Pengertian Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang mengalami kelainan pada indera penglihatan yang menyebabkan individu tersebut terhambat dalam penglihatannya (Asrori, 2020, hlm. 83). Secara etimologis, tunanetra berasal dari kata ‘’Tuna’’ yang berarti rusak atau rugi dan ‘’Netra’’ yang berarti mata, dengan demikian tunanetra adalah sebutan bagi individu yang mengalami kerusakan atau hambatan pada organ mata (Wikasanti, 2017, hlm. 9). Kerugian atau kerusakan organ mata yang terjadi dapat terjadi baik secara anatomis (struktur dan keterhubungan tubuh) maupun fisiologis (fungsi tubuh).

Selanjutnya, menurut Murtie (2017, hlm. 283) tunanetra adalah seorang anak atau individu yang mengalami hambatan dalam penglihatannya. Disebut terhambat pengelihatannya karena seorang tunanetra belum tentu mengalami kebutaan total, dan bentuk kelaiannya juga beragam, bisa jadi hal yang permanen maupun tidak.

Hallahan, Kauffman, dan Pullen (2020 dalam Asrori, 2020, hlm. 84) mengemukakan “Legally blind is a person who has visual acuity of 20/200 or less in the better eye even with correction (e.g., eyeglasses) or has a field of vision so narrow that its widest diameter subtends an angular distance no greater than 20 degrees”.

Artinya, seseorang yang dapat dinyatakan tunanetra adalah individu yang memiliki ketajaman visual 20/200 atau kurang pada mata/penglihatan yang lebih baik setelah dilakukan koreksi (misalnya kacamata) atau memiliki bidang penglihatan begitu sempit dengan diameter terlebar memiliki jarak sudut pandang tidak lebih dari 20 derajat (Asrori, 2020, hlm. 84).

Dengan demikian, seseorang yang memiliki pandangan yang amat buruk hingga tidak mampu mengenali hal yang dilihatnya meskipun telah menggunakan bantuan kacamata juga dapat diklasifikasikan sebagai penyandang tunanetra. Dapat disimpulkan bahwa tunanetra adalah indivdu yang terhambat penglihatannya karena ketajaman visual yang amat kurang hingga tidak mampu melihat sama sekali sebagai akibat dari kerusakan yang terjadi pada indera penglihatan baik secara anatomis maupun fisiologis.

Jenis Tunanetra

Berdasarkan pemaparan pengertian tunanetra menurut para ahli di atas, kita dapat mengetahu ibahwa setidaknya terdapat dua jenis utama dari penyandang tunanetra. Untuk lebih jelasnya, penyandang tunanetra dapat diklasifikasikan menjadi:

  1. Low Vision (Kurang Awas),
    merupakan jenis tunanetra yang dikatakan sebagai penglihatan lemah, seseorang dikatakan low vision bila masih sedikit melihat atau bisa membedakan gelap dan terang;;
  2. Blind (Buta),
    yaitu seseorang dikatakan buta apabila sudah tidak memiliki penglihatan sehingga tidak dapat membedakan gelap dan terang (Asrori, 2020, hlm. 84).

Ciri-Ciri Tunanetra

Ciri-ciri umum yang di miliki oleh individu penyandang tunanetra adalah sebagai berikut.

  1. Ketajaman penglihatan kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.
  2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
  3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
  4. Terjadi kerusakan pada susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan (Somantri, 2014, hlm. 65).

Karakteristik Tunanetra

Anak tunanetra secara fisik sama dengan anak-anak pada umumnya, namun terdapat beberapa hal yang membedakan antara keduanya. Terdapat beberapa karakteristik yang ada pada anak tunanetra di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Kognitif
    Keterbatasan atau ketidakmampuan penglihatan berpengaruh pada perkembangan dan proses belajar siswa. Akan tetapi pengaruh ini bukan berarti memberikan kelemahan atau ketidakmampuan. Hanya saja, pengalaman yang didapatkan berbeda dengan anak normal. Perbedaan tersebut dapat dilhat dari tiga sisi yang meliputi: a) Tingkat dan keanekaragaman pengalaman, pengalaman anak tunanetra diperoleh dari indra-indra yang masih berfungsi pada tubuhnya, terutama indra pendengaran dan perabaan. Namun kedua indra tersebut tidak dapat menyeluruh dalam memberikan informasi seperti informasi warna, ukuran, dan ruang; b) Kemampuan untuk berpindah tempat, keterbatasan penglihatan membuat anak tunanetra harus belajar berjalan dan mengenali lingkungannya agar mampu melakukan mobilitas secara aman, efektif, dan efisien; c) Interaksi dengan lingkungan Anak tunanetra sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan, karena keterbatasan penglihatan mereka. Mereka membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dalam mengenali lingkungannya.
  2. Akademik
    Kemampuan akademik anak tunanetra secara umum sama dengan anak normal lainnya. Ketunanetraan mereka berpengaruh pada keterampilan membaca dan menulis mereka. Untuk memenuhi kebutuhan membaca dan menulis mereka dibutuhkan media dan alat yang sesuai.
  3. Keadaan Fisik
    Fisik anak tunanetra yang sangat mencolok yaitu kelainan pada organ mata. Terdapat beberapa gejala tunanetra yang dapat diamati yaitu mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi, gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair (mengeluarkan air mata), serta pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
  4. Motorik
    Hilangnya kemampuan penglihatan tidak memberi pengaruh besar pada keadaan motorik anak. Anak hanya membutuhkan belajar dan waktu yang sedikit lebih lama untuk melakukan mobilitas. Seiring berjalannya waktu anak dapat mengenali lingkungannya dan beraktivitas dengan aman dan efisien.
  5. Perilaku
    Secara tidak langsung kondisi ketunaan anak tunanetra menimbulkan masalah pada perilaku kesehariannya. Wujud perilaku tersebut dapat berupa menggosok mata secara berlebihan, menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan, sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
  6. Pribadi dan Sosial
    Keterbatasan penglihatan anak tunanetra berdampak pada kemampuan sosial mereka. Mereka kesulitan dalam mengamati dan menirukan perilaku sosial dengan benar. Mereka memerlukan latihan dalam pengembangan persahabatan dengan sekitar, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah, mempergunakan intonasi suara dalam mengekspresikan perasaan, serta menyampaikan pesan yang tepat saat berkomunikasi. Sementara karakteristik sosial yang umum terlihat pada anak tunanetra yaitu hambatan kepribadian seperti curiga, mudah tersinggung, dan ketergantungan yang besar pada orang di sekelilingnya (Wikasanti, 2017, hlm. 12).

Klasifikasi Tunanetra

Lebih lanjut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (dalam Asrori, 2020, hlm. 84) mengklasifikasi tunanetra menjadi dua kategori utama yang memiliki beberapa penggolongan lagi dengan karakteristik-karakteristik yang melekat padanya, pengklasifikasian tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.

Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan, tunanetra dapat diklasifikasikan menjadi:

  1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir,
    yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan;
  2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil,
    mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan;
  3. Tunanetra pada tahap usia sekolah atau pada masa remaja,
    mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi (DPSLB dalam Asrori, 2020, hlm. 84).

Sementara itu, berdasarkan kemampuan daya penglihatan, tunanetra dapat diklasifikasikan menjadi:

  1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision),
    yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/ kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan;
  2. Tunanetra setengah berat (partially sighted),
    yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
  3. Tunanetra berat (totally blind),
    yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat (DPSLB dalam Asrori, 2020, hlm. 84.

Faktor Penyebab Tunanetra

Anak-anak dan individu yang mengalami gangguan penglihatan memiliki faktor penyebab yang berbeda. Beberapa di antaranya berasal dari dalam diri mereka, sebagain dari luar diri, ada yang telah tunanetra karena bawaan lahir, ada pula yang justru terjadi setelah dilahirkan. Untuk lebih jelasnya, beberapa faktor penyebab tunanetra adalah sebagai berikut.

  1. Faktor Prenatal (Sebelum Kelahiran)
    Faktor prenatal adalah bermaam faktor yang mempengaruhi perkembangan sebelum anak lahir atau pada saat masa anak di dalam kandungan dan diketahui sudah mengalami ketunaan. Berdasarkan periodisasinya, faktor prenatal dapat dibedakan menjadi periode embrio, periode janin muda, dan periode janin aktini. Pada tahap ini anak sangat rentan terhadap pengaruh trauma akibat guncangan, atau bahan kimia (Efendi, hlm. 12-13). Faktor lain yang menjadi faktor anak mengalami tunanetra berkaitan dengan kondisi anak sebelum dilahirkan yaitu gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, virus, dan sebagainya (Kosasih, 2012, hlm. 182).
  2. Faktor Neonatal (Saat Kelahiran)
    Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ketunanetraan pada saat kelahiran meliputi: anak lahir sebelum waktunya (prematurity), lahir dengan bantuan alat (tang verlossing), posisi bayi tidak normal, kelahiran ganda atau kesehatan bayi.
  3. Posnatal (Setelah Kelahiran)
    Kelainan pada saat posnatal yaitu kelainan yang terjadi setelah anak lahir atau saat anak dimasa perkembangan. Pada periode ini ketunaan bisa terjadi akibat kecelakaan, panas badan yang terlalu tinggi, kekurangan vitamin, bakteri (Kosasih, 2021, hlm. 182). Selain itu, faktor ini juga dapat disebabkan oleh kecelakaan yang sifatnya ekstern seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan kendaraan, dan lain-lain (Smart, 2020, hlm. 44).

Pendidikan dan Penanganan Tunanetra

Dari sudut pandang pendidikan, menurut Barraga (dalam Asrori, 2020, hlm. 84) tunanetra adalah individu yang mengalami ketidakmampuan melihat yang mempunyai gangguan atau kerusakan dalam penglihatannya sehingga menghambat prestasi belajar secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam pendekatan-pendekatan penyajian pengalaman belajar, sifat-sifat bahan yang digunakan, dan atau lingkungan belajar.

Berdasarkan definisi tersebut memberikan pemahaman bahwa perlu adanya penyesuaian terhadap seseorang yang mengalami keterbatasan melihat atau anak tunanetra yang memiliki kekhasan dan metode tersendiri untuk mencapai tahapan-tahapan yang sama dalam perkembangannya.

Anak-anak yang mengalami ketunanetraan sangat bergantung pada indra lain dalam dirinya untuk menyerap informasi di sekitarnya. Oleh karena itu, beberapa rancangan metode pembelajaran yang dapat dipergunakan oleh indera lain yang dimiliki oleh anak tunanetra meliputi:

  1. Sentuhan
    a) Tuntun tangan anak-anak untuk menyentuh benda-benda; b) Beri anak berbagai macam benda atau objek dengan berbagai tekstur, bentuk, dan ukuran; c) Beri kesempatan pada anak-anak untuk menjalankan aktivitas sehari-hari seperti bermain, mengurus diri, berkumpul bersama keluarga, di dapur atau di taman.
  2. Pendengaran
    a) Berbicara dengan anak di berbagai kesempatan, menyebutkan nama benda yang berada di sekelilingnya dan memberi tahu keadaan di sekelilingnya; b) Dorong anak untuk banyak berbicara dan bertanya; c) Hindari untuk menggunakan bahasa yang datar dengan anak-anak; d) Pastikan orang di sekitarnya sering berbicara dengan anak tersebut.
  3. Bau
    Pastikan anak-anak sering di dorong untuk membaui benda-benda di sekitarnya seperti makanan, sabun, minuman, bensin, minyak wangi, dan sebagainya.
  4. Rasa
    a) Dorong anak memasukkan benda ke dalam mulut untuk meningkatkan sensitivitas lidah, namun sebelumnya pastikan benda tersebut bersih dan aman; b) Berikan makanan dan minuman yang bermacam-macam rasa, tekstur, dan beri tahu nama makanan dan minuman itu (Jamila K.A, 2008, hlm. 86-87).

Sementara itu, beberapa panduan untuk guru yang memiliki murid dengan masalah penglihatan di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Beritahukan pada kelas kehadiran anda ataupun orang lain.
  2. Panggil murid tersebut dengan menggunakan namanya.
  3. Jauhkan murid itu dari cahaya yang menyilaukan.
  4. Gunakan perkataan yang sesuai dan spesifik apabila menyuruhnya melakukan sesuatu dan hindari untuk menggunakan perkataan di sini, di sana, ini, itu, dan sebagainya.
  5. Jelaskan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan penggunaan indra penglihatan.
  6. erangkan dan beri kesempatan pada murid untuk membiasakan diri dengan keadaan di kelas atau tempat lain yang dekat dengannya.
  7. Beri informasi lisan mengenai perubahan apapun yang terjadi.
  8. Gunakan buku yang sesuai untuk mereka.
  9. Walaupun murid mungkin dapat mengenali guru ataupun orang lain melalui suara mereka, selalu kenalkan diri jika berinteraksi dengan mereka.
  10. Jangan berbicara dengan keras di hadapannya (Jamila K.A., 2008, hlm. 88-89).

Perkembangan Anak Tunanetra

Berdasarkan hasil penelitian Heyes (seorang ahli pendidikan tunanetra) terhadap kondisi kecerdasan anak tuna netra, menyimpulkan bahwa:

  1. Ketunanetraan tidak secara otomatis mengakibatkan kecerdasan rendah;
  2. Mulainya ketunanetraan tidak mempengaruhi tingkat kecerdasan;
  3. Anak tuna netra ternyata banyak yang berhasil mencapai prestasi intelektual yang baik, apabila lingkungan memberikan kesempatan dan motivasi kepada anak tuna netra untuk berkembang (Efendi dalam Asrori, 2020, hlm. 85).

Cruickshank (dalam Asrori, 2020, hlm. 86) menjelaskan bahwa aplikasi terhadap struktur kecakapan anak tuna netra yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkomparasikan dengan anak normal, yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Anak tunanetra menerima pengalaman nyata yang sama dengan anak normal, pengamatan tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam pengertiannnya sendiri.
  2. Anak tunanetra cenderung sering menggunakan pendekatan konseptual yang abstrak menuju ke konkret, kemudian menuju fungsional terhadap konsekuensinya, sedangkan pada anak normal yang terjadi sebaliknya.
  3. Anak tunanetra perbendaharaan kata-katanya terbatas pada definisi kata.
  4. Anak tunanetra tidak dapat membandingkan, terutama dalam hal kecakapan numerik.

Referensi

  1. Asrori. (2020). Psikologi pendidikan pendekatan multidisipliner. Banyumas: Pena Persada.
  2. Efendi, Mohammad. (2006). Pengantar psikopedagogik anak berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.
  3. Jamila K. A., M. (2008). Special education for special children: panduan pendidikan khusus anak-anak dengan ketunaan dan learning disabilities, terj. edy sembodo. Jakarta: Hikmah.
  4. Kosasih, E. (2012). Cara bijak memahami anak berkebutuhan khusus. Bandung: Yrama Widya.
  5. Murtie, Afin. (2017). Ensiklopedia anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta: Maxima.
  6. Smart, Aqila. (2020). Anak cacat bukan kiamat: metode pembelajaran dan terapi untuk anak berkebutuhan khusus. Yogjakarta: Katahati.
  7. Somantri. (2014). Psikologi anak luar biasa. Bandung: Refika Aditama.
  8. Wikasanti, E. (2017). Pengembangan life skills untuk anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta: Maxima.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *