Sejarah Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga atau disebut juga sebagai kerajaan Keling adalah kerajaan di Jawa bagian tengah yang sempat dipimpin oleh seorang wanita, bernama Ratu Sima. Ratu Sima digambarkan sebagai pemimpin wanita yang tegas dan taat terhadap peraturan yang berlaku di kerajan tersebut. Selain Kalingga dan Keling, kerajaan  ini juga terkadang disebut sebagai kerajaan Holing.

Sumber sejarah utama dari kerajaan Kalingga adalah dari berita Cina Dinasti Tang. Sumber lainnya meliputi Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Melalui berbagai peninggalan sejarahnya, banyak informasi yang dapat kita ketahui mengenai Kerajaan ini, mulai dari lokasi kerajaannya terlebih dahulu di bawah ini.

Letak/Lokasi Kerajaan Kalingga

Lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Jawa bagian tengah. Meskipun belum dapat dipastikan, tapi kebanyakan peneliti dan sejarawan menyepakatinya. Berikut adalah runutan argumennya.

Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Poli (sekarang Bali), di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra). Dari berita tersebut tampak jelas bahwa Kalingga terletak di Jawa bagian Tengah.

Kemudian, melanjutkan deskripsi lokasi Kalingga dalam berita Cina, di sebelah utara Kalingga terdapat Chenla (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra. Oleh karena itu, lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah atau di sebelah utara Gunung Muria.

Peninggalan Kerajaan Kalingga

Sumber sejarah kerajaan Kalingga dapat ditelusuri dari candi angin, prasasti Tuk Mas, dan berita Cina Dinasti Tang. Namun, kebanyakan peninggalannya tidak berisi informasi yang jelas dan hanya berupa potongan informasi yang sulit untuk dirunut.

Contohnya, dari namanya saja, nama Kalingga berasal dari Kalinga, sebuah kerajaan di India Selatan. Diperkirakan hal tersebut merupakan salah satu bukti lain bahwa India dan Nusantara telah menjalin hubungan diplomatik yang erat.

Namun, terdapat sumber yang mengatakan bahwa kerajaan ini sejarahnya bahkan sama dengan Tarumanegara, yakni didirikan oleh pengungsi India yang kalah perang di sana dan mencari perlindungan di Nusantara.

Berikut adalah berbagai peninggalan dan sumber sejarah yang dapat dicermati untuk mempelajari Kerajaan Kalingga.

Prasasti Tuk Mas (Tukmas)

Prasasti ini ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Prasasti ditulis menggunakan huruf Palawa dalam bahasa Sanskerta.

Isi prasasti menjelaskan mengenai mata air yang amat bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut diibaratkan sama dengan Sungai Gangga di India. Terdapat gambar-gambar lambang Hindu seperti: keong, kendi, trisula, cakra, bunga teratai, dan kapak di dalam prasasti.

Prasasti Sojomerto

Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti menggunakan aksara Kawi dalam bahasa Melayu Kuno. Diperkirakan prasasti ini telah ada dari sejak abad ke-7 masehi.

Prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya yakni Dapunta Salendra, anak dari Santanu dan ibunya yang benama Bhadrawati. Sementara istrinya bernama Sampula. Boechari (2012) berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Sailendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Medang.

Kedua temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa dulunya, di kawasan pantai utara Jawa tengah berkembang kerajaan bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan adanya hubungan Kalingga dengan Wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa bagian Tengah Selatan.

Candi Angin

Candi Angin ditemukan di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Karena letaknya yang sangat tinggi (berangin) namun boleh dikatakan tidak roboh tertiup angin, maka candi ini dinamakan Candi Angin.

Menurut para peneliti, Candi Angin bahkan lebih tua dari Candi Borobudur. Beberapa Ahli malah berpendapat bahwa Candi ini dibangun oleh manusia purba karena belum terdapat ornamen-ornamen Hindu-Buddha.

Candi Bubrah

Candi Bubrah merupakan salah satu Candi Buddha yang berada dalam kompleks Candi Prambanan. Tepatnya, di antara Percandian Rara Jonggrang dan Candi Sewu. Candi ini ditemukan di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Candi ini diperkirakan sebetulnya memiliki ukuran 12 m x 12 m terbuat dari batu andesit. Namun, yang tersisa dari candi ini hanyalah reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat ditemukan terdapat beberapa arca Buddha, namun wujudnya sudah tidak utuh lagi.

Disebut candi Bubrah karena Candi ini ditemukan dalam keadaan rusak yang dalam bahasa Jawa adalah “bubrah”. Perkiraan para Ahli, Candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno yang masih berhubungan dengan Kerajaan Kalingga.

Situs Puncak Sanga Likur

Situs ditemukan di Puncak Gunung Muria, yakni Rahtawu, tidak jauh dari Kecamatan Keling. Di area situs, ditemukan empat arca batu, yakni:

  1. Arca Batara Guru
  2. Narada
  3. Togog
  4. Wisnu

Hingga saat ini belum dapat dipastikan bagaimana keempat arca tersebut dapat diangkut ke puncak gunung, mengingat medan pendakian yang begitu berat. Selain keempat arca tersebut, Prasasti Rahtawun juga ditemukan pada tahun 1990 oleh Prof. Gunadi dan empat staffnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta.

Di kawasan situs juga ditemukan enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak gunung. Masing-masing diberi nama pewayangan: Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.

Berita dari Cina Mengenai Kerajaan Kalingga

Berita atau catatan dari negeri Cina mengenai Kalingga meliputi catatan Dinasti Tang, Catatan I-Tsing, naskah Wai-Tai-Ta, hingga ke Dinasti Ming. Berikut adalah pemaparannya

Catatan Dinasti Tang

Dinasti Tang memberikan beberapa keterangan sebagai berikut.

  1. Kalingga terletak di Lautan Selatan, di sebelah utaranya terletak Ta-Hen-La atau Chen-La (Kamboja), disebelah timurnya terdapat Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak pulau Sumatra.
  2. Ibu kota Kalingga dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu
  3. Raja atau Ratu tinggal di suatu bangunan besar yang bertingkat, beratap daun palem dan singgasananya terbuat dari gading.
  4. Penduduk Kerajaan Kalingga sudah pandai memproduksi minuman keras dari bunga kelapa.
  5.  Kalingga menghasilkan produk kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah.

Catatan ini juga mengisahkan bahwa sejak tahun 674 rakyat Kalingga berada di bawah kekuasaan Ratu Hsi-ma (Shima/Sima). Digambarkan bahwa Ratu Sima adalah sosok ratu yang adil dan bijaksana. Kerajaan Kalingga pada masa pemerintahannya merupakan kerajaan yang aman dan tenteram.

Catatan I-Tsing

Catatan I-Tsing (664-655 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7, tanah Jawa menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinaya. Pusat yang dimaksud adalah Kalingga, di sana ada pendeta bernas Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke Bahasa Mandarin.

Ia bekerja bersama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan tersebut antara lain memuat cerita mengenai Nirwana.

Naskah Wai-Tai-Ta

Pada abad 12 M, naskah Wai-Tai-Ta dari Cina menyebutkan bahwa Chepo atau Jawa disebut juga sebagai Poe-Chua-Lung. Ternyata, seiring perkembangan ilmu Sinologi dan Bahasa, para ahli memperkirakan bahwa Poe-Chua-Lung merujuk ke Pekalongan.

Poe-Chua-Lung adalah penamaan suatu daerah pelabuhan di pantai utara Jawa pada masa Dinasi Tsung. Mereka menganggap bahwa pelabuhan Pekalongan adalah gerbang utama Jawa, sehingga Poe-Chua-Lung juga menjadi sebutan lain untuk Jawa. Tentunya, yang dimaksud adalah pelabuhan di Pekalongan.

Catatan Dinasti Ming

Laksamana Cheng Ho dari Dinasi Ming pada tahun 1439 Masehi singgah di Pekalongan. Ia menyebut Pekalongan (Poe-Chua-Lung) sebagai Wu-Chueh yang berarti pulau yang indah.

Sebutan tersebut diketahui dari catatan Hma-Huan, sekretaris Laksamana Cheng-Ho yang menulis mengenai sebutan Wu-Chueh dari Laksamana tersebut di dalam bagian Yang-Yai-Sheng-Lan (pemandangan yang indah-indah).

Carita Parahyangan

Selain berita dari luar negeri, terdapat pula catatan lokal yang berhubungan dengan Kerajaan Kalingga. Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, yakni Parwati menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak yang kelak menjadi raja kedua dari Galuh.

Ratu Sima memiliki cucu bernama Sanaha yang Mekkah dengan raja ketiga Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Galuh (723-732 M).

Setelah Ratu Sima meninggal pada tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, hingga akhirnya menjadi Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkan kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya atau Rakeyan Panaraban. Kemudian, Raja Sanjaya menikahi Sudiwara putri Dwasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara dan memilki putra, yakni Rakai Panangkaran.

Pendiri Kerajaan Kalingga

Diperkirakan bahwa sebagai raja pertama, Prabu Wasumutri adalah pendiri Kerajaan Kalingga. Namun, lagi-lagi catatan sejarah mengenai kerajaan ini langka dan tidak jelas. Belum dapat benar-benar diketahui apakah Wasumutri adalah pendirinya atau bukan.

Sementara itu, tulisan dalam Prasasti Sojomerto yang menerangkan silsilah keluarga Kerajaan Kalingga mengungkapkan bahwa Dapunta Sailendra adalah pendiri Kerajaan Kalingga. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa pendiri Kalingga berasal dari keturunan Dinasti Sailendra, yang kelak (setelah Kerajaan Kalingga) merupakan penguasa Kerajaan Mataram Kuno.

Sumber lain mengatakan bahwa menantu Wasumutri, yakni Kirathasinga sebagai pendirinya. Intinya, pendiri atau awal mula berdirinya Kerajaan Kalingga belum dapat disimpulkan.

Silsilah Kerajaan Kalingga

Raja yang paling berpengaruh di Kerajaan Kalingga adalah tidak lain Ratu Shima/Sima yang dianggap sebagai Raja yang paling adil, menjunjung tinggi hukum, dan bijaksana. Namun, keberhasilannya juga tidak dapat diraih tanpa silsilah keseluruhan dari Kerajaan ini, Berikut adalah urutan Raja-Raja yang pernah memerintah Kalingga.

  1. Prabu Wasumurti (594-605 M)
    Diperkirakan merupakan pendiri Kerajaan Kalingga, bukan hanya itu saja, dimungkinkan pula bahwa dengan mendirikan Kalingga ia juga menjadi asal-muasal Kerajaan Mataram Kuno yang menjadi salah satu Kerajaan terkuat di Nusantara.
  2. Prabu Wasugeni (605-632 M)
  3. Prabu Wasudewa (632-652 M)
  4. Prabu Wasukawi (652 M)
  5. Prabu Kirathasingha (632-648 M)
  6. Prabu Kartikeyasingha (648-674 M)
    Berkuasa bersama Ratu Sima selama 26 tahun, merupakan menantu Prabhu Wasugeni setelah menikah dengan Dewi Wasuwari (Ratu Sima).
  7. Ratu Shima (674-695 M)
    Merupakan raja Kerajaan Kalingga yang dianggap paling berpengaruh, terkenal, dan berhasil membawa Kerajaan ini ke masa kejayaannya. Ia adalah Ratu, Maharani atau Raja Wanita pertama dari Kerajaan ini yang membuatnya istimewa. Seakan telah menyerukan nafas feminisme yang kuat dari masa lampau yang kebanyakan masih menganut sistem patriarki.

Kehidupan Kerajaan Kalingga

Sistem pemerintahan kerajaan Kalingga diduga merupakan salah satu yang telah menjunjung tinggi peraturan atau hukum yang disusun. Rakyatnya diperkirakan sudah sangat melek terhadap hukum.

Persidangan menteri juga sudah berjalan dalam mempertimbangkan hukuman terhadap rakyat bahkan kerabat atau pejabat kerajaan yang melanggar sekalipun.

Kehidupan Politik

Penguasa yang paling terkenal di Kerajaan Kalingga adalah seorang raja wanita, Ratu, atau Maharani Sima yang memerintah sekitar tahun 674. Ratu Shima dikenal sebagai Ratu yang tegas, jujur, dan bijaksana. Hukum ditegakkan seadil-adilnya dan musuh kerajaan sangat segan terhadapnya.

Dikisahkan bahwa untuk mengetes kejujuran rakyatnya, Ratu Sima meletakkan pundi-pundi yang berisi emas di tengah jalan (kantung berisi emas). Kemudian membiarkannya sampai waktu yang lama. Setelah bertahun-tahun ternyata tidak ada satu pun orang yang menyentuhnya.

Namun, pada tahun ketiga dikatakan bahwa salah satu anggota keluarga istana yang tengah berjalan-jalan menyentuh kantung berisi emas tersebut. Hal tersebut diketahui Ratu Sima. Anggota keluarga itu akhirnya hendak diberi hukuman mati.

Namun, berdasarkan persidangan para menteri, hukuman mati itu diperingan dengan hukuman potongan kaki. Karena, bagian yang menyentuh kantung emas tersebut adalah kakinya. Tampak bahwa ia tidak membedakan baik rakyat maupun anggota keluarganya sendiri.

Kehidupan Ekonomi

Kepemimpinan Ratu Sima yang adil menjadikan rakyatnya hidup teratur, aman dan tenteram. Sehingga tidak ada gangguan yang berarti dalam kehidupan sosial dan ekonomi kerajaan ini. Mata pencaharian utama dari penduduk umumnya adalah bertani, karena wilayah Kalingga sangatlah subur.

Selain itu dalam berita Cina, disebutkan bahwa Kerajaan Kalingga menghasilkan produk seperti: kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah.

Kehidupan Agama

Kerajaan ini didominasi oleh agama Buddha. Agama ini berkembang pesat di Kerajaan Kalingga. Dalam berita dari Dinasti I-Tsing, disebutkan bahwa tanah Jawa (Kalingga tepatnya) menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinaya.

Melanjutkan penjelasannya, catatan itu mengatakan bahwa di sana ada pendeta bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke Bahasa Mandarin. Ia bekerja bersama seorang pendeta bernama Janabadra.

Masa Kejayaan Kerajaan Kalingga

Masa kejayaan Kerajaan Kalingga terjadi kala dipimpin oleh Ratu Shima sejak 674 hingga 732 Masehi. Kejujuran dan keadilan sangat di junjung tinggi. Penerapan juga sangat tegas dan tidak pandang bulu. Misalnya, pemerintah akan memotong tangan siapa saja, jika memang telah terbukti mencuri.

Bahkan, Dinasi Ta-Shish pada tahun 674 M tercatat mengurungkan niatnya untuk menyerang Kalingga. Hal tersebut disebabkan karena Kerajaan ini dianggap terlalu kuat ketika dipimpin oleh Ratu Sima.

Diberitakan pula bahwa dalam pemerintahan Ratu Sima, Kerajaan Kalingga menjadi pemerintahan yang menjunjung tinggi hukum. Bahkan, ketika saudara Ratu sendiri melanggar peraturan, ia tetap diproses secara tegas oleh hukum yang berlaku.

Runtuhnya Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga kemungkinan diruntuhkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Serangan Sriwijaya memaksa pemerintahan Kalingga untuk mundur hingga ke pedalaman Jawa bagian tengah atau bahkan Jawa Bagian Timur pada sekitar tahun 742-755 M.

Sriwijaya akhirnya berhasil menguasai teritori Kalingga beserta jalur perdagangannya setelah sebelumnya telah berhasil menaklukan Melayu dan Tarumanegara. Selain itu, alasan lainnya diperkirakan bahwa setelah kematian Ratu Sima, kerajaan ini sudah mulai mengalami penurunan pula.

Referensi

  1. Boechari. (2012). Melacak sejarah kuno Indonesia lewat prasasti. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
  2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  3. Tim Pemerintah Jepara. (2018). Legenda Kerajaan Keling. Pemerintah Kabupaten Jepara. Tersedia Online: https://keling.jepara.go.id/wp-content/uploads/sites/8/2018/04/Sejar…

 

Gabung ke Percakapan

3tare

  1. Sebagai warga kota Jepara, yang jadi bagian dari cerita kejayaan kerajaan kalingga, saya sangat senang dan bangga bisa belajar jatidiri kota Jepara yang bercikal bakal tokoh tokoh yang adil. Dan mampu mendunia. Salam Budaya, Rahayu, Rahayu, Rahayu

  2. Saya asli pekalongan,dan Saya sangatlah berterimakasi dengan adanya catatan sejarah kerajaan kalingga,..

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *