Daftar Isi ⇅
show
Pengertian Semantik
Semantik adalah ilmu yang mempelajari makna (Verhaar, 2010 dalam Dhanawaty dkk, 2017, hlm. 87). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yakni “semantikos” yang artinya memberikan tanda, penting. Dengan kata lain, secara etimologi, semantik adalah pembelajaran tentang makna tanda.
Istilah “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik sebagai ilmu mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya.
Dapat disimpulkan bahwa arti semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Namun, dalam konteks linguistik, tanda atau lambang yang dimaksud menyangkut kode atau bahasa, spesifiknya: kata atau satuan gramatika yang lebih kecil lainnya yang memiliki makna.
Sehingga, dapat dikatakan pula bahwa apa itu semantik adalah ilmu yang mempelajari lambang atau tanda seperti kata yang menyatakan makna serta hubungan dan pengaruhnya terhadap penutur atau penggunanya (manusia).
Pengertian Semantik Menurut Para Ahli
Untuk memastikan kesahihan pemaparan di atas, berikut adalah beberapa pendapat para ahli lainnya mengenai pengertian semantik.
Tarigan
Semantik adalah telaah makna yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat (Tarigan, 1985, hlm. 7).
Abdul Chaer
Semantik adalah salah satu dari tiga tataran analisis bahasa (fonologi, gramatikal dan semantik) yang fokus mempelajari makna atau arti dalam bahasa (Chaer, 2013, hlm. 2).
Kridalaksana
Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang membahas makna suatu ungkapan atau kata atau cabang ilmu bahasa yang mengkaji antara lambang dan referennya, misalnya kata “kursi” bereferen dengan “sebuah benda yang fungsinya dipakai duduk dengan kaki terdiri atas empat” (Kirdalaksana, 1993, hlm. 193).
Kridalaksana (1993, hlm. 193-194) juga memberikan pengertian semantik sebagai (1) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara; (2) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
Keraf
semantik adalah bagian dari tatabahasa yang meneliti makna dalam bahasa tertentu, mencari asal mula dan perkembangan dari arti suatu kata (Keraf, 1982).
Izutsu
Semantik sebagaimana yang dipahami oleh ahli linguistik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena dalam pengertian yang lebih luas dari kata (Izutsu dalam Aminudin, 2000, 2-3).
Jenis Jenis Semantik
Menurut Chaer (2015, hlm. 6-11) terdapat empat jenis semantik yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa yang menjadi objek penelitiannya, empat jenis semantik tersebut adalah sebagai berikut.
- Semantik Leksikal
yang merupakan jenis semantik yang objek penelitiannya adalah leksikon dari suatu bahasa (misalnya bahasa Indonesia). - Semantik Gramatikal
yang merupakan jenis semantik yang objek penelitiannya adalah makna-makna gramatikal dari tataran morfologi. - Semantik Sintaksikal
yang merupakan jenis semantik yang sasaran penyelidikannya bertumpu pada hal-hal yang berkaitan dengan sintaksis. - Semantik Maksud
yang merupakan jenis semantik yang berkenaan dengan pemakaian bentuk-bentuk gaya bahasa, seperti metafora, ironi, litotes, dsb.
Manfaat Semantik
Pengetahuan semantik akan memudahkan para penulis seperti jurnalis dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Tanpa pengetahuan akan konsep-konsep polisemi, homonimi, denotasi, konotasi dan nuansa-nuansa makna tertentu akan sulit bagi mereka untuk dapat menyampaikan informasi secara tepat dan benar.
Bagi akademisi bahasa dan sastra, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoretis untuk menganalisis bahasa dalam penelitian bahasa atau untuk lebih menguasai dan memahami bahasa spesifik yang sedang dipelajarinya.
Bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan semantic akan memberi manfaat teoretis dan juga manfaat praktis. Manfaat teoretis karena seorang pengajar bahasa harus pula mempelajari dengan sungguh-sungguh akan bahasa yang diajarkannya.
Sedangkan manfaat praktis akan diperolehnya berupa kemudahan bagi dirinya dalam mengomunikasikan bahasa itu kepada murid-muridnya melalui berbagai makna yang tepat guna yang dikuasai karena memahami semantik.
Kajian dan Analisis Semantik
Kajian dan analisis semantik dilakukan dengan melihat makna dari berbagai sisi. Hal tersebut meliputi jenis, relasi, perubahan, medan, dan komponen makna yang menyelubunginya yang akan dibahas lengkap di sini. Namun, sebelum menyentuh hal tersebut, hakikat makna adalah hal pertama yang harus dipahami dalam mengarungi ilmu ini.
Hakikat Makna
Makna kata merupakan bidang kajian utama yang dibahas dalam ilmu semantik, sehingga memahaminya adalah hal yang krusial. Hornby (dalam Pateda, 1989, hlm. 45) mengatakan bahwa makna adalah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud.
Sementara itu, Aminuddin (1988, hlm. 53) berpendapat bahwa makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Kemudian, Fatimah (1993, hlm. 5) mengemukakan bahwa makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata).
Dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa makna meliputi beberapa unsur pokok seperti:
- makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar,
- penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai,
- perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.
Selain itu, Harimurti (2008:148) juga berpendapat bahwa makna (meaning, linguistic meaning, sense) dapat merujuk pada beberapa maksud, yakni:
- maksud pembicara,
- pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia,
- hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya,
- cara menggunakan lambanglambang bahasa.
Dapat disimpulkan bahwa makna merupakan arti dari suatu kata yang dimaksud pembicara sehingga membuat kata tersebut memiliki arti spesifik atau berbeda dengan kata-kata yang lain dan dapat dipahami sebagai suatu hal.
Namun, tidak selesai sampai di situ saja, makna juga ternyata memiliki banyak arti yang berbeda karena terdapat beberapa jenis makna yang berbeda pula.
Jenis Makna
Bahasa yang digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakat akan selalu menimbulkan makna atau pandangan yang berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena terdapat jenis makna yang berbeda.
Chaer (2013, hlm. 61) menyatakan bahwa jenis makna meliputi: makna leksikal, gramatikal, konstektual, referensial dan non referensial, denotatif, konotatif, konseptual, asosiatif, kata, istilah, idiom, serta makna peribahasa. Berikut adalah penjelasannya.
Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun (Dhanawaty dkk, 2017, hlm. 89). Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal “sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai”. Kuda dimaknai sebagai binatang kuda, bukan seperti “Kuda Besi” yang sebetulnya merujuk pada kereta api.
Intinya, makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, sesuai hasil observasi indra, atau makna apa adanya. Terkadang, mudahnya makna leksikal juga disebut sebagai makna yang ada dalam kamus.
Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang terbentuk ketika suatu proses gramatikal telah mengolah kata yang memiliki makna. Misalnya, proses afiksasi yang memberikan imbuhan terhadap suatu kata. “Kuda” ketika diberikan imbuhan “ber-“ akan memiliki makna yang berbeda, yakni: mengendarai kuda.
Makna Kontekstual
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks (Dhanawaty dkk, 2017, hlm. 90). Dalam konteks yang berbeda, suatu kata dapat memiliki makna yang berbeda pula. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini.
- Rambut di kepala kakek belum ada yang putih
- Nomor teleponnya ada pada kepala surat dinas itu.
- Sebagai kepala sekolah seharusnya ia menegur guru itu.
Ketiga contoh di atas memunculkan makna yang berbeda berkenaan sesuai dengan penepatan dan berbagai situasinya (konteks).
Makna Referensial dan Nonreferensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial jika ada referen atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan mobil adalah kata-kata yang bermakna refensial karena ada acuannya. Maksudnya, kuda dapat berdiri sendiri dan memiliki makna, sementara kata seperti dan, atau, karena tidak dapat berdiri sendiri karena membutuhkan kata referensial seperti kuda agar memiliki makna.
Sebaliknya, kata-kata seperti dan, atau, karena termasuk kata-kata yang bermakna nonreferensial karena kata-kata itu tidak memiliki referen atau acuan. Kata nonreferensial tidak dapat berdiri sendiri untuk memiliki makna.
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki sebuah leksem. Contohnya, “Kurus” berarti “keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran normal”. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama saja dengan makna leksikal yang telah dijelaskan di atas.
Sementara itu, makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang yang menggunakan kata tersebut. Misalnya kata “kurus” pada contoh di atas dapat diganti dengan diksi “ramping” yang terdengar lebih positif atau mengenakan bagi yang mendengarnya.
Kedua kata itu bersinonim, tetapi memiliki makna positif atau negative. Sinonim lain dari kata kurus dan ramping adalah krempeng. Jika krempeng adalah kata yang dipilih, maka kata itu lebih berkonotasi negatif atau bernilai rasa yang tidak mengenakan.
Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976 dalam Dhanawaty dkk, 2017, hlm. 91) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Berikut adalah penjelasannya.
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem (kata) terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Jadi, makna konseptual sebenarnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Sementara itu, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci, kata merah berasosiasi dengan berani.
Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap leksem atau kata memiliki makna dan makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya, makna kata itu baru menjadi jelas jika kata itu sudah berada dalam konteks.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Misalnya, kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama. Hal itulah yang disebut dengan makna kata. Padahal, secara istilah dalam ilmu kedokteran, kedua kata itu berbeda maknanya.
Dalam makna istilah, tangan bermakna “bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan”, sedangkan lengan adalah “bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu”. Dengan begitu, dapat dikatakan pula bahwa makna istilah bebas konteks, sedangkan makna kata tidak bebas konteks.
Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah suatu ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal (Dhanawaty dkk, 2017, hlm. 92). Contohny adalah “menjual gigi” tidak memiliki makna “gigi yang dijual”, tetapi bermakna “tertawa sangat keras”.
Sementara itu, makna peribahasa masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena asosiasi antara makna aslinya dengan maknanya sebagai peribahasa. Misalnya peribahasa “seperti anjing dengan kucing” yang bermakna “dua orang yang tidak pernah bisa akur”. Makna tersebut dari asosiasi bahwa anjing dan kucing adalah musuh yang selalu “berkelahi”.
Relasi Makna
Selain memiliki jenis yang berbeda, makna memiliki relasi yang berbeda pula. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. Terdapat beberapa relasi makna, meliputi: sinonim, antonim, polisemi, homonimi, ambiguiti, dan redundansi. Penjelasannya akan dipaparkan dalam uraian berikut ini.
Sinonim
Sinonim atau disebut juga sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara suatu ujaran dengan ujaran yang lainnya. Contohnya adalah kata benar dan betul. Meskipun begitu, sinonim sebetulnya tidak memiliki makna yang sama persis karena dipengaruhi oleh faktor:
- waktu,
- tempat dan wilayah,
- keformalan,
- sosial,
- kegiatan,
- nuansa makna.
Antonim
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara satu dengan yang lain. Contohnya adalah buruk berantonim dengan baik. Terdapat beberapa jenis antonim yang meliputi:
- antonim yang bersifat mutlak, seperti hidup dan mati,
- antonim yang bersifat relatif atau bergradasi, seperti besar dan kecil,
- antonim yang bersifat relasional, seperti membeli dan menjual,
- antonim yang bersifat hierarki, seperti gram dan kilogram.
Polisemi
Sebuah kata disebut polisemi jika kata itu memiliki makna lebih dari satu. Misalnya kata kepala yang memiliki tiga makna: (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu yang berada di sebelah atas (kepala surat).
Homonimi
Homonimi atau homonim adalah dua buah kata yang bentuknya kebetulan sama namun memiliki makna yang berbeda karena bentuk berlainan. Misalnya kata pacar yang bermakna “inai” dan pacar yang bermakna “kekasih”.
Terdapat dua jenis homonimi, yaitu homofon dan homograf. Homograf mengacu pada bentuk ujaran yang sama ejaannya, tetapi cara mengucapkannya tidak sama. Misalnya kata / təras/ yang bermakna “inti” dan /teras/ yang bermakna bagian “serambi rumah”.
Sebaliknya, Homofon memiliki kesamaan bunyi (fon), sehingga kata pacar “inai” dan pacar “kekasih” termasuk homofoni.
Hiponimi & Hipernim
Hiponimi atau hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Dhanawaty dkk, 2017, hlm. 94).
Contohnya adalah kata merpati dan kata burung. Kita dapat melihat bahwa merpati adalah burung, tetapi burung bukan hanya merpati, bisa juga tekukur, perkutut, kepodang, dan sebagainya. Merpati adalah salah satu hiponim dari burung. Sementara itu, burung yang memiliki “turunan jenis” lainnya disebut hipernim.
Sehingga dapat dikatakan bahwa merpati, tekukur, perkutut, dan kepodang adalah hiponim dari hipernim “burung”.
Hiponimi adalah usaha untuk membuat klasifikasi terhadap konsep-konsep yang generik menjadi spesifik.
Ambiguiti/Ketaksaan
Ambiguiti, ambiguitas atau ketaksaan adalah gejala kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Hal itu umumnya terjadi pada bahasa tulis karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental (ekspresi) tidak dapat digambarkan secara akurat.
Contohnya adalah bagaimana bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi “buku sejarah itu baru terbit” atau “buku itu berisi sejarah zaman baru”.
Redundansi
Istilah redundansi biasanya diartikan penggunaan unsur segmental yang berlebih-lebihan dalam suatu ujaran, sehingga digunakan secara sia-sia atau percuma. Misalnya kalimat Nita mengenakan baju berwarna merah, tidak akan berbeda dengan ujaran yang lebih singkat: Nita berbaju merah.
Perubahan Makna
Bahasa adalah suatu hal yang “hidup” dan akan terus mengalami perubahan. Perubahan makna menjadi salah satu penyebabnya. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak faktor, di antaranya adalah faktor-faktor berikut ini.
- Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi. Misalnya kata sastra pada mulanya bermakna “tulisan” lalu berubah menjadi “bacaan” kemudian berubah lagi menjadi “buku yang baik isinya” kemudian berubah lagi menjadi “karya bahasa yang bersifat imajinatif dan kreatif”.
- Perkembangan sosial budaya. Contohnya adalah kata saudara pada mulanya berarti “terlahir dari ibu yang sama/seperut” tetapi kini digunakan untuk menyebut orang lain sebagai sapaan.
- Perkembangan pemakaian kata. Misalnya dalam bidang pertanian dapat ditemukan kosakata menggarap. Tetapi, sekarang kata tersebut juga digunakan dalam bidang lain dengan makna “membuat atau mengerjakan sesuatu”, misalnya menggarap skripsi.
- Pertukaran tanggapan indra. Misalnya rasa pedas yang seharusnya dirasakan oleh indra perasa (lidah) menjadi ditanggap oleh alat pendengar seperti “ujaran sangat pedas”.
- Adanya asosiasi. Maksudnya, ada hubungan antara ujaran yang satu dengan yang lain sehingga bila disebut ujaran itu, maka yang dimaksud adalah sesuatu yang lain berkenaan dengan ujaran tersebut. Misalnya kata amplop sebenarnya bermakna “sampul surat”, tetapi amplop menjadi bermakna “uang sogok” dalam kalimat “Beri saja amplop, agar urusannya cepat selesai”.
Terdapat beberapa jenis perubahan makna, meliputi:
- Perubahan Meluas,
Misalnya kata baju yang mulanya bermakna pakaian sebelah atas saja, tetapi kini yang dimaksud bukan hanya baju, termasuk celana, sepatu, dasi, bahkan topi. Seperti dalam kalimat “murid-murid sekolah kini kembali mengenakan baju seragamnya”. - Perubahan Menyempit,
Artinya dahulu sebuah kata memiliki makna yang sangat umum, tetapi kini maknanya menjadi sangat khusus. Misalnya kata sarjana, dulu bermakna “orang cerdik”, namun kini hanya bermakna “lulusan perguruan tinggi” saja. - Perubahan Total,
Berarti makna yang dimiliki sekarang sudah berbeda jauh dengan makna aslinya. Contohnya adalah kata ceramah yang dulu bermakna “cerewet”, sekarang bermakna “untaian mengenai suatu hal di muka orang banyak”.
Medan Makna
Medan makna atau medan leksikal (semantic domain) adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan satu bagian dari kebudayaan atau realitas alam semesta yang sama.
Contohnya adalah:, nama-nama planet, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga. Masing-masing contoh tersebut merupakan satu medan makna.
Kata atau leksem yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan semantis dapat dibedakan menjadi medan kolokasi dan medan set.
Medan Kolokasi
Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik unsur-unsur leksikal. Perhatikan kalimat berikut.
Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak dan tenggelam beserta segala isisnya.
Kita mendapatkan bahwa kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan tenggelam merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama, yakni lingkungan kelautan.
Medan Set
Kelompok medan set menunjuk pada hubungan paradigmatik karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu bisa saling digantikan. Sekelompok kaya yang satu set biasanya memiliki kelas kata yang sama. Contohnya, kita dapat melihat kelompok set kata remaja dan sejuk, seperti berikut ini.
Remaja | Sejuk |
---|---|
Lansia | Dingin |
Dewasa | Hangat |
Anak-anak | Terik |
Bayi | Dingin |
Komponen Makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata terdiri dari sejumlah komponen makna yang membentuk keseluruhan makna kata itu. komponen makna dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu berdasarkan pengertian-pengertian yang dimilikinya.
Misalnya, kita dapat melakukan analisis komponen makna untuk mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim. Contohnya adalah kata ayah dan bapak adalah dua kata yang bersinonim. Dua kata yang bersinonim maknanya tidak akan sama persis dan tentunya terdapat perbedaan makna.
Jika dianalisis, kata ayah dan bapak dari segi komponen makna, maka kata ayah dan bapak sama-sama memiliki komponen makna: manusia, dewasa, dan sapaan kepada orang tua laki-laki. Bedanya, kata ayah tidak memiliki komponen sapaan kepada orang yang dihormati, sedangkan kata bapak memiliki komponen makna sapaan kepada orang yang dihormati. Sehingga, tabel analisis komponen makna dari ayah dan bapak adalah seperti di bawah ini.
Komponen Makna | Ayah | Bapak |
---|---|---|
Manusia | + | + |
Dewasa | + | + |
Sapaan orang tua laki-laki | + | + |
Sapaan orang yang dihormati | – | + |
Keterangan:
(+) berarti memiliki komponen makna
(-) berarti tidak memiliki komponen makna
Kesesuaian Semantik dan Sintaktik
Kesesuaian atau berterima tidaknya suatu kalimat bukan hanya masalah tata bahasa atau gramatikal seperti yang dilakukan dalam sintaksis. Kalimat juga harus berterima dari sisi semantik atau makna yang sesuai dalam suati kalimat.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh kasus dan pembahasan pada ketidaksesuaian kalimat di bawah ini.
Kambing yang Pak Wayan terlepas lagi
Ketidakberketerimaan kalimat di atas terjadi karena kesalahan gramatikal, yaitu adanya konjungsi yang antara kambing dan Pak Wayan. Konjungsi yang tidak dapat menggabungkan nomina dengan nomina, tetapi dapat menggabungkan nomina dengan adjektiva.
Kambing itu membaca komik
Namun pada kasus kalimat ini, kesalahan terjadi karena tidak ada persesuaian semantik antara kambing sebagai pelaku dengan kata membaca sebagai perbuatan yang dilakukan kambing. Kambing tidak dapat membaca komik.
Penduduk DKI Jakarta tahun 2020 ada 60 milyar.
Sementara itu, kalimat ini ketidakberterimaan kalimat ini terjadi karena kesalahan informasi. Negara dengan penduduk terbesar saja belum ada yang mencapai puluhan milyar populasinya pada tahun 2020.
Referensi
- Aminudin. (2000). Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
- Chaer, Abdul. (2015). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
- Chaer, Abdul. (2013). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
- Dhanawaty, N.M., Satyawati, M.S., Widarsini, N.P.N. (2017). Pengantar linguistik umum. Denpasar: Pustaka Larasan.
- Keraf, Gorys . (1982). Tata Bahasa Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.
- Kridalaksanan, Harimurti. (1993). Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Tarigan, Henry Guntur. (1985). Pengajaran Semantik. Penerbit : Angkasa Bandung.
Buatin jadi aplikasi android dong. Lengkap banget materinya.
Sudah ada dalam rencana pengembangan, ditunggu aja 🙂