Teori behavioristik merupakan salah satu dari beberapa teori belajar yang ada. Seperti namanya yang berasal dari kata “behavior” yang berarti “perilaku” dalam bahasa Inggris, teori belajar ini mengedepankan perilaku sebagai indikator atau hal utama yang diperhatikan dalam proses belajar. Menariknya, teori ini juga mengatakan bahwa manusia dikendalikan oleh lingkungannya. Hal tersebut karena lingkungan dianggap menjadi stimulus, dan tingkah laku kita adalah respons terhadap stimulus tersebut.

Menurut Rohim (2016, hlm. 85) behaviorisme menggambarkan manusia sebagai makhluk yang digerakkan semuanya oleh lingkungan atau apa yang disebut dengan Homo Mecanicus. Behaviorisme pada dasarnya semua pengalaman dari pengamatan serta struktur- struktur dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menjadi perilaku kita.

Teori ini mengasumsikan bahwa perilaku manusia dianggap seperti mesin, yang selalu berhubungan antara satu sama lainnya, manusia dianggap bersifat hedonitis, yakni selalu mencari kesenangan dan menghindari kerugian. Hampir dapat dikatakan bahwa teori ini mengatakan manusia pada dasarnya seperti robot, di mana lingkunganlah yang mengatur dan mengendalikannya.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia hidup untuk berpikir, akan tetapi manusia hidup bukan sekedar sebagai makhluk yang berpikir (belajar), karena manusia juga berusaha untuk menentukan identitas dirinya untuk mencapai apa yang didambakannya, berdasarkan observasinya terhadap lingkungan. Namun, untuk mendalami teori behavioristik dalam teori belajar, sebaiknya kita juga mendalami pengertian teori behavioristik dari kacamata pendidikan.

Pengertian Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang fokus terhadap perubahan tingkah laku individu sebagai perolehan dari pengalaman yang diakibatkan adanya stimulus dan respons. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Thobroni (2015, hlm. 55) yang mengungkapkan bahwa teori belajar behavioristik merupakan suatu teori perihal perubahan perilaku sebagai perolehan dari pengalaman.

Selanjutnya, menurut Mursyidi (2019) teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi stimulus dan respon. Behavioristik menekankan pemahaman bahwa perilaku manusia pada dasarnya memiliki keterkaitan antara stimulus dan respons. Respon atau perilaku tertentu dapat muncul akibat adanya metode pembiasaan dan pelatihan (tindakan pendidik) yang menjadi stimulus.

Faktor terpenting dari teori ini adalah faktor penguatan. Penguatan yang dimaksud adalah pemberian stimulus positif yang dapat memancing respons yang lebih kuat. Seperti yang diungkapkan oleh Thobroni (2015, hlm. 56) apabila penguatannya (positive reinforcement) ditambah, maka respons akan bertambah kuat juga. Begitu pula sebaliknya, apabila respons dikurangi atau hilang (negative reinforcement), respon juga tidak akan bertambah kuat.

Teori Stimulus-Respons

Teori stimulus-respon mengasumsikan bahwa kata verbal (lisan dan tulisan), isyarat-isyarat nonverbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respons dengan cara tertentu. Proses ini dianggap sebagai pertukaran atau pemindahan informasi atau gagasan. Proses ini dapat bersifat timbal balik dan mempunyai banyak efek. Setiap efek dapat mengubah tindakan komunikasi berikutnya (Verderber, dalam Effendy, 2007 ).

Oleh karena itu, dalam penerapannya, peran guru sebagai pemberi stimulus  merupakan faktor yang sangat penting. Stimulus dari pendidik diharapkan mampu menghasilkan respons dari peserta didik, sehingga mereka bisa mendapatkan perubahan perilaku sesuai dengan tujuan pembelajaran. Maksud dari perilaku atau tingkah laku dalam behavioristik adalah tingkah laku yang bisa dicermati seperti respons. Kita dapat mengamatinya ketika siswa sedang belajar, baik berupa perilaku, jawaban, pikiran, perasaan, atau aktivitas lain yang dapat diamati dan dicermati.

Tentunya, setiap stimulus dan respons harus dibuat agar bisa diamati secara langsung. Misalnya, pikiran dan perasaan tentu tidak dapat diamati secara langsung, namun demikian kita dapat meminta siswa untuk mengungkapkannya, baik secara lisan maupun dituliskan. Belajar menurut aliran behavioristik adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau sebagai hasil dari hubungan stimulus dan respons. Dengan demikian, apa saja yang diberikan oleh guru dan apa saja yang dihasilkan oleh siswa semuanya harus dapat diamati dan diukur dengan tujuan untuk melihat terjadinya perubahan tingkah laku.

Ciri-Ciri Behavioristik

Untuk menyelami teori belajar behavioristik lebih dalam, kita dapat mengenali berbagai ciri yang menyelubungi pembelajaran behavioristik. Menurut Rusli (dalam Sumarsono dkk, 2020, hlm. 12) Teori behavioristik memiliki ciri-ciri tersendiri yang khusus dalam pembelajaran yakni:

  1. Mengutamakan faktor lingkungan;
  2. Memfokuskan tingkah laku yang terlihat melalui pemakaian metode obyektif;
  3. Perkembangan tingkah laku seseorang itu bergantung kepada bagaimana cara belajar;
  4. Penekanan pada faktor bagian (beberapa elemen dan tidak seluruhnya);
  5. Bersifat mekanis atau mengutamakan reaksi dan mekanisme “Bond”, refleks dan kebiasaan-kebiasaan;
  6. Lebih mengutamakan masa lalu atau berpikiran historis, artinya seluruh perilakunya dapat dibentuk oleh pengalaman-pengalaman dan latihan-latihan.

Kelebihan Teori Belajar Behavioristik

Tentunya, terdapat kelebihan serta kekurangan di setiap teori belajar yang ada, termasuk teori behavioristik. Menurut Abdurakhman dan Rusli (2017, hlm. 4), kelebihan dari teori behavioristik adalah sebagai berikut.

  1. Membiasakan guru agar memiliki sikap yang teliti dan lebih peka atas keadaan pembelajaran.
  2. Guru tidak terlalu sering memberikan ceramah sehingga siswa dapat terbiasa belajar secara mandiri.
  3. Dapat membentuk suatu tingkah laku yang diharapkan mendapatkan penilaian positif dan tingkah laku yang kurang pantas mendapat pengakuan negatif yang mendasar atas prilaku yang terlihat.
  4. Dengan pengulangan, pelatihan yang berkelanjutan, bisa memaksimalkan kecerdasan dan bakat yang sudah terbangun dalam diri siswa.
  5. Bahan ajar yang sudah tersusun secara terstruktur dari yang biasa hingga yang rumit dengan memiliki tujuan pembelajaran yang terpecah pada unsur-unsur kecil yang dibuktikan melalui raihan suatu keterampilan yang dapat menciptakan tingkah laku yang konsisten berkenaan suatu bidang tertentu.
  6. Mampu merubah stimulus yang satu dengan stimulus lain dan seterusnya sampai respon yang diharapkan tampak.
  7. Teori behavioristik sangat tepat untuk mendapatkan kemampuan yang memerlukan praktek dan penyesuaian yang memuat komponen kecepatan, spontanitas, dan ketahanan.
  8. Teori behavioristik sangat tepat dikenakan pada anak yang masih memerlukan pengaruh dari orang dewasa, senang mengulang dan perlu pembiasaan, senang meniru, dan senang dengan berbagai penghargaan secara langsung.

Kekurangan Teori Belajar Behavioristik

Selain kelebihan yang dijelaskan di atas, tentunya teori behavioristik juga memiliki kekurangan. Kekurangan dari teori behavioristik di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Menjadi sebuah konsekuensi untuk membuat bahan ajar dengan bentuk yang telah siap digunakan.
  2. Tidak semua pelajaran bisa memakai metode ini.
  3. Siswa dalam hal ini berkedudukan menjadi pendengar pada saat pembelajaran berlangsung dan mengingat apa yang di dengar dengan apa yang di pandang menjadi cara ampuh.
  4. Untuk menertibkan siswa para tokoh behavioristik memiliki metode yang paling efektif, yaitu dengan menghindari penggunaan hukuman.
  5. Siswa yang dianggap pasif, memerlukan dorongan dari luar, dan penguatan yang diberikan guru sangat berpengaruh.
  6. Siswa hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru, dengan mendengarkan apa yang harus didengar dan apa yang harus dilihat menjadi sistem pembelajaran yang ampuh sehingga inisiatif siswa dalam menghadapi masalah yang timbul secara temporer tidak dapat dibereskan oleh siswa.
  7. Lebih condong dalam memfokuskan siswa dalam berpikir linier, konvergen, kurang produktif, kurang kreatif dan memperlihatkan siswa sebagai individu yang kurang aktif.
  8. Proses pembelajaran yang lebih terpusat kepada guru (teacher centered learning) memiliki sifat sistematis dan cenderung hanya kepada hasil saja yang bisa diperhatikan.
  9. Penggunaan metode yang tidak tepat pada proses pembelajaran dapat berakibat berjalannya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan untuk siswa, guru menjadi pusat, otoriter, komunikasi berjalan searah, guru hanya melatih, dan memutuskan apa yang perlu dipelajari dan tidak perlu dipelajari oleh siswa.

Referensi

  1. Abdurakhman, O., & Rusli, R. K. (2017). Teori Belajar dan Pembelajaran. DIDAKTIKA TAUHIDI: Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 2-1.
  2. Effendy, O.U. (2007). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
  3. Mursyidi. (2019), Kajian Teori Belajar Behaviorisme dan Desain Instruksional , Al Marhalah Jurnal Pendidikan Islam P-ISSN 0126-043X Volume. 3, No. 1 Mei 2019 E-ISSN 27162- 400, http://journal.almarhalah.ac.id/index.php/almarhalah/article/view/30/29.
  4. Nurjan, Syarifan. (2016). Psikologi Belajar. Ponorogo: Wade Group.
  5. Rohim, Syaifui Haji. (2016), Teori Komunikasi Perspektif, Ragam, dan Aplikasi, Cetakan ke-1, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
  6. Sumarsono, dkk. (2020). Belajar dan Pembelajaran di Era Milenial. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
  7. Thobroni. (2015). Belajar & Pembelajaran, Teori dan Praktik. Yogyakarta: ArRuzz Media.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *