Pengertian Masa Praaksara

Masa praaksara adalah salah satu periode dalam kehidupan manusia ketika manusia belum mengenal tulisan (Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 195). Praaksara berasal dari gabungan kata pra dan aksara. Pra artinya “sebelum” dan aksara berarti “tulisan”. Dengan begitu, dari makna pun sudah jelas bahwa yang dimaksud masa praaksara adalah masa sebelum manusia mengenal tulisan.

Masa praaksara mempunyai nama lain yaitu masa nirleka. Istilah tersebut berasal dari gabungan kata nir yang artinya “tidak ada”, dan leka yang berarti “tulisan”.  Selain itu masa praaksara disebut juga masa prasejarah.

Mengapa tulisan atau aksara dapat menjadi pembatas waktu suatu zaman? Karena fungsi utama dari aksara ini adalah untuk berkomunikasi dan membaca tentang sesuatu. Sekelompok manusia yang telah mengenal tulisan, biasanya meninggalkan catatan-catatan tertulis kepada generasi berikutnya, yang berarti merupakan catatan sejarah.

Catatan sejarah itu dapat berupa batu bertulis (prasasti) dan naskah-naskah kuno. Dari catatan tertulis tersebut, kita dapat mengetahui kehidupan orang-orang zaman dahulu. Dengan demikian penemuan aksara merupakan faktor penting untuk mengetahui suatu sejarah peradaban.

Karena hal itulah mengapa ada penggolongan masa praaksara. Sebab dalam masa praaksara, kita tidak dapat menggunakan dokumentasi catatan tertulis sebagai sumber sejarah. Kita harus mencari cara lain untuk mengetahui seperti apa kehidupan-kehidupan orang di masa lalu.

Bagaimana caranya? kehidupan manusia pada masa praaksara dapat dipelajari melalui peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh manusia yang hidup pada waktu itu. Peninggalan itu dapat berupa artefak dan fosil. Artefak membantu kita untuk memperkirakan bagaimana perkembangan kehidupan manusia dan fosil membantu untuk mengetahui pertumbuhan fisik makhluk hidup pada masa praaksara.

Periodisasi Masa Praaksara

Kapan zaman praaksara dimulai? Masa praaksara dimulai sejak manusia ada. Lalu kapan berakhirnya zaman praaksara? Adapun waktu berakhirnya masa praaksara adalah setelah manusia mulai mengenal tulisan. Berakhirnya masa praaksara tidak sama bagi tiap-tiap bangsa. Contohnya masyarakat di Indonesia mulai mengenal tulisan sekitar abad ke-5 Masehi.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Yupa atau batu bertulis peninggalan kerajaan Kutai yang terdapat di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Yupa tersebut telah berdiri dari sekitar abad ke-5 Masehi. Sementara itu bangsa Mesir dan Mesopotamia telah mengenal tulisan kira-kira 3.000 tahun sebelum Masehi.

Sejarah alam semesta jauh lebih panjang jika dibandingkan dengan sejarah kehidupan manusia di muka bumi. Manusia pertama kali muncul di muka bumi ini kira-kira tiga juta tahun yang lalu. Untuk mengetahui perkembangan manusia sejak awal kehidupannya, kita perlu mempelajari terlebih dahulu periodisasi atau pembabakan zaman di muka bumi.

Periodisasi masa praaksara dapat dilihat secara geologis, arkeologis, dan perkembangan kehidupan manusia (Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 197-217). Berikut ini, diuraikan ketiga pembabakan atau periodisasi masa praaksara tersebut.

Periodisasi Masa Praaksara secara Geologis

Pada zaman dulu keadaan bumi tidak seperti sekarang. Sebelum adanya kehidupan, bumi mengalami perubahan-perubahan. Awalnya bumi dalam keadaan panas dan pijar sehingga tidak ada satu pun mahkluk hidup yang mampu bertahan hidup.

Kemudian bumi mendingin dan terbentuklah kerak atau kulit bumi. Mahkluk hidup mulai bermunculan sejalan dengan semakin mendinginnya bumi. Kerak bumi juga menghasilkan ekosistem yang membuat makhluk hidup dapat mempertahankan hidupnya.

Proses perubahan bumi terbagi atas beberapa fase-fase atau zaman. Perubahan dari satu zaman ke zaman berikutnya memakan waktu yang lama, sampai jutaan tahun. Menurut para ahli geologi (dalam Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 198) sejarah perkembangan bumi terbagi menjadi empat periode, yakni:

  1. zaman arkaikum,
  2. palaeozoikum,
  3. mesozoikum, dan
  4. neozoikum atau kenozoikum, yang terbagi atas zaman tertier dan kwartier.

Berikut adalah penjelasan dari masing-masing periodisasi masa praaksara secara geologis.

Zaman Arkaikum

Zaman Arkaikum adalah zaman tertua bagi bumi, zaman ini berlangsung kira-kira sejak 2.500 juta tahun yang lalu. Pada waktu ini, kulit bumi masih sangat panas, sehingga belum terdapat kehidupan di permukaannya.

Zaman Palaeozoikum

Palaeozoikum atau zaman kehidupan tua berlangsung kira-kira sejak 340 juta tahun yang lalu. Pada zaman ini telah muncul tanda-tanda kehidupan. Tanda-tanda tersebut antara lain munculnya binatang-binatang kecil yang tidak bertulang punggung, berbagai jenis ikan, amfibi, dan reptil.

Zaman Mesozoikum

Zaman Mesozoikum atau kehidupan pertengahan berlangsung kira-kira sejak 140 juta tahun lalu. Pada zaman ini, kehidupan di bumi makin berkembang. Binatang-binatang mencapai bentuk tubuh yang besar sekali.

Binatang-binatang tersebut adalah Dinosaurus. Selain itu mulai bermunculan pula berbagai jenis burung. Zaman mesozoikum disebut pula dengan zaman reptil karena pada zaman ini jenis binatang reptil yang paling dominan atau banyak ditemukan.

Neozoikum atau Kenozoikum

Neozoikum/Kenozoikum atau zaman kehidupan baru ini berlangsung sejak kira- kira 60 juta tahun yang lalu. Zaman ini dibagi menjadi dua, yakni zaman tertier dan zaman kuartier.

  1. Zaman Tertier
    Pada zaman tertier jenis-jenis reptil besar mulai punah dan bumi umumnya dikuasai oleh hewan-hewan besar yang menyusui. Contohnya adalah jenis gajah purba (mammuthus) yang pernah hidup di Amerika Utara dan Eropa Utara.
  2. Zaman Kuartier
    Zaman kuartier berlangsung sejak kira-kira 3 juta tahun yang lalu. Masa kuartier ini sangat penting bagi umat manusia, karena merupakan awal kehidupan manusia pertama kali di muka bumi.

Periodisasi Masa Praaksara berdasarkan Arkeologi

Periodisasi zaman praaksara berdasarkan arkeologi atau secara arkeologis didasarkan pada temuan benda-benda peninggalan yang dihasilkan oleh manusia yang hidup pada masa praaksara. Berdasarkan penelitian terhadap benda-benda tersebut, masa praaksara dibedakan menjadi dua, yaitu zaman batu dan zaman logam (Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 200).

Zaman Batu

Zaman batu adalah ketika sebagian besar perkakas penunjang kehidupan manusia terbuat dari batu. Berdasarkan hasil temuan alat-alat yang digunakan dan dari cara pengerjaannya, zaman batu dibagi menjadi tiga, yaitu: Palaeolithikum, Mesolithikum, dan Neolithikum.

Paleolithikum

Paleolithikum berasal dari gabungan kata Palaeo yang artinya “tua”, dan Lithos yang artinya “batu”. Dengan demikian, zaman paleolitikum adalah zaman batu tua. Di Indonesia, hasil kebudayaannya banyak ditemukan di daerah Pacitan dan Ngandong Jawa Timur.

Zaman batu tua diperkirakan berlangsung kurang lebih 600.000 tahun silam. Kehidupan masa praaksara manusia masih sangat sederhana, dan belum menetap yang artinya mereka masih hidup berpindah-pindah atau biasa disebut dengan istilah nomaden. Mereka memperoleh makanan dengan cara berburu, mengumpulkan buah-buahan, umbi-umbian, serta menangkap ikan.

Alat-alat yang digunakan pada zaman ini terbuat dari batu yang masih kasar dan belum diasah, seperti kapak perimbas atau alat serpih yang digunakan untuk menguliti hewan buruan, mengiris daging, atau memotong umbi-umbian.

Mesolithikum

Mesolithikum berasal dari gabungan kata Meso yang artinya “tengah” dan Lithos yang artinya batu. Artinya zaman mesolitikum adalah zaman batu tengah atau menengah. Hasil kebudayaan batu tengah sudah lebih maju jika dibandingkan dengan hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua).

Pada zaman mesolithikum, manusia sudah ada yang hidup menetap, sehingga kebudayaan yang menjadi ciri dari zaman ini adalah kebudayaan Kjokkenmoddinger dan kebudayaan Abris sous Roche.

Kjokkenmoddinger

Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark yang artinya “sampah dapur”. Mengapa disebut seperti itu? Karena Kjokkenmoddinger adalah timbunan kulit kerang dan siput yang menggunung dan sudah menjadi fosil. Di Indonesia, Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatra, yakni antara Langsa dan Medan. Dari timbunan itu, ditemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan kapak genggam Palaeolithikum.

Kapak genggam yang ditemukan tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatra sesuai dengan lokasi penemuannya. Kapak Sumatra ini bentuknya sudah lebih baik dan mulai halus. Selain itu ditemukan pula sejenis kapak pendek dan sejenis batu pipisan (batu-batu alat penggiling).

Abris Sous Roche

Sementara itu Abris Sous Roche berasal dari gabungan kata abris yang berarti “tinggal”, sous yang berarti “dalam”,  dan “roche” yang artinya “gua”. Dengan demikian, Abris Sous Roche adalah gua-gua yang dijadikan tempat tinggal manusia purba.

Gua tempat tinggal itu berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Alat-alat yang ditemukan pada gua tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Di Indonesia sisa-sia kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan misalnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan.

Neolithikum

Neolithikum berasal dari gabungan kata Neo yang artinya “baru” dan Lithos yang artinya “batu”. Ini berarti Neolithikum mengacu pada zaman batu baru. Pada zaman neolithikum telah terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat praaksara.

Mereka hidup menetap dan telah mampu menghasilkan bahan makanan sendiri melalui kegiatan bercocok tanam. Hasil kebudayaan yang terkenal dari zaman ini adalah kapak persegi dan kapak lonjong.

Kapak Persegi

Kapak persegi berbentuknya persegi panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium. Terdapat dua jenis kapak persegi, yakni yang berukuran besar dan yang berukuran kecil. Kapak berukuran besar disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul. Sementara itu kapak persegi yang berukuran kecil disebut dengan Tarah atau Tatah dan berfungsi sebagai alat pahat.

Kapak Lonjong

Kapak lonjong seperti namanya, wujudnya juga  berbentuk lonjong. Pada ujungnya yang lancip ditempatkan tangkai dan pada bagian ujung lainnya diasah sehingga bagian tersebut tajam. Kapak lonjong ada yang berukuran besar dan ada juga yang kecil. Kapak lonjong berukuran besar disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut Kleinbeil. Fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi.

Selain kapak persegi dan kapak lonjong, pada zaman Neolithikum juga ditemukan benda-benda lain seperti perhiasan, gerabah, dan pakaian. Perhiasan yang banyak ditemukan umumnya terbuat dari batu dan kulit kerang.

Tradisi Megalithik

Megalithik berasal dari kata Mega yang artinya “besar” dan Lithos yang artinya “batu”. Dengan demikian, Megalithik berarti zaman batu besar. Maksudnya, pada zaman ini telah dilakukan pendirian bangunan batu yang berukuran besar.

Tradisi ini erat kaitannya dengan kepercayaan yang berkembang pada saat itu, yaitu pemujaan tehadap roh nenek moyang. Jenis-jenis bangunan megalithik antara lain sebagai berikut.

  1. Menhir
    adalah bangunan berupa batu tegak atau tugu yang berfungsi sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang atau tanda peringatan untuk orang yang telah meninggal.
  2. Dolmen
    merupakan bangunan berupa meja batu, terdiri atas batu lebar yang ditopang oleh beberapa batu yang lain. Dolmen berfungsi sebagai tempat persembahan untuk memuja arwah leluhur. Di samping sebagai tempat pemujaan, dolmen juga berfungsi sebagai pelinggih atau tempat duduk untuk kepala suku/raja.
  3. Kubur peti batu
    adalah tempat menyimpan mayat. Kubur peti batu ini dibentuk dari enam buah papan batu, dan sebuah penutup peti. Papan-papan batu tersebut disusun secara langsung dalam lubang yang telah disiapkan terlebih dahulu. Biasanya kubur peti batu diletakkan membujur ke arah sungai atau gunung.
  4. Waruga
    merupakan peti kubur batu dalam ukuran yang kecil. Bentuknya kubus dan bulat. Di Indonesia, waruga banyak ditemukan di Sulawesi Tengah.
  5. Sarkofagus
    adalah bangunan berupa kubur batu yang berbentuk seperti lesung dan diberi tutup. Sarkofagus banyak ditemukan di daerah Bali.
  6. Punden berundak
    adalah bangunan bertingkat yang dihubungkan tanjakan kecil. Punden berundak berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang.
  7. Patung
    Tentunya bentuk patung pada masa praaksara masih sangat sederhana. Umumnya berbentuk menyerupai binatang atau manusia.

Zaman Logam

Pada zaman ini, manusia tidak hanya menggunakan bahan dari batu untuk membuat alat-alat kehidupannya, tetapi sudah mempergunakan bahan dari logam pula, yakni perunggu dan besi. Menurut perkembangannya, zaman logam dibedakan menjadi tiga, yaitu zaman perunggu, zaman tembaga, dan zaman besi.

Indonesia hanya mengalami dua zaman logam, yakni zaman perunggu dan zaman besi. Benda-benda yang dihasilkan pada zaman ini antara lain adalah kapak corong (kapak yang menyerupai corong), nekara, moko, bejana perunggu, manik-manik, cendrasa (kapak sepatu).

Periodisasi Masa Praaksara berdasarkan Perkembangan Kehidupan

Berdasarkan perkembangan kehidupan atau kebudayaannya, masa praaksara dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yakni masa berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, serta masa perundagian (pertukangan). Periodisasi ini juga membahas perkembangan masyarakat praaksara dari aspek ekonomi sosial dan budaya.

Berikut adalah pemaparan dari masing-masing tahap perkembangan kehidupan masa praaksara menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 210-217).

Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana

Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana diperkirakan semasa dengan zaman paleolithikum. Pada masa ini, peradaban manusia masih rendah. Manusia masih mengembara berpindah-pindah tempat sebagai pemburu binatang dan penangkap ikan.

Di samping itu, mereka juga meramu, yakni mencari dan mengumpulkan makanan. Jenis makanan yang dikumpulkan misalnya ubi-ubian, buah-buahan, dan daun-daunan yang tumbuh alami (tidak ditanam).

Kehidupan Ekonomi

Kehidupan ekonomi manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana masih sangat bergantung sepenuhnya pada alam. Kebutuhan makanan dipenuhi dengan cara berburu hewan dan mengumpulkan umbi-umbian, buah-buhan serta dedaunan yang tumbuh secara alami dan dapat ditemukan di sekitar lingkungan mereka.

Jika sumber makanan di sekitar tempat mereka menipis atau sudah habis, mereka berpindah ke tempat lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa mereka masih mengembara atau disebut juga dengan nomaden.

Kehidupan Sosial

Manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana hidup secara berkelompok yang tersusun dari keluarga-keluarga kecil. Anggota kelompok yang laki-laki melakukan perburuan dan yang perempuan mengumpulkan makanan dari tumbuh-tumbuhan serta hewan-hewan kecil.

Mereka selalu berpindah-pindah tempat mencari tempat tinggal baru yang banyak terdapat binatang buruan dan bahan makanan. Selain itu, manusia pada masa ini juga sering mencari tempat-tempat yang ada airnya.

Tempat yang mereka pilih ialah di padang-padang rumput diselingi semak belukar, yang sering dilalui binatang buruan. Kadang-kadang mereka memilih tempat tinggal di tepi pantai, sebab di situ mereka dapat mencari kerang dan binatang-binatang laut lainnya.

Kehidupan Budaya

Pada masa ini, manusia sudah mampu membuat alat-alat sederhana dari batu atau tulang dan kayu. Meskipun begitu, alat-alat yang dibuat masih berbentuk kasar. Alat-alat tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Alat-alat batu inti, terdiri kapak perimbas, kapak penetak, pahat genggam, dan kapak genggam.
  2. Alat serpih yang digunakan untuk pisau, peraut, gurdi, mata panah, dan untuk menguliti umbi-umbian.
  3. Selanjutnya adalah Alat dari tulang dan kayu.

Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut

Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut diperkirakan semasa dengan zaman mesolithikum. Manusia mulai hidup menetap walaupun hanya untuk sementara waktu dan mulai mengenal cara bercocok tanam sederhana. Selain itu, tampak pula beberapa kegiatan manusia yang menghasilkan sesuatu yang belum dicapai pada masa sebelumnya. Seperti lukisan di dinding gua atau dinding karang.

Kehidupan Ekonomi

Manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut sudah mengenal cara bercocok tanam dengan sistem berladang. Caranya adalah dengan menebang hutan, kemudian membersihkan dan menanaminya. Beberapa kali tanah ladang itu dipergunakan, dan setelah dirasakan kesuburannya berkurang, maka mereka berpindah ke tempat lain. Selain berladang, di zaman ini juga manusia telah mampu memelihara dan mengembangbiakkan binatang.

Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut masih dipengaruhi oleh cara hidup pada masa sebelumnya. Mereka masih melakukan perburuan hewan, menangkap ikan, mencari kerang, dan mengumpulkan makanan dari lingkungan di sekitarnya.

Meskipun demikian, kehidupan manusia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Manusia secara berkelompok mulai hidup menetap dengan memilih gua sebagai tempat tinggalnya. Biasanya gua yang dipilih adalah gua yang letaknya cukup tinggi, yaitu di lereng bukit dan dekat dengan mata air.

Kehidupan Budaya

Selama tinggal di gua, mereka biasa melukiskan sesuatu di dinding gua. Lukisan yang mereka tinggalkan menggambarkan suatu pengalaman, perjuangan, dan harapan hidup. Lukisan-lukisan tersebut dibuat dengan cara menggores dinding atau dengan memberi warna merah, hitam, dan putih. Bentuknya bermacam-macam meliputi: gambar tangan, binatang, atau bentuk lainnya.

Lukisan dinding gua juga menandakan mulai berkembangnya kepercayaan-kepercayaan manusia pada masa itu. Misalnya lukisan cap tangan berwarna merah mengandung arti kekuatan pelindung untuk mencegah roh jahat, dan cap-cap tangan yang jari-jarinya tidak lengkap dianggap sebagai tanda berkabung.

Pada masa ini, kemampuan manusia membuat alat-alat atau perkakas mengalami kemajuan yang cukup pesat pula. Alat-alat batu yang dibuat bentuknya lebih halus daripada masa sebelumnya. Alat-alat tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Kapak sumatra,
    yaitu batu kerakal yang dibelah tengah sehingga satu sisinya cembung halus dan sisi lainnya kasar.
  2. Alat tulang sampung,
    yaitu alat yang terbuat dari tulang dan tanduk digunakan sebagai penggali umbi-umbian.

Masa Bercocok Tanam

Setelah melewati tahap hidup berburu dan mengumpulkan makanan, manusia memasuki masa kehidupan yang disebut masa bercocok tanam. Masa bercocok tanam diperkirakan semasa dengan zaman Neolithikum. Pada masa ini, peradaban manusia sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Hal tersebut karena manusia sudah mampu mengolah alam untuk mencukupi kebutuhan dan hidup menetap, karena persediaan makanan sudah tercukupi tanpa berpindah-pindah.

Kehidupan Ekonomi

Pada masa bercocok tanam, manusia sudah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada alam. Kebutuhan makan dipenuhi dengan cara membabat hutan dan semak belukar untuk ditanami berbagai jenis tanaman, sehingga tercipta ladang-ladang yang memberikan hasil pertanian.

Selain bercocok tanam, mereka juga mengembangbiakan binatang ternak seperti ayam, kerbau dan hewan ternak lainnya. Meskipun sudah bercocok tanam dan memelihara hewan ternak, namun kegiatan berburu dan mengumpulkan hasil hutan juga masih tetap dilakukan.

Kemudian manusia pada masa bercocok tanam juga diperkirakan sudah melakukan kegiatan barter atau menukarkan barang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Barang yang dipertukarkan pada waktu itu ialah hasil-hasil cocok tanam, hasil kerajinan tangan seperti gerabah dan beliung, atau hasil laut berupa ikan yang dikeringkan. Ikan laut yang dihasilkan oleh penduduk pantai sangat diperlukan oleh mereka yang bertempat tinggal di pedalaman.

Kehidupan Sosial

Hidup menetap pada masa bercocok tanam memberi kesempatan bagi manusia untuk menata kehidupan secara teratur. Mereka mulai berkelompok dan membentuk masyarakat perkampungan. Perkampungan pada masa bercocok tanam terdiri atas tempat tinggal sederhana yang didiami oleh beberapa keluarga dan dipimpin oleh kepala kampung.

Biasanya kedudukan sebagai kepala kampung dijabat oleh orang yang paling tua dan berwibawa. Kepala kampung merupakan tokoh yang disegani, dihormati dan ditaati oleh penduduk kampung yang dipimpinnya. Kegiatan-kegiatan dalam kehidupan perkampungan yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan bersama mulai diatur dan dibagi antar anggota masyarakat.

Kegiatan yang banyak menghabiskan tenaga seperti, membabat hutan, menyiapkan ladang untuk ditanami, membangun rumah atau membuat perahu dilakukan oleh laki-laki. Adapun perempuan melakukan kegiatan menabur benih di ladang yang sudah disiapkan, merawat rumah dan kegiatan lain yang tidak memerlukan tenaga besar.

Kehidupan Budaya

Pada masa bercocok tanam, manusia semakin mahir membuat berbagai alat-alat atau perkakas. Alat-alat yang dihasilkan sudah lebih halus dan fungsinya beraneka ragam. Alat-alat tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Kapak Persegi digunakan mengerjakan kayu, menggarap tanah dan alat upacara keagamaan.
  2. Sementara itu Kapak Lonjong digunakan sebagai cangkul untuk menggarap tanah dan sebagai kapak biasa.
  3. Gerabah digunakan sebagai wadah untuk menampung makanan.
  4. Alat pemukul kulit kayu, digunakan untuk memukul-mukul kulit kayu hingga halus.
  5. Perhiasan berupa gelang dari batu dan kulit kerang.

Pada masa bercocok tanam, berkembang pula kepercayaan bahwa roh seseorang tidak lenyap pada saat meninggal dunia. Roh dianggap mempunyai kehidupan di alamnya sendiri. Oleh karena itu, diadakan upacara pada waktu penguburan.

Orang yang meninggal dibekali bermacam-macam barang keperluan sehari-hari, seperti perhiasan dan periuk yang dikubur bersama tubuhnya. Hal tersebut maksudnya agar perjalanan orang yang meninggal menuju alam arwah dan di kehidupan selanjutnya terjamin dengan baik.

Oleh karena itu, pada masa ini mulai berkembang pula tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik (bangunan besar dari batu). Tradisi ini didasari atas kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati. Kepercayaan itu terutama pada akan adanya pengaruh kuat dari orang yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.

Jasa seorang kerabat yang telah meninggal dunia diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Bangunan ini kemudian menjadi media penghormatan, tempat singgah, dan menjadi lambang bagi orang yang meninggal tersebut.

Masa Perundagian

Masa perundagian merupakan akhir masa praaksara di Indonesia. Kata perundagian berasal dari bahasa Bali: undagi, yang artinya adalah “ahli”. Lebih jauh maknanya mengacu pada seseorang, sekelompok orang atau segolongan orang yang mempunyai kepandaian atau keterampilan jenis usaha tertentu. Misalnya ahli pembuatan gerabah, pembuatan perhiasan, atau pembuatan sampan.

Masa perundagian diperkirakan semasa dengan zaman perunggu. Pada masa ini, peradaban manusia sudah maju tingkatannya. Teknologi pembuatan alat-alat atau perkakas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Kehidupan Ekonomi

Masyarakat pada masa perundagian telah mampu menata dan mengatur kehidupannya. Kegiatan kehidupan yang mereka lakukan tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Kegiatan pertanian di ladang dan sawah masih tetap dilakukan. Pengaturan air dilakukan agar kegiatan pertanian tidak sepenuhnya bergantung pada hujan. Hasil pertanian disimpan untuk masa kering dan mungkin juga untuk diperdagangkan ke daerah lain.

Kegiatan peternakan juga turut berkembang, hewan ternak yang dipelihara lebih beragam dari masa sebelumnya. Masyarakat telah mampu beternak kuda dan berbagai jenis unggas lainnya.

Munculnya golongan masyarakat yang memiliki keterampilan khusus menyebabkan teknologi berkembang pesat. Seiring kemajuan yang dicapai, terjadi peningkatan kegiatan perdagangan pula, meskipun masih bersifat barter (tukar-menukar barang).

Bedanya, pada masa perundagian, perdagangan telah menjangkau tempat-tempat yang jauh, hingga ke antarpulau. Barang-barang yang dipertukarkan semakin beragam, seperti alat pertanian, perlengkapan upacara, dan hasil kerajinan.

Kegiatan perdagangan antarpulau pada masa perundagian dibuktikan dengan ditemukannya nekara di Selayar dan kepulauan Kei yang dihiasi gambar-gambar binatang seperti gajah, merak, dan harimau. Binatang-binatang ini tidak ada di wilayah Indonesia bagian timur. Hal tersebut menunjukkan bahwa nekara tersebut berasal dari daerah Indonesia bagian barat.

Kehidupan Sosial

Masyarakat pada masa perundagian hidup menetap di perkampungan yang lebih besar dan lebih teratur. Beberapa perkampungan kini bersatu hingga jumlah kelompok penduduk bertambah banyak. Masyarakat tersusun dalam kelompok yang beragam. Ada kelompok petani, ada pedagang, ada pula kelompok undagi (pengrajin/tukang).

Dalam tata kehidupan yang sudah teratur, berburu binatang liar seperti harimau dan kijang masih tetap dilakukan. Namun kali ini perburuan sudah mulai bergeser tujuannya. Perburuan selain untuk menambah mata pencaharian, juga dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat keberanian dan kegagahan dalam suatu lingkungan masyarakat.

Kehidupan Budaya

Pada masa perundagian, manusia sudah mahir membuat berbagai peralatan atau perkakas. Alat-alat yang dihasilkan terbuat dari logam digunakan untuk bertani, bertukang, peralatan rumah tangga, perhiasan, hingga alat perlengkapan upacara dan pemujaan.

Kepercayaan yang berkembang pada masa ini masih melanjutkan kepercayaan pada masa sebelumnya. Manusia meyakini bahwa arwah nenek moyang mereka akan berpengaruh terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakatnya. Oleh karena itu, arwah nenek moyang harus selalu dihormati dengan melaksanakan berbagai upacara.

Penghormatan kepada orang yang sudah meninggal dengan diberi bekal kubur juga masih dilakukan. Apalagi jika orang yang meninggal adalah orang yang terpandang atau mempunyai kedudukan dalam masyarakat.

Pada masa ini, berbagai bidang seni seperti seni lukis, seni ukir/pahat, seni patung, dan seni bangunan (arsitektur) mengalami perkembangan. Hal yang menunjukkan perkembangan ini di antaranya adalah meningkatnya pemahatan arca dan pendirian bangunan batu untuk pemujaan.

Nilai-Nilai Budaya Masa Praaksara di Indonesia

Kita dapat menarik berbagai nilai-nilai sosial, budaya, dan tradisi dari kehidupan pada masa praaksara. Bahkan, sebetulnya nilai-nilai budaya dan tradisi ini masih terlihat dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Nilai Religius (Kepercayaan)
    Masyarakat praaksara meyakini bahwa kejadian-kejadian alam seperti hujan, petir, banjir, gunung meletus, atau gempa bumi adalah akibat perbuatan roh halus atau makhluk ghaib. Untuk menghindari malapetaka maka roh halus atau makhluk ghaib harus selalu dipuja (animism). Masyarakat praaksara senantiasa menghargai dan tidak merusak alam pula.
  2. Nilai Gotong Royong
    Masyarakat praaksara hidup secara berkelompok, mereka bergotong royong untuk kepentingan bersama, contohnya membangun rumah yang dilakukan secara bersama-sama. Budaya gotong royong juga dapat terlihat dari peninggalan mereka berupa bangunan-bangunan batu besar yang dapat dipastikan dibangun secara gotong royong.
  3. Nilai Musyawarah
    Dalam kehidupan berkelompok, masyarakat praaksara telah mengembangkan nilai musyawarah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dipilihnya pemimpin yang dianggap paling tua (sesepuh) yang mengatur masyarakat dan memberikan keputusan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bersama.
  4. Nilai Keadilan
    Nilai keadilan sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat praaksara, yaitu adanya pembagian tugas sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Tugas antara kaum laki-laki berbeda dengan kaum perempuan. Hal ini mencerminkan sikap yang adil karena setiap orang akan memperoleh hak dan kewajiban sesuai kemampuannya.
  5. Tradisi Bercocok Tanam
    Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat praaksara untuk memenuhi memenuhi kebutuhan hidup adalah dengan bercocok tanam. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya alat khas pertanian yang berupa beliung persegi dan alat lainnya.
  6. Tradisi Bahari (Pelayaran)
    Masyarakat praaksara telah mengenal ilmu astronomi. Ilmu itersebut sangat membantu pada saat mereka berlayar dari pulau ke pulau dengan memakai perahu yang sangat sederhana, yakni perahu cadik. Perahu bercadik adalah perahu yang kanan-kirinya dipasang alat dari bambu dan kayu agar perahunya tidak mudah oleng. Perahu bercadik memegang peranan yang sangat penting di masa praaksara, karena selain menjadi sarana lalu lintas sungai dan laut, perahu ini juga berperan sebagai alat penyebaran budaya.

Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Paul dan Fritz Sarasin (dalam Tim Kemdikbud, 2017, hlm. 220) mengemukakan bahwa penduduk asli Indonesia adalah suatu ras yang berkulit gelap dan bertubuh kecil. Nenek moyang bangsa Indonesia meliputi suku bangsa Vedda, Proto Melayu, dan Melanesoid.

Suku Bangsa Vedda

Ras ini pada awalnya mendiami Asia Bagian Tenggara yang saat itu masih bersatu sebagai daratan pada zaman es atau periode glasial. Namun, setelah periode es berakhir dan es mencair, maka dataran tersebut kemudian terpisah oleh lautan China Selatan dan laut Jawa.

Akibatnya, daratan yang tadinya bersatu kemudian terpisah menjadi daratan utama Asia dan Kepulauan Indonesia. Penduduk asli tinggal di daerah pedalaman dan penduduk pendatang tinggal di daerah pesisir. Penduduk asli inilah yang disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin.

Orang Vedda kemudian menyebar ke timur dan mendiami wilayah Papua, Sulawesi Selatan, Kai, Seram, Timor Barat, Flores Barat, dan terus ke timur hingga Kepulauan Melanesia. Beberapa suku bangsa seperti Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka diyakini mempunyai hubungan erat dengan ras Vedda.

Proto Melayu

Ras lain yang menghuni kepulauan Indonesia adalah Proto Melayu dan Deutro Melayu. Ciri-ciri fisik mereka adalah rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata sipit. Proto Melayu dan Deutro Melayu tiba di kepualauan Indonesia dalam dua gelombang kedatangan.

  1. Gelombang kedatangan pertama adalah Proto Melayu (Melayu Tua), mereka dianggap sebagai kelompok melayu Polinesia yang bermigrasi dari wilayah Cina Selatan (sekarang menjadi Provinsi Yunnan). Proto Melayu bermigrasi ke wilayah Nusantara melalui dua jalur, yakni jalur barat dan timur. Jalur barat bermula dari Yunnan (Cina Bagian Selatan) masuk ke Indochina, kemudian masuk ke Siam, Semenanjung Melayu, Sumatra dan akhirnya menyebar ke pulau-pulau di Indonesia. Jalur timur melewati Kepulauan Ryukyu Jepang. Dari sana mereka mengarungi lautan menuju Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi.
  2. Gelombang kedatangan ke Kepulauan Indonesia berikutnya adalah Deutro Melayu (Melayu Muda) yang berasal dari Indochina bagian utara. Kedatangan Deutro-Melayu mendesak keberadaan Proto Melayu ke arah pedalaman. Mereka memperkenalkan perkakas dan senjata yang terbuat dari besi atau logam. Mereka telah melakukan kegiatan bercocok tanam. Padi yang banyak ditanam di Indonesia saat ini dibawa oleh Deutero Melayu dari wilayah Assam Utara atau Birma Utara. Bangsa Deutro-Melayu mengembangkan peradaban dan kebudayaan yang lebih maju. Karena itu, mereka berkembang menjadi sebagian besar suku-suku yang ada di Indonesia saat ini seperti Melayu, Minang, Jawa, Bugis, dan lain-lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, Proto Melayu dan Deutero Melayu berbaur, hingga terlalu sulit untuk dibedakan.

Ras Melanesoid

Ras lain yang juga terdapat di Kepulauan Indonesia adalah ras Melanesoid. Mereka tersebar di lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur Irian dan benua Australia. Kedatangan ras Melanesoid diperkirakan pada saat zaman es terakhir.

Pada saat itu Kepulauan Indonesia belum berpenghuni. Ras Melanesoid melakukan perpindahan ke timur hinggake Papua, selanjutnya ke Benua Australia yang sebelumnya merupakan satu kepulauan yan gterhubungan dengan Papua.

Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi percampuran antara ras Melanesoid dan ras Melayu yang menghasilkan keturunan Melanesoid Melayu, saat ini mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Referensi

  1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Ilmu Pengetahuan Sosial SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *