Daftar Isi ⇅
show
Keindahan adalah hal magis yang mampu menyihir siapa saja untuk takjub bahkan takluk padanya. Gelagatnya selalu menarik bahkan memaksa perhatian kita untuk selalu tertuju padanya. Kesenangan, kepuasan, rasa gemas hingga tak tahu harus berbuat apa adalah dampak yang mampu diberikan.
Tak heran apabila persoalan keindahan atau estetika ini telah menjadi sorotan para cendekia dari sejak dulu kala. Bahkan perdebatannya juga tak kalah sengit dari filsafat lain yang membahas topik berat sekali pun.
Keindahan itu subjektif, “beauty is in the eye of the beholder”, katanya. Namun kenyataan sosialnya tidaklah demikian.
Kulit putih dan hidung mancung seakan menjadi keharusan agar seorang perempuan dapat disebut cantik. Galeri dan museum seni memiliki kriteria khusus terhadap keindahan karya yang akan dipamerkannya. Media sosial juga memiliki standar estetika tak tertulis yang tersirat pada kecepatan penularan virus akal budinya.
Lantas, sebetulnya apa yang membuat sesuatu jadi Indah atau estetis? Estetika adalah sebuah usaha untuk menjawabnya.
Pengertian Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang membahas mengenai keindahan atau hal indah yang terdapat di alam dan seni. Hakikat estetika adalah untuk menjawab pertanyaan “mengapa suatu hal bisa menjadi indah?”
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten, seorang filsuf Jerman yang berpendapat bahwa objek seni itu berwujud fisik, akan tetapi keindahannya tidaklah berwujud sama sekali.
Sehingga meskipun suatu objek telah berwujud benda seni, belum tentu objek tersebut memancarkan keindahan estetik. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi khusus untuk mempersoalkan keindahan yang tak bisa ditemukan pada wujud fisiknya ini.
Meskipun pembahasan estetika sebagai ilmu baru dimulai pada abad ke-17, namun pemikiran tentang keindahan dan seni sudah ada dari sejak zaman Yunani Kuno.
Plato
Salah satu filsuf Yunani yang membahas perihal keindahan ini adalah Plato. Menurut Plato, sumber rasa indah adalah cinta kasih, karena ada kecintaan itulah maka manusia selalu ingin menikmati kembali apa yang telah dicintainya, yakni keindahan itu sendiri. Dengan kata lain, cinta karena terbiasalah yang menyebabkan sesuatu menjadi indah.
Plato juga berpendapat bahwa keindahan tidaklah berupa fisik saja, akan tetapi ada juga rasa cinta terhadap keindahan rohani, seperti pada kebaikan atau kebenaran.
Immanuel Kant
Selanjutnya, tokoh penting lain dalam persoalan estetika adalah Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang hidup di abad ke-18.
Menurut Kant, kemampuan penilaian kita sendirilah yang memungkinkan kita mengalami atau merasakan keindahan. Artinya, keindahan datang dari proses apresiasi manusia terhadap alam atau karya, bukan datang dengan sendirinya dari alam atau karya itu sendiri.
Kant juga menambahkan bahwa keindahan memiliki sifat tanpa pamrih atau tidak memedulikan fungsi, berwujud abstrak namun tetap memiliki tujuan dan bentuk karena manusia mampu menafsirkannya sendiri.
Theodor Fechner
Selanjutnya, pada akhir abad ke-18, Theodor Fechner meneliti estetika secara ilmiah dengan melakukan berbagai penelitian dan eksperimen. Misalnya dengan mengumpulkan data tentang warna atau bentuk yang paling banyak disukai oleh responden, serta alasan kenapa mereka menyukainya.
Hasil yang diperoleh itu kemudian dianalisis dan menghasilkan berbagai kesimpulan untuk menentukan unsur dan prinsip apa saja yang mampu menciptakan suatu hal menjadi indah atau estetis.
Pada intinya, Fechner berhasil menciptakan tolak ukur dan formula untuk menilai bahkan menciptakan sesuatu yang indah. Meskipun penelitian Fechner masih menjadi perdebatan hingga sekarang, namun hasil penelitiannya adalah cikal-bakal dari unsur dan prinsip seni yang sering disebut sebagai Nirmana di Indonesia.
Nirmana adalah pengejawantahan setiap unsur pembangun dari suatu keindahan visual seperti garis, bentuk, ruang, dan asas-asas yang membuatnya indah seperti keseimbangan, kontras, penekanan, dan lain-lain.
Kini, Nirmana banyak digunakan oleh para akademisi seni dan desain untuk meneliti karya secara formal dan objektif. Para praktisi seni dan desain juga banyak menggunakannya sebagai acuan dasar untuk menciptakan karya yang indah.
Baca juga: Nirmana: Pengertian, Unsur, Asas, Fungsi & Studi Kasus
George Dickie
Maju cepat ke abad ini, maka kita akan menemui tokoh filsafat seni yang memberikan pandangan penting bagi estetika, yaitu George Dickie. Profesor Filsafat Seni dari Illinois University ini berpendapat bahwa keindahan dibentuk oleh institusi seni.
Institusi yang dimaksud bukanlah suatu organisasi formal yang didirikan untuk menilai seni. Akan tetapi institusi yang terbentuk sendiri oleh lingkungan sosial tertentu di mana keindahan atau seni itu berada.
Institusi yang ada dalam masyarakat tersebut akan melakukan evaluasi yang memberikan status pada sesuatu sebagai berstatus seni atau tidak.
Contohnya adalah bagaimana para seniman di suatu daerah akan membentuk komunitas, dan komunitas itu akan menentukan mana yang dapat disebut sebagai seni, atau siapa yang bisa disebut seniman. Setelah itu, akan terdapat institusi besar lainnya yang ikut menentukan karya mana saja yang dapat disebut sebagai seni, baik berupa galeri, kurator, kolektor, dan masyarakat dunia seni lainnya.
Fenomena institusi seni juga tentunya berlaku pada budaya populer dan lingkungan virtual. Misalnya, dalam platform instagram juga terdapat institusi seni, yakni kumpulan jutaan pengguna dan administrator instagram yang secara tidak langsung akan mengevaluasi gambar atau video seperti apa yang dianggap instagramable.
Pandangan pemberian status ini memang cukup kabur, karena apa yang dimaksud institusi seni juga kurang jelas. Institusi seni adalah semua orang yang memandang dirinya sebagai anggota dunia seni dan karenanya memiliki kapasitas untuk memberikan status.
Skeptikal karena tampaknya sembarangan, akan tetapi insitusi semacam ini mempertaruhkan martabatnya untuk menyatakan sesuatu adalah seni. Meskipun kabur dan skeptikal, namun inilah yang terjadi, lagi-lagi konstruksi sosial merupakan tolak ukur tinggi di kehidupan yang kini kita jalani.
Simpulan
Dari cinta, sensitivitas manusia, ilmiah, hingga berakhir menjadi konstruksi sosial, estetika sekaan tak pernah berhenti memberikan kejutan dibalik gemerlapnya yang menawan.
Namun semua itu hanyalah bagian dari pelayaran tak berujung untuk mencari keindahan sejati.
Karena nyatanya, kini banyak desainer yang menerapkan user experience atau pengalaman dan pendapat konsumennya sendiri sebagai tolak ukur utama dalam merancang karya.
Para pejuang keberagaman kecantikan juga terus melakukan berbagai gerakan sosial untuk memperjuangkan awareness mengenai keberagaman warna kulit, bentuk rambut, dan proporsi tubuh wanita yang beragam.
Karya seni murni yang buruk rupa dan sulit dimengerti oleh masyarakat juga merupakan sisa peperangan yang diperjuangkan oleh para perupa murni untuk melawan konstruksi sosial mengenai keindahan.
Belum lagi, kehadiran berbagai teknologi disruptif seperti kecerdasan buatan yang mampu menggambar apa saja berdasarkan teks, pasar NFT yang menjadi pesaing galeri, hingga teknologi deep fake yang mampu mengubah pakaian dan wajah seseorang dalam video akan semakin memperkeruh pergulatan yang terjadi di dunia estetika dan seni.
Semua perjalanan ini hanyalah menambah catatan baru untuk kita gunakan sebagai landasan dalam mengembangkan atau justru membantahnya melalui pemikiran dan karya baru yang akan kita ciptakan.
Baca juga: Estetika & Pengantar Filsafat Keindahan, Rasa dan Selera
Referensi
- Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.
- Gie, Liang. (1976). Garis Besar Estetik, Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Kaya.
- Burnham, Douglas. (1997). Immanuel Kant: Aesthetics. Internet Encyclopedia of Philosophy, Diakses tanggal 2018-02-28, https://www.iep.utm.edu/kantaest/#H2