Analisis kebijakan publik adalah pemahaman akan suatu kebijakan atau pengkajian untuk merumuskan suatu kebijakan (Nugroho dalam Pasolong, 2019, hlm. 50). Dengan demikian, selain untuk merumuskan suatu kebijakan, analisis publik juga dapat dilakukan untuk sekedar memahami seperti apa sejatinya suatu kebijakan publik itu. Mengapa diperlukan analisis kebijakan publik? Hal tersebut dipicu oleh banyaknya kebijakan publik yang dianggap kurang memuaskan karena begitu banyak kebijakan yang tidak memecahkan masalah kebijakan, bahkan malah menciptakan masalah baru (Dunn, 2003, hlm. 29 dalam Pasolong, 2019, hlm. 50).

Pemahaman serta pengkajian dalam analisis publik tentunya dilakukan secara analitis yang berarti setiap komponen pembentuk dari kebijakan itu sendiri haruslah terejawantahkan sehingga dapat diselidiki satu-persatu secara holistik. Bahkan analisis kebijakan publik juga menjadi studi atau disiplin ilmu sendiri yang berkembang sebagai akibat dari berbagai kekurangannya yang dapat berdampak fatal pada kepentingan publik.

Seperti yang diungkapkan oleh Dunn (dalam Pasolong, 2019, hlm. 50) bahwa analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

Sejalan dengan urgensi tinggi dari pemahaman serta pengkajian mendalam mengenai kebijakan publik yang telah dijelaskan di atas, berikut ini akan dijelaskan proses analisis kebijakan yang dibedakan atas penyrukturan masalah atau identifikasi masalah, identifikasi alternatif, seleksi alternatif dan pengusulan alternatif terbaik untuk diimplementasikan menurut Pasolong (2019, hlm. 50-60).

1. Identifikasi Masalah

Badjuri (dalam Pasolong, 2019, hlm. 50) mengungkapkan bahwa pada dasarnya kebijakan publik dibuat karena adanya masalah yang perlu ditangani secara serius. Tanpa adanya masalah, barangkali tidak pernah ada sebuah kebijakan publik timbul. Oleh karena itu, identifikasi masalah adalah tahap pertama yang harus dilakukan dalam suatu analisis kebijakan publik.

Informasi tentang suatu masalah kebijakan publik dapat diperoleh lewat sebagai sumber tertulis seperti indikator sosial (social indicators), data sensus laporan-laporan survey nasional, jurnal, koran dan sebagainya, dan juga melalui interview langsung dengan masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan yang paling penting untuk dijawab dalam tahap ini adalah:

  1. apakah isu ini benar-benar merupakan masalah?
  2. Siapa sasarannya?
  3. Apa alasannya atau apa buktinya? apakah masalah ini sudah urgen/mendesak?
  4. Apakah akibat terjadi negatif yang signifikan bila tidak segera dilakukan intervensi? (Pasolong, 2019, hlm. 50).

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat analisis tidak hanya dapat berpikir lebih rasional, akan tetapi juga menjadi lebih etis. Analis tidak boleh melakukan apa yang disebut sebagai “solving the wrong problem” seperti yang dikemukakan oleh Howard Raiffa sebagai “errors of the third type” (Dunn dalam Pasolong, 2019, hlm. 51).

Jika masalah yang kita temui ternyata bersifat sangat mendesak dan perlu dipecahkan segera, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah:

  1. Apa yang seharusnya menjadi tujuan jangka panjang (goals) dan jangka pendek (objectives) atau targetnya?
  2. Apakah hubungan antara tujuan-tujuan tersebut dengan masalah yang perlu dipecahkan sudah logis? Apabila ya, bagaimana mengangkat masalah tersebut secara persuasif ke suatu forum agenda kebijakan publik supaya mendapat perhatian yang lebih luas dan lebih serius oleh pihak yang kompeten.

Sebagai penuntun untuk mengidentifikasi masalah diperlukan beberapa catatan penting sebagai berikut.

  1. Pertama, masalah yang diusulkan harus didasarkan atas informasi atau data yang bebas dari rekayasa (data yang riil dan data asli). Kepalsuan data atau informasi akan mempengaruhi semua proses formulasi kebijakan yang pada akhirnya akan memberikan hasil yang palsu pula. Rekayasa seperti ini memberi kesan bahwa masalah yang dirumuskan telah dipolitisir oleh elit-elit tertentu yang berkuasa dan hendak menggunakan kesempatan.
  2. Kedua, bila ada datanya atau informasinya, perlu diperhatikan cara pengolahannya. Cara pengolahannya sering kali tidak sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang berlaku. Kegagalan dalam hal ini akan sangat mempengaruhi hasil perumusan masalah.
  3. Ketiga, yang tidak kalah penting, adalah cara penarikan kesimpulan dari hasil pengolahan data yang ada. Cara penarikan kesimpulan harus sesuai dengan prinsip keilmuan, dan tidak boleh menarik kesimpulan berlebihan atau sebaliknya. Dalam menarik kesimpulan ini diperlukan suatu indikator tertentu yang dapat diterima, misalnya kecenderungan menunjukkan di atas rata-rata nasional atau jauh di bawah rata-rata tersebut sehingga membutuhkan intervensi serius dan segera (Pasolong, 2019, hlm. 51).

Metode Identifikasi Masalah

Terdapat beberapa metode yang sering digunakan dalam merumuskan masalah sehingga masalah tersebut dapat dipahami dengan baik. Menurut Subarsono (dalam Pasolong, 2019, hlm. 52) beberapa metode identifikasi masalah tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Analisis batas, yaitu usaha memetakan masalahnya melalui snowball sampling dari stakeholders. Ini disebabkan karena analisis kebijakan sering dihadapkan pada masalah yang tidak jelas dan rumit, sehingga perlu minta bantuan stakeholders untuk memberikan informasi yang berhubungan masalah yang bersangkutan.
  2. Analisis klasifikasi, yakni mengklasifikasikan masalah ke dalam kategori-kategori tertentu dengan tujuan untuk lebih memudahkan analisis.
  3. Analisis hierarki, yakni metode untuk menyusun masalah berdasarkan sebab-sebab yang mungkin dari situasi masalah.
  4. Brainstorming, yakni metode untuk merumuskan masalah melalui curah pendapat dari orang-orang yang mengetahui kondisi yang ada.
  5. Analisis perspektif ganda, yaitu metode untuk memperoleh pandangan yang bervariasi dari perspektif yang berbeda mengenai suatu masalah dan pemecahannya.

2. Identifikasi Alternatif

Apabila masalah tersebut telah disetujui untuk dipecahkan atau dengan kata lain tujuan-tujuan yang hendak dicapai telah disetujui, maka pertanyaan-pertanyaan untuk tahap berikut adalah model-model atau teori-teori apa yang mampu mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab, dan berdasarkan analisis tersebut mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan. Pertanyaan yang penting dijawab dalam tahapan ini adalah apakah ada hubungan logis antara masing-masing alternatif tersebut dengan tujuan.

Untuk dapat mengidentifikasi alternatif dengan tepat, seorang analisis dapat mencari teori-teori tentang faktor-faktor yang menimbulkan gejala kemiskinan kemudian mengumpulkan data, mengolah dan menentukan faktor-faktor manakah yang paling menentukan timbulnya suatu masalah yang tengah dikaji. Faktor-faktor tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam alternatif-alternatif pemecahan masalah.

Contohnya, sebagai politisi seorang analis dapat menilai beberapa besar perhatian pemerintah dan elit-elit politik yang telah diberikan dalam bentuk anggaran selama sekian lama kepada daerah tertentu dan menghubungkannya dengan perubahan pada gejala kemiskinan yang terjadi. Ia mungkin menilai bahwa kemiskinan di daerah tersebut muncul sebagai akibat adanya diskriminasi yang telah diciptakan pemerintah dan elit-elit politik pada waktu yang lalu. Dengan demikian, alternatif yang disarankan adalah berkaitan dengan pemberian bentuk keuangan atau anggaran baru kepada daerah tersebut.

Aspek teoritis dan praktis seperti ini harus menjadi acuan dalam mengidentifikasikan alternatif-alternatif kebijakan. Alternatif yang disajikan hendaknya tidak dipolitisir, artinya jumlahnya dan jenisnya tidak direkayasa demi kepentingan sendiri atau kelompok sendiri.

Mengusulkan alternatif tunggal harus didasarkan pada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan yang biasanya dipegang adalah menyediakan sebanyak mungkin alternatif pemecahan untuk dapat diukur, dibandingkan dan dievaluasi. Namun, perlu diketahui bahwa semakin banyak alternatif semakin kompleks pula kebutuhan untuk menyediakan data dan informasi serta pengolahannya yang tentunya akan mengganggu proses seleksi alternatif.

3. Seleksi Alternatif

Dalam tahap ini, seorang perencana atau analis kebijakan akan melakukan seleksi alternatif yang terbaik untuk diajukan ke pembuat kebijakan. Untuk menyeleksi atau memilih di antara alternatif kebijakan yang ada secara efektif, diperlukan kriteria atau standar yang rasional. Penerapan kriteria tersebut seorang analisis dapat merekombinasikan alternatif yang mana, yang paling baik dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan.

Menyepakati Kriteria Alternatif

Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan pemilihan atau seleksi alternatif kebijakan publik yang baik. Sebagaimana disampaikan oleh Pasolong (2019, hlm. 54) beberapa kriteria alternatif dalam kebijakan publik adalah sebagai berikut.

  1. Technical feasibility.
    Kriteria ini mengukur apakah alternatif yang dipilih akan jalan dalam kontes teknis? Misalnya, apakah program pembangunan jembatan di suatu tempat akan dapat memecahkan kesulitan lalu lintas di tempat itu? Dalam kaitan dengan kriteria teknis ini, ada dua sub kriteria pokok yang perlu dibahas yaitu effectiveness dan adequacy. Effectiveness menyangkut sampai seberapa jauh suatu kebijakan atau program akan mencapai apa yang diinginkan. Kriterium ini dapat diukur dalam jangka panjang atau pendek, langsung atau tidak langsung, secara kuantitatif atau tidak, dan pantas atau tidak (adequate or inadequate). Kriterium adequacy mempersoalkan seberapa jauh kebijakan atau program yang disarankan akan mampu memecahkan persoalan, apakah memecahkan persoalan secara keseluruhan atau hanya sebagian.
  2. Economic and financial possibility.
    Kriteria ini menyangkut evaluasi ekonomis dari policy atau program yang ada, dan meliputi aspek change in net worth, economic efficiency, profitability dan cost effectiveness. Kriterium “change in net worth” (perubahan dalam nilai) mempersoalkan apakah suatu program dapat merubah kemampuan ekonomis khususnya dalam assets dan liabilities seperti perubahan dalam GDP (gross domestic product), human capital (tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan), dan non-human resources seperti hasil hutan, tambang, dan sebagainya. Kriterium economic efficiency mempersoalkan apakah dengan mempergunakan sumber daya yang ada telah diperoleh manfaat yang lebih tinggi. Profitability, mempertahankan apakah perbandingan antara pengeluaran proyek dan pemasukan dari proyek tersebut menguntungkan atau tidak, khususnya dalam konteks keuangan (misalnya, cost revenue analysis). Cost effectiveness adalah kriterium yang menyangkut apakah tujuan dicapai dengan cost yang minim.
  3. Political viability.
    Kriteria politik menyangkut lima sub kriteria yang perlu dipertimbangkan, yaitu acceptability, appropriateness, responsiveness, legal dan equity. Acceptability menyangkut penentuan apakah suatu alternatif kebijakan dapat diterima oleh aktor-aktor politik dan para klien dan aktor-aktor lainnya dalam masyarakat. Appropriateness berkenaan dengan apakah suatu alternatif kebijakan tidak merusak atau bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat. Responsiveness berkenaan dengan apakah suatu alternatif kebijakan, akan memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada. Mungkin suatu kebijakan yang dipilih bersifat efisien dan efektif, tetapi dilihat dari masyarakat, tidak memenuhi kebutuhan mereka. ”legal” artinya apakah suatu alternatif kebijakan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Equity yaitu apakah suatu alternatif kebijakan atau mempromosi pemerataan atau keadilan dalam masyarakat (mungkin suatu kebijakan dapat merestribusikan pendapatan, memberikan hak untuk memperoleh pelayanan minimum, atau membayar suatu pelayanan sesuai dengan kemampuan). Kriterium ini dapat diterapkan pada lokasi pemukiman, kelas income, suku dan etnik, umur, jenis kelamin, status keluarga, status pemilikan rumah dan antar generasi.
  4. Administrative operability.
    Kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam administrative operability adalah authority, institutional commitment, capability dan organizational support. Authority berkenaan dengan kewenangan mengimplementasikan suatu policy atau program. Dengan kata lain, apakah organisasi yang diserahi tugas mengimplementasikan program memiliki otoritas yang cukup dan jelas untuk melakukan kerjasama dengan unit organisasi yang lain dalam menentukan prioritas. institutional commitment menyangkut komitmen dari administration level atas dan bawah, kantor dan pekerja lapangan. Kriterium ini penting untuk menilai suatu alternatif kebijakan bersifat realistis atau tidak. Capability berkenaan dengan apakah organisasi yang akan mengimplementasikannya dinilai mampu dalam konteks skills dari staf dan dalam kontes Sementara itu organization support berkaitan dengan tersedia tidaknya dukungan peralatan, fasilitas fisik dan pelayanan– pelayanan lainnya. Apakah dapat dukungan-dukungan tersebut dapat tersedia bila dibutuhkan stakeholders.

Penentuan Alternatif Terbaik

Penentuan alternatif terbaik bertujuan agar semua keuntungan dan kerugian, kesulitan dan kemudahan, dampak positif dan negatif hasil berupa output dan outcome, dapat terungkap dengan jelas dan transparan. Teknik yang paling praktis untuk memilih atau merekomendasikan suatu alternatif kebijakan adalah dengan menggunakan sistem skoring dengan skala satu sampai lima, atau satu sampai tiga (terserah hasil permufakatan) di mana yang paling tinggi merupakan nilai yang terbaik atau juga biasa digunakan sistem ranking di mana nilai terendah akan dianggap sebagai yang paling baik.

Penerapan kedua cara ini dapat dikombinasikan dengan sistem pembobotan terhadap masing-masing kriteria. Bila masing-masing kriteria yang digunakan memiliki bobot yang berbeda maka nilai skor dan ranking yang telah diperoleh harus dikalikan dengan bobot dengan masing-masing kriteria.

Perlu diperhatikan bahwa pemilihan kriteria dan penentuan tinggi rendahnya skor atau nilai yang digunakan biasanya tergantung dari masalah yang dihadapi. Semakin tinggi kemampuan suatu alternatif dalam memecahkan masalah yang dihadapi, semakin tinggi pula (kalau sistem skoring) nilai yang diberikan, atau semakin rendah nilai yang diberikan (kalau dalam sistem rangking).

Aspek yang paling penting dalam tahapan penentuan alternatif terbaik ini adalah bahwa dalam memilih alternatif terbaik perlu selalu berpikir rasional, berperilaku demokrasi dan transparan terhadap semua alternatif yang ada. Mereka yang memberi penilaian harus benar-benar orang-orang yang berpengalaman, dan mencoba melibatkan wakil-wakil dari semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan membeberkan hasil penilaian secara jelas, terbuka dan tidak melakukan rekayasa.

Alternatif tersebut dapat berupa kombinasi dari alternatif-alternatif yang ada apabila kombinasi tersebut dirasakan paling efektif dalam memecahkan masalah. Output dari proses ini adalah tersusunnya suatu rangkaian alternatif terpilih lengkap dengan alasan mengapa alternatif tersebut merupakan alternatif terbaik. Alternatif-alternatif tersebut siap untuk diterjemahkan ke dalam keputusan, program atau proyek yang selanjutnya dapat diajukan ke badan legislatif untuk dipertimbangkan.

Pengusulan Alternatif Terbaik

Tahapan ini nampaknya kurang mendapatkan perhatian dalam siklus kebijakan publik. Cukup banyak usulan program atau proyek yang tidak mengikuti tahapan-tahapan di atas, karena muncul secara tiba-tiba sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan maupun secara demokratis. Program atau proyek tersebut secara jelas melanggar prinsip kebijakan publik baik dalam konteks rasionalitas maupun demokrasi sebagaimana diuraikan dalam langkah-langkah sebelumnya.

Sebaliknya, cukup banyak juga usulan program atau proyek yang telah diuji secara keilmuan dan demokratis tetapi kemudian kurang mendapat tanggapan atau dukungan yang hangat dalam RAKORBANG. Pada hal usulan seperti ini telah banyak memakan biaya. Bahkan tidak jarang terjadi usulan-usulan tersebut kemudian diganti saja oleh elit-elit birokrasi atau legislatif yang sesungguhnya tidak memiliki dasar yang jelas atau tidak mengikuti proses analisis kebijakan yang benar.

Diharapkan wakil-wakil rakyat dapat memberikan sumbangan pikiran dalam peningkatan kualitas kebijakan dengan ikut mengontrol latar belakang atau proses formulasi usulan-usulan program atau proyek yang ada. Mereka juga diharapkan mampu menguji logika keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung antara usulan tersebut dengan masalah yang hendak dipecahkan.

Terkadang suatu usulan kebijakan kurang memiliki hubungan sebab akibat yang signifikan terhadap masalah yang hendak dipecahkan. Suatu usulan tidak hanya sekedar memiliki hubungan sebab akibat tetapi yang penting lagi adalah hubungan tersebut benar-benar signifikan, artinya alternatif tersebut tidak hanya “perlu” (necessary) tetapi “perlu dan cukup” (necessary dan sufficient) untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Referensi

  1. Pasolong, Harbani. (2019). Teori administrasi publik. Bandung: Alfabeta.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *