Cognitive dissonance adalah suatu kondisi membingungkan yang terjadi pada seseorang ketika pemikiran dan perilaku mereka tidak konsisten terhadap pemikiran dan perilaku mereka yang lain sehingga mendorong mereka untuk mengubah pikiran, perasaan, dan tindakan agar sesuai dengan pembaharuan yang diperlukan. Seperti yang diungkapkan oleh Maryam (2018, hlm. 107) bahwa cognitive dissonance atau disonansi kognitif adalah sebuah keadaan yang tidak menyenangkan, seperti ketika kita memiliki sikap yang tidak sesuai dengan tingkah laku kita.

Dissonance atau disonansi berarti “ketidaksesuaian” yang dalam konteks disonansi kognitif berarti adanya ketidaksesuaian pemikiran atau nalar. Teori ini berkaitan erat dengan gejala konasi atau kehendak dan motivasi orang untuk membuat keputusan (termasuk keputusan pembelian).

Sebelum cognitive dissonance theory ini muncul, banyak ahli psikologi yang mempercayai bahwa orang termotivasi secara kuat oleh sebuah keinginan untuk mencapai konsistensi kognitif (cognitive consistency), yaitu suatu keadaan di dalam pikiran di mana sebuah keyakinan, sikap, dan perilaku, semuanya saling mendukung satu sama lain. Teori konsistensi kognitif melihat bahwa secara umum individu itu selalu berpikir logis.

Akan tetapi, Leon Festinger (1957) mengubah asumsi ini, dengan mengajukan teori disonansi kognitif (cognitive dissonance theory) yang menyatakan bahwa motivasi yang kuat untuk menjaga konsistensi kognitif juga bisa menimbulkan perilaku yang tidak rasional (irrational behavior) dan menyimpang (maladaptive). Kondisi ini tentunya akan menimbulkan afeksi negatif yang berarti perasaan tidak menyenangkan seperti rasa bersalah.

Menurut Festinger, kita memegang banyak kognisi (pemikiran) tentang diri kita sendiri dan dunia di sekitar kita. Kognisi ini mencakup segala sesuatu yang kita ketahui tentang keyakinan, sikap, dan perilaku kita. Meskipun secara umum kognisi kita berdampingan dengan baik, terkadang mereka bertentangan antara satu dengan lainnya. Misalnya, kita memuji sesuatu yang sebenarnya tidak kita sukai. Saat hal ini terjadi, maka dapat terjadi inkonsistensi antara pemikiran dan perilaku seseorang. Dalam kondisi tertentu, diskrepansi seperti ini dapat membangkitkan kondisi ketegangan yang tidak menyenangkan, yang dikenal sebagai disonansi kognitif (cognitive dissonance).

Elemen-Elemen Kognisi Festinger

Cognitive dissonance merupakan salah satu hubungan yang dapat terjadi pada teori kesadaran Festinger. Dalam teori Festinger, sektor-sektor dalam lapangan kesadaran individu dinamakan sebagai elemen-elemen kognisi. Elemen-elemen kognisi itu saling berhubungan satu sama lain dan terbagi menjadi tiga jenis hubungan yang akan dijelaskan sebagai berikut.

  1. Hubungan yang tidak relevan
    Contoh dari hubungan yang tidak relevan misalnya seseorang mengetahui bahwa setiap musim hujan Jakarta kebanjiran dan ia pun mengetahui bahwa di Kalimantan Timur ada sebuah pabrik pupuk. Hubungan antara kedua hubungan kognisi itu tidak relevan hingga tidak timbul reaksi apa-apa pada diri orang yang bersangkutan.
  2. Hubungan disonan (Cognitive Dissonance)
    Jika hubungan relevan tidak menghasilkan reaksi apa-apa pada seseorang, perasaan disonan akan menimbulkan perasaan tidak senang, janggal, penasaran, aneh, tidak puas dan sebagainya sehingga mendorong orang yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu untuk mencapai keadaan konsonan.
  3. Hubungan konsonan
    Keadaan konsonan itu sendiri menimbulkan rasa puas, senang, bisa mengerti dan sebagainya. Hubungan yang disonan disebabkan oleh elemen-elemen kognisi yang saling menyangkal, sedangkan hubungan yang konsonan adalah hubungan yang tidak disonan. Misalnya: kita mengetahui bahwa jika seorang berdiri di hujan (elemen pertama) ia akan basah (elemen kedua). Kalau kita melihat orang basah karena berdiri di hujan, maka kita akan merasakan suatu keadaan yang bisa di mengerti sebagai akibat adanya hubungan yang konsonan antara elemen-elemen kognisi. Tetapi kalau orang yang berdiri di hujan itu tidak basah, maka kita yang melihatnya akan merasa heran, aneh, curiga dan sebagainya sebagai akibat dari adanya hubungan yang disonan antara elemen kognisi yang kedua (tidak basah) yang menyangkal elemen kognisi yang pertama (berdiri d bawahi hujan) (Saleh, 2018, hlm. 195).

Proses Cognitive Dissonance

Menurut Festinger, tahap atau proses dari cognitive dissonance itu sendiri adalah sebagai berikut.

  1. Cognitive Disrepancy
    Dua atau lebih kognisi mengalami perbedaan.
  2. Cognitive Dissonance
    Muncul keadaan afektif negatif yang tidak menyenangkan.
  3. Motivation
    Timbulnya kehendak atau keinginan untuk mencapai konsistensi kognisi.
  4. Discrepancy Reduction
    Yakni usaha untuk mengurangi disonansi sehingga mencapai kognisi yang lebih tersesuaikan agar kognisi lebih konsisten atau tidak terlalu kontradiktif.

Mengurangi Cognitive Dissonance

Secara umum, individu tidak menyukai ketidakkonsistenan dalam dirinya dan merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Saat individu menyadari terjadi ketidakonsistenan antara sikap dan perilakunya, individu akan termotivasi untuk melakukan upaya mengurangi disonansi tersebut.

Seseorang dapat mengurangi disonansi kognitif dengan cara melakukan pengurangan ketidaksesuaian yang  membutuhkan  perubahan  kognisi  untuk  mengurangi  ketidaksesuaian kognitif tersebut sehingga dapat mencapai cognitive harmony (Chaplin, 1968).

Cara untuk melakukan pengurangan disonansi kognitif sendiri menurut Festinger (dalam Maryam, 2018, hlm. 108) dapat dilakukan melalui tiga mekanisme dasar yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Mengubah sikap atau tingkah laku agar konsisten satu dengan lainnya.
    Contohnya, seorang gadis membeli baju yang mahal, akan tetapi teman-temannya ternyata tidak. Gadis tersebut mengalami disonan karena ternyata baju mahal yang telah dibelinya dianggap tidak bagus (elemen 1 ditolak oleh elemen 2). Reaksi gadis itu mungkin akan menjual kembali atau memberikan baju itu kepada orang lain.
  2. Mencari informasi baru yang mendukung sikap atau tingkah laku (mengubah atau menambah elemen kognitif baru).
    Masih menggunakan contoh gadis yang membeli baju mahal di atas, gadis itu akan mencoba meyakinkan teman-temannya bahwa baju tersebut sedang tren, disukai dan dikenakan oleh influencer, dan sebagainya.
  3. Melakukan trivialisasi (trivialization),
    yaitu mengabaikan ketidakkonsistenan yang terjadi atau menganggap bahwa perbedaan antara sikap dan tingkah laku tidak penting.

Lebih lanjut, menurut menurut Hinojosa dkk (2017), Festinger memberikan beberapa konsep inti dalam kerangka kerja pemikirannya mengenai cognitive dissonance. Beberapa konsep-konsep kunci yang dapat digunakan untuk mengurangi cognitive dissonance tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Mengetahui skenario apa yang mungkin menyebabkan disonansi kognitif, seperti: counterattitudinal behavior, free choice, dan effort/behavioral commitment);
  2. Apa yang memoderasi gairah disonansi dan proses pengurangan, seperti: responsibility for choice, similar alternatives, dan leading alternatives;
  3. Pendekatan apa   untuk pengurangan perbedaan  yang dapat diterapkan, seperti: attitude change toward the behavior, escalation of commitmenttrivialization of the importance of the original behavior, dan selective

Referensi

  1. Chaplin, J.P. (1968), Dictionary of psychology. New York: Dell Publishing.
  2. Hinojosa, A. S., Gardner, W. L., Walker, H. J., Cogliser, C., & Gullifor, D. (2017). A review of cognitive  dissonance theory in management research: opportunities for further development. Journal of Management, 43(1), 170-199.
  3. Maryam, E.W. (2018). Psikologi sosial. Sidoarjo: UMSIDA Press.
  4. Saleh, A.A. (2018). Pengantar psikologi. Makassar: Penerbit Aksara Timur.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *