Tunarungu adalah individu yang memiliki gangguan dalam pendengarannya, baik secara keseluruhan ataupun masih memiliki sisa-sisa pendengaran (Asrori, 2020, hlm. 87). Dengan demikian anak atau orang pada umumnya dikatakan tunarungu apabila tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara.

Batasan dari kurangnya pendengaran ini adalah bahkan ketika diberikan alat bantu dengar, mereka tetap mengalami kesulitan yang tinggi untuk mendengar. Dengan demikian, meskipun anak tunarungu sudah diberikan sebuah alat bantu dengar, tetap saja ia masih memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa anak tersebut mengalami tunarunguan. Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen. Oleh karena memiliki hambatan dalam pendengaran, individu tunarungu juga akan memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka sering disebut tunawicara.

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah berbagai literasi dan panduan umum mengenai ketunarunguan menurut para pendapat ahli, dimulai dari pengertiannya terlebih dahulu.

Pengertian Tunarungu

Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” yang berarti “kurang” dan “rungu” yang bermakna “pendengaran”. Dengan demikian secara makna kata, tunarungu berarti kurang pendengaran (Asrori, 2020, hlm. 86). Sementara itu menurut Haenudin (2013, hlm. 53) tunarungu adalah kondisi individu yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran yang membawa dampak dalam kehidupan secara kompleks.

Dari perspektif pendidikan, anak tunarungu merupakan seorang anak yang kehilangan seluruh atau sebagian pendengarannya sehingga kurang mampu berkomunikasi, dan walaupun sudah diberikan alat bantu pendengaran namun masih tetap memerlukan pendidikan secara khusus (Sulthon, 2021, hlm. 15). Berbagai pendidikan khusus ini dapat meliputi kemampuan membaca gerak bibir orang lain, hingga kemampuan berbicara dengan lancar tanpa harus benar-benar mampu mendengarkan apa yang ia ucapkan.

Sementara itu Dwijosumatro (dalam Hamid, 2017, hlm. 5) menyatakan bahwa tunarungu berarti keadaan kehilangan pendengaran pada telinga seseorang sehingga tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indera pendengaran. Definisi ini berimplikasi bahwa bukan hanya komunikasi ujaran verbal saja yang terhambat oleh ketunarunguan, akan tetapi bunyi-bunyian yang dapat memberikan suatu tanda hingga yang sengaja dijadikan simbol juga termasuk di dalamnya.

Lebih lanjut Murni (dalam Asrori, 2020, hlm. 86) menjelaskan bahwa  tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli, yakni kehilangan kemampuan mendengar sehingga hal tersebut menghambat suatu proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar di mana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.

Dapat disimpulkan tunarungu adalah keadaan kekurangan atau kehilangan kemampuan pendengarannya, sehingga mengalami hambatan untuk berkomunikasi walaupun sudah menggunakan alat bantu dengar dan membutuhkan pendidikan secara khusus untuk mengembangkan kemampuannya agar dapat mengurangi bahkan hingga menghilangkan dampak dari kekurangannya itu.

Jenis Tunarungu

Andreas (dalam Asrori, 2020, hlm. 86) mengemukakan, seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu, dan ketunarunguan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang dengar (hard of hearing).

  1. Tuli merupakan seseorang yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi.
  2. Sedangkan kurang dengar adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).

Namun demikian tentunya kita dapat mengklasifikasikan lagi dua kategori utama dari ketunarunguan tersebut yang akan di bahas pada pemaparan di bawah ini.

Klasifikasi Tunarungu

Klasifikasi tunarungu dapat diukur dan dinyatakan dengan menggunakan satuan bunyi decibel (dB). Berdasarkan satuan tersebut, klasifikasi dari ketunarunguan menurut Hamid (2017, hlm. 6-8) adalah sebagai berikut.

  1. Tunarungu ringan (27–40 Db)
    Merupakan anak tunarungu yang tergolong memiliki hambatan pendengaran yang ringan sulit mendengar suara dari jarak jauh sehingga membutuhkan terapi bicara agar mampu mengembangkan bahasanya.
  2. Tunarungu sedang (41 – 55 Db)
    Merupakan individu tunarungu yang tergolong memiliki hambatan sedang mengerti percakapan dengan jarak 1-2 m secara berhadapan.
  3. Tunarungu agak berat (56 – 70 Db)
    Merupakan orang tunarungu yang tergolong hambatan agak berat hanya bisa mendengar suara dengan jarak dekat dan memerlukan alat bantu pedengaran. Dengan demikian diperlukan latihan pendengaran serta latihan mengembangkan kemampuan bicara dan bahasa.
  4. Tunarungu berat (70 – 90 Db)
    Merupakan individu tunarungu yang tergolong memiliki hambatan yang berat yang hanya bisa mendengar suara-suara keras dari jarak dekat. Hal ini berarti membutuhkan pendidikan khusus secara intensif, alat bantu dengar serta latihan untuk mengembangkan kemampuan dalam bicara dan bahasanya.
  5. Tunarungu berat sekali (90 Db – lebih)
    Merupakan Anak Tunarungu yang tergolong memiliki hambatan pendengaran yang berat sekali mungkin ia masih mendengar suara keras sekali, tetapi mereka lebih menyadari suara melalui getaran dari pada dari pada pola suara dan selalu mengandalkan penglihatannya dari pada pendengarannya. Dengan demikian berarti dalam berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dan membaca ujaran.

Selain berdasarkan kemampuan mendengar berdasarkan satuan bunyi, tunarungu juga dapat diklasifikasikan berdasarkan aspek lain yang akan disampaikan sebagai berikut.

  1. Berdasarkan sifat terjadinya
    a) Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah mengalami/menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi; b) Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.
  2. Berdasarkan tempat kerusakan
    a) Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli Konduktif; b) Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara, disebut Tuli Sensoris.
  3. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa
    a) Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk sistem lambang; b) Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami system lambang yang berlaku di lingkungan (Winarsih dalam Asrori, 2020, hlm. 88).

Ciri Tunarungu

Menurut Geniofam, ciri dari individu yang mengalami tunarungu secara umum adalah sebagai berikut.

  1. Tidak mampu mendengar.
  2. Terlambat perkembangan bahasa.
  3. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi.
  4. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara.
  5. Ucapan kata tidak jelas.
  6. Kualitas suara aneh/monoton.
  7. Sering memiringkan kepala dalam proses usaha untuk mendengar.
  8. Banyak perhatian terhadap getaran.
  9. Keluar nanah dari dalam telinga.
  10. Terdapat kelainan organis telinga.

Karakteristik dan Perkembangan Anak Tunarungu

Menurut Hamid (2017, hlm. 6-8) karakteristik anak tunarungu secara garis besar adalah sebagai berikut.

1. Karakteristik tunarungu dalam segi intelegensi

Pada hakikatnya semua manusia mempunyai kemampuan intelektual yang sama tetapi karena Anak Tunarungu tidak sama dengan anak yang normal dalam pendengaran menjadikan Anak Tunarungu memiliki intelegensi rendah. Hal ini Karena perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa Anak Tunarungu akan menampakkan intelegensi yang rendah salah satunya disebabkan karena kesulitan dalam memahami sebuah bahasa.

2. Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara

Anak Tunarungu dalam berbahasa dan bicara mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Anak Tunarungu miskin dalam kosa kata.
  2. Anak Tunarungu sulit mengartikan ungkapan yaitu ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan.
  3. Anak Tunarungu kurang menguasai irama dan gaya bahasa (Hamid, 2017, hlm. 6-8).

Perkembangan bahasa dan bicara pada anak tunarungu sampai masa meraban tidak mengalami hambatan karena meraban merupakan kegiatan alami pernafasan dan pita suara. Setelah masa merawan, perkembangan bahasa dan bicara, anak tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat. Oleh karena anak tunarungu tidak bisa mendengar, kemampuan berbahasanya tidak akan berkembang jika mereka tidak dididik atau dilatih secara khusus. Akibatnya dibandingkan dengan anak yang mendengar dengan usia yang sama, maka dalam perkembangan bahasanya akan membuat jauh tertinggal.

3. Karakteristik tunarungu dalam segi kepribadian, emosi dan sosial

Ketunarunguan dapat menyebabkan manusia berada di dalam keadaan yang terasing. Anak Tunarungu sering kali tidak dilibatkan keluarganya dalam berbagai kegiatan di dalam keluarga. Kemampuan komunikasi untuk menjelaskan kejadian sehari-hari menuntut banyak kesabaran dan ketelatenan pihak orang tua. Terlambatnya proses komunikasi mengakibatkan Anak Tunarungu mengalami kekurangan dalam berbagai hal. Sehingga pada perkembangan selanjutnya kepribadian, emosi dan sosial peserta didik tunarungu mengalami hambatan dan pada akhirnya dapat menimbulkan beberapa aspek negatif.

Penyebab Tunarungu

Ada beberapa sebab mengapa seorang individu atau anak mengalami ketunarunguan. Secara umum, penyebab ketunarunguan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

  1. Penyebab ketunarunguan sebelum anak dilahirkan atau anak masih dalam kandungan.
  2. Penyebab ketunarunguan pada waktu proses kelahiran atau baru dilahirkan.
  3. Penyebab ketunarunguan sesudah dilahirkan.

Hambatan Belajar Anak Tunarungu

Hambatan belajar Anak Tunarungu merupakan suatu hambatan belajar yang dimiliki Anak Tunarungu terutama disebabkan oleh faktor dari dalam yaitu kehilangan pendengaran. Kehilangan pendengaran menjadi dampak yang mempengaruhi kehidupan. Ketunarunguan memberikan dampak pada diri penyandangnya, termasuk memerikan hambatan tertentu dalam belajar. Menurut Hamid (2017, hlm. 32) beberapa hambatan belajar pada anak tunarungu yang harus diperhatikan oleh orang tua dan pendidik adalah sebagai berikut.

  1. Hambatan Komunikasi
    Kehilangan pendengaran mengakibatkan hambatan dalam berkomunikasi baik secara verbal, bicara, dan memahami bahasa orang lain. Orang yang kehilangan pendengaran juga mengakibatkan mereka hanya bisa mendengar dengan cara terbatas dan bisa salah mengartikan sesuatu yang mereka dapat.
  2. Hambatan dalam Perkembangan Kognitif
    Perkembangan kognitif di sebabkan karena kurangnya berbahasa. Anak Tunarungu sering mendapatkan prestasi akademik yang rendah. Hal tersebut bukan karena masalah kognitif yang mengakibatkan rendah. Namun karena kesulitan-kesulitan bahasa yang mereka miliki mengakibatkan prestasi akademiknya rendah. Tugas pendidik harus mampu menjadikan kognitif peserta didik lebih baik lagi.
  3. Hambatan dalam Perkembangan Emosi dan Penyesuaian Sosial
    Anak Tunarungu memiliki pendengaran yang tidak normal. Padahal pendengaran sangat penting untuk dalam menangkap sesuatu yang didengar tidak terjadi kesalahpahaman. Anak Tunarungu juga memiliki kekurangan bahasa hingga saat menyampaikan perasaannya kepada orang lain terjadi kesalahpahaman. Kesalahpahaman mengakibatkan Anak Tunarungu menjadi emosi dan sulit untuk penyesuaian dalam sosial.

Prinsip Pembelajaran bagi Anak Tunarungu

Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip pembelajaran untuk anak tungarungu menurut Hamid (2017, hlm. 13-15).

  1. Prinsip Individual
    Prinsip individual merupakan suatu prinsip di mana pendidik dituntut memperhatikan perbedaan-perbedaan individu peserta didik. Dengan demikian dalam pendidikan anak tunarungu perbedaan individu menjadi luas dan lengkap. Perbedaan secara umum berupa kemampuan mental, fisik, usia serta budaya. Kemudian perbedaan khusus yang dimiliki Anak Tunarungu berupa tuli dan penyebab ketunarunguan masih memiliki sisa pendengaran dan masa terjadinya ketunarunguan.
  2. Prinsip Totalitas
    Prinsip totalitas memungkinkan Anak Tunarungu mendapatkan pengalaman yang hanya mengandalkan kemampuan suara. Hal ini berarti pendidik mendorong peserta didiknya agar dapat melibatkan semua pengalaman pengindraannya. Anak Tunarungu harus bisa memanfaatkan pendengarannya untuk dapat mengenali suara burung. Pengalaman yang didapat Anak Tunarungu dalam memahami burung akan menjadi luas dan mendalam.
  3. Prinsip aktivitas mandiri
    Prinsip aktivitas mandiri merupakan suatu prinsip di mana pendidik mendorong peserta didiknya agar mandiri dan aktif. Pendidik membantu peserta didik dalam belajar dan Anak Tunarungu yang mencari materi dan menemukan materi. Pendidik memberi motivasi kepada Anak Tunarungu agar semangat belajar. Anak Tunarungu harus mencatat materi dan menguasai isi materi. Materi yang dipelajari juga dikaitkan di kehidupan nyata.

Referensi

  1. Asrori. (2020). Psikologi pendidikan pendekatan multidisipliner. Banyumas: Pena Persada.
  2. Hamid, M. (2017). Pembelajaran peserta didik tunarungu pada satuan pendidikan khusus. Jakarta: Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
  3. (2021). Pendidikan anak berkebutuhan khusus. Depok: Rajawali Pers.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *