Setelah mencapai usia 90 hingga 100 tahun, manusia menghadapi masa akhir hidupnya, di mana kematian kini menjadi fakta yang benar-benar tidak dapat dihindari lagi. Kematian memang suatu fakta biologis, akan tetapi kematian juga memiliki aspek sosial, kultural, historis, religius, legal, psikologis, perkembangan, medis, dan etis, dan sering kali berbagai aspek ini saling berkaitan. Sikap kultural dan religius terhadap kematian dan kondisi sekarat memengaruhi aspek psikologis dan perkembangan serta persoalan kematian itu sendiri.

Namun demikian perkembangan masa akhir kehidupan tidak hanya mencakup orang-orang lanjut usia yang berada pada puncak ketuaannya. Perkembangan masa akhir kehidupan juga dapat terjadi pada orang-orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak yang mengalami near death experiences, sekarat, atau diidapi penyakit yang belum dapat diidentifikasi atau disembuhkan.

Kematian pada umumnya di anggap sebagai akhir proses jasmaniah. Akan tetapi kriteria kematian menjadi semakin kompleks dengan perkembangan peralatan medis yang dapat memperpanjang sinyal dasar kehidupan. Alat bantu kehidupan bisa saja mempertahankan sinyal kehidupan seseorang yang sekarat dan akan segera meninggal dunia, namun secara fisik bisa jadi ia tidak dapat bergerak bahkan mungkin tidak memiliki aktivitas otak yang menjadi sinyal kehidupan utama. Namun demikian terdapat pula kisah ajaib yang setelah beberapa bahkan puluhan tahun seseorang yang dibantu oleh life support ini ternyata mampu bangun dan hidup kembali.

Perkembangan medis ini memunculkan pertanyaan berkaitan dengan apakah dan kapan alat bantu kehidupan tersebut terus dipertahankan atau dicabut, dan siapa yang dapat memutuskan untuk menghentikan atau melanjutkan penggunaan alat bantu tersebut. Klaim ”hak untuk mati” telah mengarah kepada hukum pengizinan atau pelarangan petugas medis membantu seseorang yang sakit secara permanen untuk mengakhiri hidup yang telah menjadi semacam beban.

Selain dari sisi medis, perkembangan masa akhir kehidupan juga akan dibaluti oleh berbagai konteks kultural yang akan dipaparkan di bawah ini.

Konteks Kultural Masa Akhir Kehidupan

Adat yang berkaitan dengan mengingat atau yang merupakan meninggal dunia. Belum lagi masalah peralihan kepemilikan (warisan), bahkan ekspresi duka amat bervariasi di antara kultur dan sering kali diatur oleh aturan religius atau legal yang merefleksikan pandangan masyarakat mengenai apa makna dalam kematian dan apa yang terjadi setelahnya.

Aspek kultural terhadap kematian mencakup perhatian dan perilaku terhadap yang sekarat dan yang meninggal dunia. Misalnya, di Iralndia, kebiasaan dan ritual berduka dilakukan dengan cara tidak tidur seminggu penuh sebagai bentuk menghargai dan mengenang rang yang meninggal dunia tersebut dari keluarga dan teman-temannya.

Selain itu, isu kultural ini juga tak jarang bergesekan dengan aspek lain. Misalnya, di Barat kematian seseorang adalah beban finansial yang besar pula bagi keluarganya, karena berbagai prosesi yang harus dilalui sangatlah rumit dan mahal. Sementara itu pemerintah Jepang harus membuat aturan yang membebankan segala urusan sosial dan finansial pada keluarga yang melakukan bunuh diri dengan cara menabrakkan dirinya pada kereta api yang sedang beroperasi.

Perkembangan Kognitif Masa Akhir Kehidupan

Saat menghadapi masa akhir hidupnya, kognitif manusia menghadapi dua isu utama, yaitu menghadapi kematian sendiri dan kehilangan atau kematian orang-orang di sekitarnya, baik itu saudara, teman, dsb.

Menghadapi Kematian Diri Sendiri

Dalam kondisi tidak adanya penyakit yang dapat diidentifikasi, orang-orang yang berusia sekitar 100 tahun atau yang hampir mendekati batas rentang usia manusia saat ini biasanya menderita penurunan kognitif dan fungsional lainnya. Mereka bahkan kehilangan selera makan dan minum, dan umumnya meninggal secara natural.

Perubahan terebut juga dicermati pada orang-orang yang lebih mudah mendekati kematian. Beberapa orang yang mendekati ajal mengalami pengalaman “near-death”, yang sering kali mencakup perasaan keluar dari tubuh dan penampakan cahaya terang atau pengalaman mistis.

Psikiatris Elisabet Kubler-Ross, dalam pengalamannya menghadapi orang-orang yang sekarat, menemukan sebagian besar dari mereka menerima peluang untuk berbicara secara terbuka berkaitan dengan kondisi mereka dan sadar bahwa mereka sudah mendekati kematian, bahkan ketika mereka belum diberitahukan.

Setelah berbicara dengan sekitar 500 pasien berpenyakit tak tersembuhkan, Kubbler-Ross (1969, 1970 dalam Thahir, 2018, hlm. 220) memaparkan lima tahap dalam kondisi dekat dengan kematian, yakni:

  1. penolakan (penolakan yang menerima realitas apa yang terjadi);
  2. marah;
  3. menawar untuk mendapatkan tambahan waktu;
  4. depresi; dan akhirnya
  5. penerimaan.

Pola Kehilangan

Kubbler Ross juga mengisyaratkan pergerakan yang mirip dalam perasaan orang-orang yang menghadapi duka. Terdapat suatu pola dalam menghadapinya yang disebut dengan pola kehilangan. Duka karena kehilangan-kehilangan seseorang yang dirasakan dekat dan proses penyesuaian diri dengan kondisi tersebut secara praktik dapat memengaruhi semua aspek kehidupan mereka yang ditinggalkan. Kehilangan sering kali membawa perubahan dalam status dan peran.

Misalnya, dari seorang istri menjadi seorang janda atau dari seorang anak menjadi seorang piatu. Kondisi tersebut dapat memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi, kehilangan teman yang terkadang pemasukan. Akan tetapi pertama-tama adalah rasa duka, yakni respons emosional yang dialami pada awal fase berduka.

Perkembangan Psikososial Masa Akhir Kehidupan

Tidak ada cara tunggal memandang kematian pada tingkat usia manapun; sikap orang-orang terhadapnya merefleksikan kepribadian dan pengalaman mereka, sekaligus beberapa kuat mereka yakin bahwa mereka akan meninggal. Akan tetapi ada banyak perbedaan perkembangan yang terjadi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh model timing of event, kemarin tidak berati hal yang sama bagi pria yang berusia 85tahun dengan radang sendi yang amat menyakitkan, seorang wanita 56 tahun yang sedang berada di puncak karir kemudian mengetahui bahwa dia menderita kanker payudara dan seseorang yang berusia 15 tahun yang meninggal akibat overdosis obat terlarang. Perubahan umum dalam sikap terhadap kematian sepanjang rentang usia tergantung kepada perkembangan kognitif dan timing of event normatif atau non-normatif.

Pandangan Masa Kanak-Kanak dan Remaja

Baru diusia 5-7 tahun sebagian besar anak memahami bahwa kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari; dan yang kedua bahwa orang yang sudah meninggal tidak berfungsi (semua fungsi kehidupan berakhir pada saat meninggal. Sebelum usia tersebut, anak-anak bisa jadi yakin bahwa beberapa kelompok orang (katakanlah, guru, orang tua dan anak kecil) tidak meninggal, bahwa seseorang yang pintar atau beruntung dapat menghindari kematian dan bahwa mereka sendiri dapat hidup kekal abadi.

Masa Dewasa

Para pemuda yang telah menyelesaikan pendidikan mereka dan memulai karier, pernikahan, atau menjadi orang tua biasanya bersemangat untuk menjalani hidup yang untuknya telah mereka persiapkan diri mereka. Apabila mereka tiba-tiba dihantam oleh penyakit atau cedera yang berpotensi fatal, mereka cenderung menjadi frustasi. Frustasi bisa berubah menjadi kemarahan, yang menjadikan mereka pasien rumah sakit yang sulit.

Pada saat ini misalnya, banyak orang menderita AIDS di usia 20 atau 30-an mereka sering kali harus menghadapi isu kematian dan proses menjelang ajal, pada usia ini seharusnya mereka sedang menghadapi isu masa dewasa awal seperti membentuk hubungan intim. Ketimbang memiliki kehilangan yang berlangsung seumur hidup sebagai persiapan gradual bagi puncak kehilangan kehidupan.

Pada masa paruh baya, sebagian besar orang-orang menjadi lebih sadar dari sebelumnya bahwa mereka akan meninggal. Tubuh mereka mengirimkan sinyal bahwa mereka tidak lagi semuda, secerdas, dan segairah dahulu. Mereka akan semakin banyak memikirkan berapa tahun yang tersisa bagi mereka dan bagaimana memanfaatkan tahun-tahun tersebut semaksimal mungkin. Terutama setelah kematian kedua orang tua, ada kesadaran baru bahwa dirinya menjadi generasi lebih tua yang berada di urutan berikutnya untuk meninggal.

Sementara itu lansia bisa jadi memiliki perasaan bercampur aduk mengenai kemungkinan proses menjelang ajal. Kemunduran fisik dan berbagai masalah serta berbagai kemunduran fisik dan berbagai masalah lain serta berbagai kemunduran usia tua mungkin menghilangkan kenikmatan mereka dalam kehidupan dan keinginan mereka untuk hidup. Menurut Erikson (dalam Thahir, 2018, hlm. 223), lansia yang telah menyelesaikan alternatif kritis final integritas versus keputusasaan mencapai penerimaan terhadap apa yang telah mereka lakukan dalam kehidupan mereka dan kematian yang akan terjadi.

Kehilangan Khusus

Kehilangan khusus yang lebih sulit untuk diterima mungkin terjadi sepanjang masa dewasa adalah kematian pasangan, orang tua, dan anak. Selain itu, terdapat pula kemungkinan kehilangan keturunan akibat keguguran atau stillbirth. Kehilangan khusus ini akan memberikan dampak psikososial yang berbeda dan khusus pula.

Referensi

  1. Thahir, A. (2018). Psikologi perkembangan. Lampung: Aura Publishing.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *