkah laku mereka, seperti mereka akan berdiam diri dengan waktu yang cukup lama, gerakan yang dilakukan mereka cenderung hiperaktif, mudah marah, dan juga mudah tersinggung.
  5. Masalah penyaluran ke tempat kerja
    Kehidupan anak berkebutuhan khusus tunagrahita cenderung masih banyak yang bergantung kepada orang lain, terutama kepada keluarga dan masih sedikit sekali penyandang tunagrahita yang sudah dapat hidup secara mandiri. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat beberapa yang sudah hidup secara mandiri, namun hal itu tidak sebanding dengan jumlah tunagrahita yang masih ketergantungan. Kurangnya bekal yang didapatkan mengakibatkan mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
  6. Masalah pemanfaatan waktu luang
    Wajar bagi siswa tunagrahita dalam tingkah lakunya yang sering menampilkan tingkah laku yang kurang baik. Sebenarnya sebagian dari mereka cenderung suka berdiam diri dan menjauhkan diri dari keramaian masyarakat, namun hal ini dapat berakibat fatal bagi diri tunagrahita karena hal ini dapat menumbuhkan keinginan mereka untuk melakukan bunuh diri. Sehingga, perlu adanya kegiatan bagi tunagrahita dalam waktu luang mereka, agar dapat menjauhkan diri dari kondisi yang berbahaya, dan tidak mengganggu ketenteraman dalam masyarakat maupun dalam keluarga.
  7. Masalah dalam perkembangan bahasa
    Siswa tunagrahita mengalami kesulitan untuk dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam kata-kata, sehingga mereka tidak dapat mengekspresikan keadaannya melalui kata-kata. Siswa tunagrahita yang tidak mengerti apa yang diungkapkan orang lain kepadanya, akan menyebabkan mereka mengalami frustasi dan merasa kesepian.

Referensi

  1. Asrori. (2020). Psikologi pendidikan pendekatan multidisipliner. Banyumas: Pena Persada.
  2. Gunadi, T. (2011). Mereka pun bisa sukses. Jakarta: Penebar Swadaya.
  3. Marlina. (2015). Asesmen anak berkebutuhan khusus (pendekatan psikoedukasional). Padang: UNP Press.
  4. Lisinus, R. & Sembiring, P. (2020). Pembinaan anak berkebutuhan khusus (sebuah perspektif bimbingan dan konseling). Medan: Yayaysan Kita Menulis.
  5. Pujiastuti, T. (2021). Perkembangan keagamaan anak tunagrahita. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
  6. Muhtar, T. & Anggi Setia Lengkana, A.S. (2019). Pendidikan jasmani dan olahraga adaptif. Sumedang: UPI Sumedang Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *