Komunikasi politik merupakan fungsi penting dalam sistem politik. Dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan alat utama dalam menggelutinya. Sehingga tidak heran apabila banyak yang berpendapat bahwa komunikasi adalah urat nadi dari politik. Bagaimana tidak, karena pada setiap proses politik, komunikasi politik menempati posisi yang amat strategis.

Bermacam struktur politik seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, kelompok kepentingan, media dan warga negara senantiasa terlibat dalam proses interaksi pertukaran makna melalui kegiatan komunikasi politik ini. Kegiatan komunikasi politik itu sendiri bisa menyangkut agregasi kepentingan, penyampaian dan penerimaan aspirasi, negosiasi, sosialisasi, kampanye, lobby, dan sebagainya.

Pengertian Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah diskusi murni mengenai alokasi sumber daya publik seperti pendapatan, pajak atau penghasilan, otoritas pemerintah atau pihak yang diberikan kekuasaan untuk merancang, membuat dan menjalankan hukum dan keputusan, serta diskusi mengenai sanksi-sanksi pemerintah (penghargaan atau hukuman dari Negara (Denton & Woodward, dalam Mukarom, 2020, hlm. 192).

Sementara itu, secara fundamental Kaid &Holtz-Bacha (dalam Mukarom, 2020, hlm. 192) mendefinisikan komunikasi politik sebagai peran komunikasi di dalam proses politik. Dari pengertian ini, setidaknya ada dua makna yang terkandung, bahwa:

  1. Semua aktivitas komunikasi (baik verbal maupun non-verbal), yang berada dalam proses politik merupakan komunikasi politik.
  2. Sementara itu, pengertian “proses politik” dalam definisi tersebut tidak menunjukkan pada proses politik sebagaimana yang terdapat dalam konsepsi “sistem politik,” melainkan pada semua kegiatan politik.

Selanjutnya, menurut Plano dkk (dalam Mukarom, 2020, hlm. 192) komunikasi politik adalah penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya.

Dari sisi ilmu politik sendiri, menurut Budiardjo (dalam Mukarom, 2020, hlm. 192) komunikasi politik adalah salah satu fungsi partai politik untuk menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa untuk diperjuangkan menjadi kebijakan politik.

Sedangkan menurut Perloff (dalam Mukarom, 2020, hlm. 192) komunikasi adalah proses di mana kepemimpinan nasional, media dan masyarakat saling bertukar dan memberi makna terhadap pesan-pesan yang berhubungan dengan kebijakan publik. Pendapat Perflof mengandung dua unsur utama, yakni:

  1. Pertama, komunikasi politik merupakan sebuah proses. Komunikasi politik tidak dapat terjadi secara otomatis begitu saja, di dalamnya terdapat serangkaian kegiatan yang kompleks dan dinamis. Disamping itu, proses tersebut juga mengandung adanya tarik-menarik pengaruh. Pemerintah mempengaruhi media dengan menawarkan bahan untuk pemberitaan, sementara media mendesak para politisi melalui serangkaian mekanisme institusional sebagai deadline dan nilai berita. Pada sisi yang lain media juga dapat mempengaruhi masyarakat, namun masyarakat juga dapat membentuk agenda media.
  2. Kedua, pesan dalam komunikasi politik terkonsentrasi pada lingkungan pemerintahan atau yang berhubungan dengan kebijakan publik. Komunikasi politik, dengan demikian, tidak hanya concern dengan persoalan pemilu, namun pada segenap hal yang berkaitan dengan politik. Dengan kata lain, komunikasi politik terjadi ketika masyarakat, media dan pemerintah saling “berdialog” mengenai isu-isu seputar elit dan publik (Mukarom, 2020, hlm. 193).

Berdasarkan beberapa pengertian menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik adalah seni komunikasi dalam mendesain dan mengelola politik dengan melibatkan unsur-unsur komunikasi (komunikator, pesan, media, komunikan dan efek) yang dilakukan oleh unit-unit dalam suatu sistem politik sebagai upaya menyelesaikan konflik dengan konsensus atau kompromi (Mukarom, 2020, hlm. 193).

Proses Komunikasi Politik

Seperti komunikasi pada umumnya, proses komunikasi politik tidak begitu berbeda dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya terutama menyangkut unsur-unsur yang terlibat dari komunikasi politik ini seperti: komunikator, komunikan, pesan, media dan feedback. Hanya saja, perbedaan yang mencolok dari komunikasi politik ini adalah semua unsur yang terlibat dalam proses komunikasi itu adalah berbau politik, bukan hanya pesannya saja.

Menurut Mukarom (2020, hlm. 194) proses komunikasi politik sama dengan proses komunikasi pada umumnya (komunikasi tatap muka dan komunikasi bermedia) dengan alur dan komponen komunikasi sebagai berikut.

  1. Komunikator/Sender,
    sebagai pengirim pesan atau partisipan yang menyampaikan informasi politik
  2. Encoding,
    proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan.
  3. Message,
    pesan yang disampaikan seperti informasi, fakta, opini, keyakinan politik.
  4. Media,
    saluran komunikasi atau medium yang digunakan untuk menyampaikan pesan, misalnya surat kabar, orasi, konferensi pers, televisi, internet, demonstrasi, polling, radio, dsb.
  5. Decoding,
    proses pemecahan/ penerjemahan simbol-simbol yang diterima.
  6. Komunikan/Receiver,
    penerima pesan atau partisipan yang diberikan informasi politik oleh komunikator.
  7. Feed Back,
    yakni umpan balik atau respons berupa tanggapan dari komunikan atas informasi politik yang diberikan oleh komunikator.

Pola Komunikasi Politik

Dalam kegiatan komunikasi politik, ada beberapa pola hubungan yang mencerminkan dinamika dalam prosesnya yang dapat meliputi:

  1. Pola komunikasi vertikal (top down, dari pemimpin kepada yang dipimpin);
  2. Pola komunikasi horizontal (antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok);
  3. Pola komunikasi formal (komunikasi melalui jalur-jalur organisasi formal);
  4. Pola komunikasi informal ( komunikasi melalui pertemuan atau tatap muka, tidak mengikuti prosedur atau jalur-jalur organisasi) (Mukarom, 2020, hlm. 194).

Distorsi Komunikasi Politik

Dalam aras praktiknya, proses komunikasi politik juga tak luput dari hambatan berupa distorsi komunikasi. Menurut Pabotinggi (dalam Mukarom, 2020, hlm. 195) distorsi komunikasi politik meliputi beberapa poin berikut ini.

  1. Distorsi bahasa sebagai “topeng”; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkapkan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”.
  2. Distorsi bahasa sebagai “proyek lupa”; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.
  3. Distorsi bahasa sebagai “representasi”; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh, gambaran buruk kaum Muslimin dan orang-orang Arab oleh media Barat.
  4. Distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distorsi ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang untuk memonopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.

Model Komunikasi Politik

Secara konseptual, Cangara (dalam Mukarom, 2020, hlm. 195) menjelaskan bahwa terdapat setidaknya tiga model komunikasi politik yang di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Model Sistemik

Model ini merupakan pola komunikasi politik yang utuh, satu-kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian di dalamnya dan saling terhubung antara yang satu dengan yang lainnya. Teori dalam model ini merujuk pada serangkaian pernyataan mengenai hubungan di antara variabel dependen dan independen yang diasumsikan berinteraksi satu sama lain. Artinya perubahan dalam satu atau lebih dari satu variabel bersamaan atau disusul dengan perubahan variabel lain atau kombinasi variabel.

2. Model Proses

Dinamika komunikasi politik sangat berkaitan dengan model komunikasi, yaitu model transaksi simultan dari Melvin L DeFleur. Dengan karakternya yg non-linear, model ini menggambarkan tiga faktor yang berpengaruh dalam proses komunikasi. Sistem komunikasi ini akhirnya akan membentuk model-model dari proses komunikasi politik. Pertama adalah faktor lingkungan fisik, yaitu tempat dimana komunikasi berlangsung dengan menekankan pada aspek what and how. Kedua, faktor situasi sosio-kultural, yaitu komunikasi merupakan bagian dari situasi social yang di dalamnya terkandung makna cultural dan menciptakan identitas bagi para pelaku komunikasi. Ketiga, faktor hubungan sosial, yaitu status hubungan para pelaku komunikasi sangat berpengaruh baik terhadap isi pesan ataupun terhadap proses bagaimana pesan tersebut dikirim dan diterima. Selain itu proses komunikasi politik juga dapat melalui proses komunikasi persuasif dan kampanye media.

3. Model Efektivitas

Kemampuan seorang tokoh dalam mengirimkan pesan atau informasi yang baik, kemampuan menjadi pendengar yang baik, kemampuan atau keterampilan menggunakan berbagai media atau alat audio visual merupakan bagian penting dalam melaksanakan komunikasi yang efektif. Komunikasi politik juga memiliki hubungan yang cukup erat dengan pemasaran politik. Bagaimana sebuah komunikasi politik yang efektif dan tepat sangat dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dari memenuhi kebutuhan-kebutuhan politik sebagai suatu strategi persaingan dalam dunia politik.

Oleh karena pada saat ini semakin berkembangnya zaman, semakin maju pula persaingan politik, sehingga diperlukannya strategi pemasaran politik yang tepat pula. Dengan menggunakan teori-teori komunikasi maka dapat dipetakan strategi apa yang harus digunakan oleh komunikator dalam menyampaikan pesan politiknya kepada komunikan.

Referensi

  1. Mukarom, Z. (2020). Teori-teori komunikasi. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *