Psikologi kognitif adalah psikologi yang mempelajari proses mental yang terjadi pada saat penyimpanan dan pengambilan informasi dari ingatan. Namun tentunya pengertian tersebut masih terlalu spesifik, mengingat psikologi kognitif merupakan perdebatan panjang yang seakan tak pernah usai dalam ilmu psikologi bahkan bidang-bidang lainnya.

Sebelumnya, perlu diketahui pula bahwa kata kognitif akan mengalami beberapa tumpang tindih penggunaan istilahnya dalam beberapa bidang dan konteks tertentu. Secara umum, sebetulnya kognisi diartikan sebagai kesadaran, tetapi yang dipelajari dalam psikologi kognitif adalah berbagai hal seperti sikap, ide, harapan dan sebagainya.

Selanjutnya kognitif kemudian diartikan pula sebagai proses pemerolehan pengetahuan, sejalan dengan perkembangan kognitivisme atau teori belajar kognitif di dunia pendidikan atau bidang psikologi perkembangan yang dipelopori oleh Piaget. Kognisi sendiri merupakan salah satu gejala jiwa atau proses mental yang dipelajari dalam psikologi. Dalam konteks proses mental, kognisi juga diartikan sebagai kegiatan atau proses memperoleh atau menggali pengetahuan.

Pengertian Psikologi Kognitif

Namun, secara umum, terutama dalam ilmu psikologi, psikologi kognitif adalah aliran psikologi yang mempelajari bagaimana arus informasi yang ditangkap oleh indera diproses dalam jiwa seseorang sebelum diendapkan dalam kesadaran atau diwujudkan dalam bentuk tingkah laku (Saleh, 2018, hlm. 187).

Psikologi kognitif juga merupakan aliran psikologi yang berpendapat bahwa dalam memersepsi lingkungannya, manusia tidak sekadar mengandalkan diri pada apa yang diterima dari penginderaannya, tetapi masukan dari penginderaan itu, diatur, saling dihubungkan dan diorganisasikan untuk diberi makna, dan selanjutnya dijadikan awal dari suatu perilaku (Warsah & Daheri, 2021, hlm. 168).

Pandangan teori kognitif juga menyatakan bahwa organisasi kepribadian manusia tidak lain adalah elemen-elemen kesadaran yang satu sama lain saling terkait dalam lapangan kesadaran (kognisi). Dalam teori psikologi kognitif, unsur psikis dan fisik tidak dipisahkan lagi, karena keduanya termasuk dalam kognisi manusia. Bahkan, dengan teori ini dimungkinkan juga faktor-faktor di luar diri dimasukkan (diwakili) dalam lapangan psikologis atau lapangan kesadaran seseorang (Amalia, 2016 dalam Warsah & Daheri, 2021, hlm. 168).

Sejarah Perkembangan & Tokoh Psikologi Kognitif

Menurut para ahli, teori psikologi kognitif dapat dikatakan berawal dari pandangan psikologi gestalt. Pendekatan kognitif juga berkembang dari reaksi terhadap behaviorisme yang hanya menganggap bahwa perilaku manusia semata-mata hanyalah respons akan berbagai stimulus yang diberikan. Dalam banyak literatur juga banyak diungkapkan bahwa aliran kognitif merupakan gabungan antara behaviorisme dan gestalt.

Dari sejarahnya, dikatakan bahwa perkembangan psikologi kognitif berawal dari berpindahnya Kurt Lewin ke Amerika Serikat karena kejaran Nazi Jerman menjelang perang dunia II. Pada saat inilah terjadi banyak dialog antara teori gestalt dan behaviorisme ala Amerika yang kemudian menghasilkan sintesis pengetahuan berupa psikologi kognitif.

Tokoh yang tergolong paling awal dalam mengemukakan teori-teori yang dapat digolongkan dalam aliran psikologi kognitif adalah F. Heider melalui tulisannya yang pertama, yaitu “Attitudes and Cognitive Organization” dipublikasikan pada tahun 1946. Setelah itu muncul tokoh-tokoh lain seperti L. Festinger, C.E. Osgood dan P. H. Tannenbaum dan T.M. Newcomb.

Heider (teori p-o-x)

Heider mengemukakan teori yang berpangkal pada perasaan-perasaan yang ada pada seseorang terhadap seseorang lain dan suatu hal yang lain (pihak ketiga) yang menyangkut orang pertama dan orang kedua. Orang pertama yang mengalami perasaan itu diberinya lambang P (person atau pribadi). Orang kedua yang berhubungan dengan P diberi lambang O (others atau orang lain), sedangkan pihak ketiga yang bisa berupa orang, benda, situasi dan sebagainya dilambangkan dengan X. Dengan demikian hubungan tiga pihak tersebut berhubungan p-o-x yang dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut.

skema POX Heider

Sejalan dengan prinsip-prinsip psikologi Gestalt, hubungan P-O-X dapat bersifat saling memiliki (yang satu merupakan bagian dari yang lain sangat erat) dan saling tidak memiliki. Hubungan yang saling memiliki dinamakan hubungan tipe-U, sedangkan hubungan yang tidak saling memiliki hubungan tipe bukan-U. Tipe-tipe hubungan ini dipengaruhi oleh prinsip-prinsip dari psikologi Gestalt seperti kesamaan, kedekatan, kelangsungan, set, dan pengalaman masa lalu.

Di samping itu, dengan meminjam prinsip-prinsip psikologi lapangan dari Kurt Lewin, hubungan P-O-X menurut Heider bisa juga bersifat positif (menyukai, memuja, menyetujui dan sebagainya) atau negatif (mencela, tidak menyetujui, tidak menyukai dan sebagainya). Sifat hubungan yang positif dinamakannya hubungan L (like), sedangkan hubungan yang negatif dinamakannya hubungan DL (dislike).

Berdasarkan sifat-sifat hubungan P-O-X tersebut di atas dapat terjadi berbagai kombinasi hubungan P-O-X yang akibatnya terhadap kognisi (kesadaran) P bisa tiga macam, yaitu:

  1. Kesadaran seimbang (balance),
    yang menimbulkan rasa puas senang dan mendorong P untuk berbuat sesuatu untuk mempertahankan hubungan ini.
    skema POX Heider keadaan seimbang
  2. Keadaan tidak seimbang (imbalance),
    yang menyebabkan timbulnya perasaan tidak senang, tidak puas, penasaran dan sebagainya dan menyebabkan P terdorong untuk berbuat sesuatu untuk mengubah sifat-sifat hubungan P-O-X sehingga mendekati keadaan yang seimbang.
    skema POX Heider keadaan tidak seimbang
  3. Keadaan yang tidak relevan (irrelevan),
    yang tidak berpengaruh apa-apa terhadap P, sehingga P tidak terdorong untuk berbuat apa-apa.
    skema POX Heider keadaan tidak relevan

Leon Festinger (Disonansi Kognitif)

Dalam bukunya, A Theory of Cognitive Dissonance (1957), Festinger (1919-1989) mengemukakan teorinya yang banyak dipengaruhi oleh K. Lewin. Dalam teori Festinger, sektor-sektor dalam lapangan kesadaran dinamakan elemen-elemen kognisi. Elemen-elemen kognisi itu saling berhubungan satu sama lain dan jenis hubungan itu ada tiga macam, yaitu:

  1. hubungan yang tidak relevan,
  2. hubungan disonan, dan
  3. hubungan konsonan (Saleh, 2018, hlm. 194).

Contoh dari hubungan yang tidak relevan misalnya seseorang mengetahui bahwa setiap musim hujan Jakarta kebanjiran dan ia pun mengetahui bahwa di Kalimantan Timur ada sebuah pabrik pupuk. Hubungan antara kedua hubungan kognisi itu tidak relevan hingga tidak timbul reaksi apa-apa pada diri orang yang bersangkutan.

Jika hubungan relevan tidak menghasilkan reaksi apa-apa pada seseorang, perasaan disonan menimbulkan perasaan tidak senang, janggal, penasaran, aneh, tidak puas dan sebagainya sehingga mendorong orang yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu untuk mencapai keadaan konsonan. Keadaan konsonan itu sendiri menimbulkan rasa puas, senang, bisa mengerti dan sebagainya.

Hubungan yang disonan disebabkan oleh elemen-elemen kognisi yang saling menyangkal, sedangkan hubungan yang konsonan adalah hubungan yang tidak disonan. Misalnya: kita mengetahu bahwa jika seorang berdiri di hujan (elemen pertama) ia akan basah (elemen kedua). Kalau kita melihat orang basah karena berdiri di hujan, maka kita akan merasakan suatu keadaan yang bisa di mengerti sebagai akibat adanya hubungan yang konsonan antara elemen-elemen kognisi.

Tetapi kalau orang yang berdiri di hujan itu tidak basah, maka kita yang melihatnya akan merasa heran, aneh, curiga dan sebagainya sebagai akibat dari adanya hubungan yang disonan Antara elemen kognisi yang kedua (tidak basah) yang menyangkal elemen kognisi yang pertama (berdiri di hujan).

Model Psikologi Kognitif

Psikologi kognitif menggunakan pendekatan riset dan teoritis dari area-area utama dalam psikologi meliputi neurosains, persepsi terhadap pola, atensi dan kesadaran, memori, representasi pengetahuan, pencitraan, bahasa, psikologi perkembangan, berpikir, formulasi konsep, kecerdasan manusia, dan kecerdasan buatan.

Para psikolog kognitif memberi perhatian tentang bagaimana cara kita memperoleh, mengubah, menampilkan, menyimpan dan mengambil kembali pengetahuan serta bagaimana pengetahuan menuntun arah konsentrasi dan cara kita merespons.

Sebuah model yang lazim digunakan adalah model pemrosesan informasi yang mengasumsikan bahwa informasi diproses melalui serangkaian tahapan yang masing-masing memiliki fungsi yang spesifik. Dalam psikologi kognitif, ilmu konseptual adalah metafora yang diciptakan oleh manusia yang berguna dalam memahami ‘kenyataan’. Para psikolog merancang model-model konseptual dalam psikologi kognitif dengan sasaran mengembangkan sebuah sistem yang merefleksikan hakikat persepsi, pikiran dan pemahaman manusia terhadap dunianya.

Model-model kognitif dibuat berdasarkan pada pengamatan-pengamatan yang mendeskripsikan struktur dan proses kognitif. Perancangan model dapat membuat pengamatan atau observasi menjadi lebih mudah dipahami.

Model pemrosesan informasi telah mendominasi psikologi kognitif, namun model-model lain yang muncul dalam ilmu komputer dan neurosains telah digabungkan dengan psikologi kognitif sehingga membentuk disiplin ilmu kognitif. PDP (Parallel Distributed Process) adalah sebuah model kognisi dengan asumsi dasar bahwa informasi diproses dalam cara serupa dengan pemrosesan neural berlangsung bersamaan.

Adanya jaringan mengindikasikan bahwa pemrosesan neural berlangsung bersamaan di area berbeda-beda dengan hubungan atau koneksi yang diperkuat atau diperlemah. Selain itu, terdapat psikologi evolusioner yang merupakan pendekatan terhadap teori kognisi yang menggabungkan psikologi evolusi dan psikologi biologis sebagai kesatuan ilmu.

Referensi

  1. Saleh, A.A. (2018). Pengantar psikologi. Makassar: Penerbit Aksara Timur.
  2. Warsah, I., Daheri, M. (2021). Psikologi: suatu pengantar. Yogyakarta: Tunas Gemilang Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *