Teori komunikasi merupakan merupakan seperangkat aturan yang saling berkaitan satu sama lain atau prinsip-prinsip umum mengenai sejumlah aspek dari realitas mengenai komunikasi. Dengan lebih rinci Samsinar & Rusnali (2017, hlm. 102) menjelaskan bahwa teori adalah abstraksi dari realitas yang secara konseptual mengorganisasi aspek dunia empiris tetap secara sistematis yang terdiri atas asumsi, preposisi, dan aksioma dasar yang saling berkaitan, dan terdiri atas fenomena yang digeneralisasi yang diterima dan dibuktikan secara empiris.

Lantas sebetulnya apa manfaat atau kegunaan dari teori-teori komunikasi dalam ilmu komunikasi? Kita dapat mengetahuinya berdasarkan jenis teorinya terlebih dahulu. McQuail (1987, dalam Yusuf, 2021, hlm. 45) pernah membagi jenis teori komunikasi ke dalam empat bagian, antara lain:

  1. Teori pengetahuan sosial (Social scientific theory),
    Teori ini didasarkan pada pernyataan-pernyataan yang berkait dengan sifat dasar, cara kerja dan pengaruh komunikasi massa yang berdasar dari observasi sistematis yang diupayakan keobyektifannya. Sumber teori ini adalah kenyataan tentang media. Dalam praktiknya, jenis teori ini sering bergantung pada ilmu sosial lainnya. Contohnya, teori yang menerangkan hubungan antara televisi dengan perilaku agresif;
  2. Teori normatif (Normative theory),
    Teori ini berkaitan erat dengan persoalan bagaimana seharusnya media berperak aktif ketika serangkaian nilai sosial ingin diterapkan dan dicapai sesuai dengan sifat dasar nilai-nilai itu. Jenis teori ini sangat penting karena berperan dalam membentuk institusi media. Bahkan media memberikan pengaruh besar dalam membantu dalam mewujudkan keinginan publik media, organisasi, dan pelaksanan organisasi sosial itu sendiri.
  3. Teori praktis (Operational theory),
    Teori ini pada mulanya dikembangkan oleh para praktisi media. Teori ini menjelaskan tentang tuntunan dari tujuan media, cara kerja yang diharapkan agar harmoni media dan ilmu sosial yang bersifat abstrak itu terjaga, serta tata cara mencapai sasaran-sasaran itu. Beberapa teori yang dapat dikategorikan pada teori ini misalnya “apa yang dapat menyenangkan publik media?”, “faktor apa saja yang dapat membuahkan hasil?”, dan “berita apa yang mempunyai nilai berita (news value).
  4. Teori akal sehat (Commonsense theory),
    Teori ini dapat disebut sebagai anggapan, pendapat, atau opini setiap orang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masing-masing orang. Setiap pemirsa televisi, pembaca koran dan bahkan netizen memiliki gagasan sendiri terkait media yang dipakainya. Misalnya gagasan tentang bagaimana keberadaan media, kegunaan dan peran media dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana seharusnya menonton televisi, membaca koran, mengakses situs dan menggunakan aplikasi tertentu di internet.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan disampaikan beberapa teori-teori komunikasi yang telah dikembangkan oleh para ahli yang dirangkum oleh Yusuf (2021, hlm. 47).

Teori Jarum Hipodermik (Hypodhermic Needle Theory)

Teori Jarum Hipodermik dapat disebut konsep awal teori komunikasi, khususnya tentang studi efek atau pengaruh media pada khalayak (Yusuf, 2021, hlm. 46). Teori ini juga sering disebut sebagai teori peluru atau bullets theory. Wilbur Scramm mengatakan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif dan tak berdaya. Dari teori ini pula muncul istilah model efek tak terbatas (unlimited effect model).

Namun pada tahun 1960-an para pakar komunikasi menolak asumsi dari teori peluru. Mereka menyatakan bahwa pesan komunikasi menjadi efektif untuk menyebarkan informasi, tidak untuk merubah perilaku. Oleh karenanya, dari teori ini pula muncul model efek terbatas (limited effect model).

Pada tahun 1970-an, Schramm menarik kembali ucapannya itu dan menyatakan bahwa khalayak bukan individu-individu yang pasif. Mereka adalah khalayak yang bandel (stubborn). Khalayak adalah personal-personal yang aktif informasi yang ada di media massa sesuai kehendak mereka, menemukan dan menginterpretasikan sesuai kehendak mereka sendiri.

Pada akhirnya, teori jarum hipodermik mengasumsikan bahwa media lebih pintar daripada audiens. Selain itu teori ini hanya berfokus kepada efek kuat media atau efek yang tidak terbatas (unlimited effect) kepada khalayak. Teori ini juga memfokuskan kepada tujuan komunikator, atau dalam bahasa lain media (komunikator) adalah pihak yang aktif.

Uses and Gratifications Theory

Teori uses and gratifications menjadi pembanding dari teori sebelumnya yang mengasumsikan media sebagai pihak yang aktif, dan khalayak adalah pihak yang pasif (Yusuf, 2021, hlm. 47). Teori ini dikenalkan oleh Elihu Katz pada tahun 1959, sebagai balasan dari ucapan Bernard Berelson pada tahun 1959, bahwa penelitian komunikasi akan mati. Penelitian-penelitian komunikasi yang selama ini hanya memfokuskan diri pada efek media massa terhadap khalayak; bagaimana media mengubah sikap dan perilaku khalayak. Namun demikian teori ini lebih dikenal melalui Herbert Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1974 dalam buku The Use on Mass Communications: Current Perspectives on Gratification Research.

Teori uses and gratifications memfokuskan diri pada bagaimana media massa memenuhi keinginan dan kebutuhan khalayak dan khalayak diasumsikan sebagai pihak yang aktif (Yusuf, 2021, hlm. 48). Khalayak ingin segera memenuhi kebutuhannya akan informasi dan hiburan dengan memilih media, program acara, situs, dan aplikasi mana dan terpuaskan dengan pilihannya itu.

Khalayak adalah pihak yang aktif dalam memilih media dan dampak yang akan diperolehnya. Penggunaan media terkait dengan kepuasan yang akan diperoleh audiens sebagai imbalan atas pilihannya.

Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory)

Teori Disonansi Kognitif dapat dikatakan teori komunikasi dalam perspektif psikologi yang sering dianggap sebagai akar ilmu komunikasi (Yusuf, 2021, hlm. 49). Teori ini ditemukan oleh Leon Festinger pada tahun 1951. Teori yang berasal dari psikologi sosial ini dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara pengetahuan (kognisi) dengan perilaku seseorang. Orang yang mengalami disonansi ini akan mencari dalih atau pembenar untuk mengurangi disonansinya itu.

Pada umumnya manusia berperilaku sesuai dengan pengetahuan atau kepercayaannya. Faktanya banyak orang yang tidak berperilaku berdasar pengetahuannya (tidak konsisten). Informasi yang tidak menuju ke arah perilaku akan menimbulkan disonansi.

Elemen Kognitif manusia terdiri dari: Sikap, Persepsi, Pengetahuan, dan Perilaku. Terkadang hubungan antarelemen itu kosong atau tidak berhubungan, cocok atau sesuai dan tidak cocok atau disonansi. Pada kondisi terakhir ini terjadi apa yang disebut dengan disonansi kognitif. Orang yang mengalami disonansi, menurut Festinger akan mudah dipengaruhi.

Disonansi Kognitif dapat terjadi karena satu elemen tidak dapat diharapkan mengikuti elemen lainnya dan ketidaksesuaian antara kognisi (sikap) sebagai aspek sikap dengan perilaku. Pada akhirnya ketika terjadi disonansi umumnya orang akan mencari dalih untuk mengurangi disonansinya.

Ada empat variabel disonansi pada teori ini, yaitu:

  1. Kepentingan keputusan;
  2. Ketertarikan pada alternatif yang dipilih;
  3. Semakin besar ketertarikan pada alternatif yang dipilih, semakin besar terjadi disonansi;
  4. Keterpaksaan atau perintah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki (Yusuf, 2021, hlm. 50).

Disonansi pada diri seseorang dapat berkurang dan bertambah. Pengurangan ini terjadi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yakni:

  1. Semakin besar disonansi, semakin besar pula kebutuhan untuk menguranginya;
  2. Informasi ketiga yang diterima akan mengurangi disonansi;
  3. Mudah dipengaruhi oleh komunikasi atau informasi (Yusuf, 2021, hlm. 51).

Akan tetapi, disonansi juga dapat meningkat oleh karena beberapa hal yang meliputi:

  1. Informasi yang jauh dari kepercayaan awal dan pengetahuannya akan meningkatkan disonansi.
  2. Peningkatan disonansi berwujud penolakan atau tentangan terhadap informasi ketiga (Yusuf, 2021, hlm. 51).

Ada beberapa cara atau metode menghadapi disonansi yang di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Mengubah salah satu atau beberapa elemen kognitif.
  2. Elemen-elemen baru dapat ditambahkan pada salah satu titik tekanan atau sisi yang lain.
  3. Elemen-elemen tertentu sebenarnya tidak sepenting elemen lainnya.
  4. Mencari dan memilih informasi yang sesuai (Yusuf, 2021, hlm. 51).

Beberapa hasil penelitian tentang Disonansi Kognitif, menghasilkan hipotesa, di antanya adalah sebagai berikut.

  1. Semakin kecil pembenaran eksternal (hadiah atau hukuman), semakin fokus ketidaksesuaian internal dalam diri.
  2. Semakin sulit permulaan seseorang masuk dalam sebuah kelompok, semakin besar komitmen terhadap kelompok itu (Yusuf, 2021, hlm. 52).

Teori Interaksionisme Simbolik (Symbolic Interactionism Theory)

Teori Interaksi simbolik (Symbolic Interactionism) merupakan temuan George Herbert Mead dan dipopulerkan muridnya Herbert Blumer dari Universitas California di Berkeley Amerika Serikat yang berasumsi bahwa ketika proses komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal) telah selesai, tiba waktunya pesan diarahkan kepada orang lain secara interpersonal atau tatap muka dialogis dan timbal balik (face-to-face dialogical reciprocal) (Yusuf, 2021, hlm. 52). Hal itulah yang disebut sebagai interaksionisme simbolik.

Apabila istilah simbolik merujuk pada konsep dalam ilmu komunikasi, maka interaksi merupakan konsep dalam ilmu sosiologi. Joel M.Charon (1979, dalam Yusuf, 2021, hlm. 52) menjelaskan bahwa interaksi adalah: mutual social action, individuals communicating to each other in what they do, orienting their acts to each other. Artinya, interaksi merupakan aksi sosial bersama, di mana individu saling berkomunikasi satu sama lain dalam melakukannya, dan melakukan suatu aksi pula terhadap satu sama lainnya. Sementara itu simbol dapat berupa bahasa, gambar, warna, gesture dan lain sebagainya.

Fokus dari teori interaksionisme simbolik ini ada pada cara manusia membentuk makna dan susunan dalam masyarakat melalui percakapan (Yusuf, 2021, hlm. 53). Maksudnya, manusia tidak dapat berkomunikasi tanpa berbagi makna dari simbol-simbol yang kita gunakan. Bahkan pesan komunikasi dengan gerak tubuh (gesture) disebut sebagai simbol signifikan.

Apabila dirincikan, ada tiga (3) konsep utama dalam teori interaksi simbolik, yaitu:

  1. Diri (self),
    yakni respons atas diri sendiri sebagai objek dengan menggunakan sudut pandang orang lain, terkait dengan pengambilan peran (role taking). Dalam pembahasan yang lalu hal ini disebut dengan konsep diri (generalized others). Diri (self) terdiri dari I yang aktif dan Me yang mengarahkan I. I (aku) bersifat semaunya sendiri sesuai kata hati (aktif) dan Me (aku) adalah petunjuk bagi I.
  2. Masyarakat (society),
    Masyarakat adalah kehidupan kelompok, terdiri atas perilaku kooperatif anggota-anggota.
  3. Pikiran (mind),
    Pikiran (mind) merupakan hasil internalisasi proses interaksi dengan orang lain. Berpikir atau pikiran merupakan proses, bukan benda. Sementara benda dan objek fisik lainnya (fisik/benda, sosial/manusia, dan abstrak/ide) sebagai objek yang dipikirkan.

Komunikasi merupakan tindak sosial (gerak tubuh, respon, hasil) dan ada makna ada dalam hubungan dari ketiga konsep itu bagi pelaku komunikasi) sebagai tindak bersama (interlinkage).

Referensi

  1. Samsinar & Rusnali. (2017). Komunikasi antarmanusia. Watampone: STAIN Watampone.
  2. Yusuf, F.M. (2021). Buku ajar pengantar ilmu komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Ilmu.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *