Pada dasarnya kata “Humanistik” merupakan istilah yang memiliki banyak makna tergantung dari konteksnya. Misalnya, humanistik dalam wacana keagamaan berarti tidak percaya adanya unsur supranatural atau nilai transendental serta keyakinan manusia tentang kemajuan melalui ilmu dan penalaran. Di sisi lain, humanistik dapat berarti minat terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat ketuhanan. Sedangkan humanistik dalam tataran akademik tertuju pada pengetahuan tentang budaya manusia, seperti studi-studi klasik mengenai kebudayaan Yunani dan Roma (Qodir, 2017, hlm. 191).

Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an. Adapun Humanistik memandang manusia sebagai manusia yang artinya, manusia adalah makhluk hidup dengan fitrah-fitrah tertentu. Ciri khas utama dari teori humanistik adalah berusaha untuk mengamati perilaku seseorang dari sudut si pelaku, bukan dari sudut pengamat. Sebagai makhluk hidup, manusia, dari dalam dirinya sendiri harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya dengan potensi-potensi yang dimilikinya (Baharuddin & Makin, 2017, hlm. 22).

Oleh karena itu, kecenderungan teori humanistis dalam belajar adalah dengan mendorong individu pembelajar menjadi mandiri dan independen. Tidak hanya seperti pada paham konstruktivisme yang ingin siswa membangun pengetahuannya sendiri saja, namun siswa sebagai manusia harus mampu mempertanggungjawabkan pembelajaran mereka sendiri pula sebagai manusia yang memang memiliki kebutuhan untuk melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya melalui potensi-potensi yang mereka miliki.

Di situlah benang merah antara teori psikologi humanistik dan belajar ditarik. Pembelajaran sejatinya merupakan hal yang harus didatangkan dan disadari dari diri sendiri, bukan malah didatangkan dari luar pembelajar. Untuk lebih jelasnya, mari kita selami teori humanistis dari sisi teori belajar pada uraian di bawah ini.

Pengertian Teori Belajar Humanistik

Pertama, teori humanistik memiliki beragam definisi yang sedikit berbeda dari beberapa ahli. Misalnya, menurut Abraham Maslow (1908-1970) manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin (Arbayah, 2013, hlm. 206). Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Hirarki kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisiologis (makan, minum), rasa aman, kasih sayang, harga diri, dan aktualisasi diri.

Dalam kacamata Maslow, dapat disimpulkan bahwa teori belajar humanistik adalah pembelajaran yang harus tergerak dari manusia yang mampu mehahami serta menerima dirinya sendiri berdasarkan kebutuhannya.

Sementara itu, menurut Carl Ransom Rogers (1902-1987), ada dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan eksperimental (pengalaman). Sehingga dalam humanistik ala Rogers, guru perlu menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan kognitif (Budi Agus Sumantri dan Nurul Ahmad, 2019:13). Rogers menegaskan, dalam pengembangan diri seorang pribadi akan berusaha keras demi aktualisasi diri (self actualisation), pemeliharaan diri (self maintenance), dan peningkatan diri (self inhancement) (Arbayah, 2013, hlm. 207).

Sehingga dalam kacamata humanistis Rogers, teori belajar humanistis adalah teori belajar yang menempatkan individu pembelajar sebagai pelaku dan sebab tujuan secara sekaligus, sehingga individu dapat mengaktualisasikan segenap potensi dirinya tidak hanya dalam bentuk yang terasing dari sebab-sebab di luar, tetapi bahkan juga dalam posisi yang mengemban tujuan dari perwujudan dirinya, dan individu ini sepenuhnya bertumpu pada dirinya sendiri dalam proses aktualisasi diri, pemeliharaan diri, dan peningkatan diri (Arbayah, 2013, hlm. 207).

Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori pembelajaran humanistik adalah teori belajar yang tergerak dari dalam diri manusia berdasarkan keinginan dan kebutuhannya sendiri dalam berbagai proses pemenuhan, aktualisasi, pemeliharaan, hingga peningkatan diri.

Ciri-Ciri Pembelajaran Humanistik

Ciri khas teori belajar humanistik adalah berusaha untuk mengamati perilaku seseorang dari sudut si pelaku dan bukan si pengamat. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan, hidupnya dengan potensipotensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pembelajaran humanistik akan memiliki ciri sebagai berikut:

  1. Pembelajaran akan merespons perasaan siswa, dan mengunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah direncanakan.
  2. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa.
  3. Menghargai siswa sebagai manusia yang memiliki kebutuhan untuk pribadinya (tidak dapat digeneralisir).
  4. Memiliki kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
  5. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan yang paling penting dari siswa).

Tujuan Belajar Humanistik

Dalam penerapannya pada pendidikan, tentunya teori belajar humanistik menelurkan tujuan yang ingin dicapai untuk memperkuat ranah ini sesuai dengan penelusurannya mengenai manusia. Tujuan dasar pendidikan Humanistik adalah mendorong siswa menjadi mandiri dan independen, mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, menjadi kreatif dan teetarik dengan seni, dan menjadi ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka.

Sementara itu Arthur W. Combs (1912-1999) berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa setiap memulai belajar apabila materi pelajarannya disusun dan dijadikan sebagaimana mestinya. Akan tetapi pembelajaran itu tidak bermakna bagi siswa. Sehingga yang terpenting ialah bagaimana guru membawa siswa untuk memperoleh sesuatu yang dapat diserap bagi kebutuhan pribadinya, dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkan dengan kehidupannya.

Oleh karena itu, menurut Combs, tujuan pendidikan humanistik adalah sebagai berikut.

  1. Menerima kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa serta menciptakan pengalaman dan program untuk perkembangan keunikan potensi siswa.
  2. Memudahkan aktualisasi diri siswa dan perasaan diri mampu.
  3. Memperkuat perolehan keterampilan dasar (akademik, pribadi, antar pribadi, komunikasi, dan ekonomi).
  4. Memutuskan pendidikan secara pribadi dan penerapannya.
  5. Mengenal pentingnya perasaan manusia, nilai, dan persepsi dalam proses pendidikan.
  6. Mengembangkan suasana belajar yang menantang dan bisa dimengerti, mendukung, menyenangkan, serta bebas dari ancaman.
  7. Mengembangkan siswa masalah ketulusan, respek, menghargai orang lain, dan terampil dalam menyelesaikan konflik.

Prinsip Belajar Humanistik

Sejalan dengan tujuan yang telah disampaikan di atas, prinsip-prinsip pendidikan humanistik meliputi beberapa poin di bawah ini.

  1. Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanistik percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika terkait dengan kebutuhan dan keinginannya.
  2. Tujuan pendidikan harus mendorong keinginan siswa untuk belajar dan mengajar mereka tentang cara belajar. Siswa harus memotivasi dan merangsang diri pribadi untuk belajar sendiri.
  3. Pendidik Humanistik percaya bahwa nilai tidak relevan dan hanya evaluasi diri (self evaluation) yang bermakna. Pemeringkatan mendorong siswa belajar untuk mencapai tingkat tertentu, bukan untuk kepuasan pribadi. Selain itu, pendidik humanistik menentang tes objektif, karena mereka menguji kemampuan siswa untuk menghafal dan tidak memberi umpan balik pendidikan yang cukup kepada guru dan siswa.
  4. Pendidik Humanistik percaya bahwa, baik perasaan maupun pengetahuan, sangat penting dalam proses belajar dan tidak memisahkan domain kognitif dan afektif.
  5. Pendidik Humanistik menekankan perlunya siswa terhindar dari tekanan lingkungan, sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar. Setelah siswa merasa aman, belajar mereka menjadi lebih mudah dan lebih bermakna (Baharuddin & Makin, 2017, hlm. 24).

Referensi

  1. Abd. Qodir (2017). “Humanistik” Teori Belajar Humanistik dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa, Vol. 04, No. 02, 2017, hal. 191.
  2. Arbayah. 2013. Model Pembelajaran Humanistik. Jurnal Dinamika Ilmu, Vol. 13. No.2.
  3. Baharuddin & Makin, M. (2017). Pendidikan Humanistik: konsep, teori, dan aplikasi praktis dalam dunia pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
  4. Pannen. (1999). Cakrawala Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *