Pengertian Self Presentation

Self presentation (presentasi diri) atau dikenal juga sebagai impression management (manajemen kesan) adalah proses di mana individu melakukan pengendalian atau pengelolaan kesan agar orang lain membentuk kesan tertentu mengenai mereka dalam interaksi sosial (Delamater & Myers, 2011 dalam Maryam, 2018, hlm. 55-56). Kebanyakan individu sering kali memfokuskan diri pada kesan yang ingin ditampilkan melalui perilaku publik di lingkungan sosialnya.

Individu yang mengalami self presentation bisa jadi menyadari atau tidak menyadarinya. Fokus utama pada self presentation adalah untuk menetapkan sebuah image publik tentang diri kita sendiri yang konsisten dengan apa yang diinginkan atau diharapkan oleh orang lain tentang diri kita. Kita dapat melakukan hal ini, misalnya dengan mengklaim bahwa kita memiliki beberapa atribut yang mereka hargai, meskipun secara nyata kita tidak memiliki atribut tersebut.

Sementara itu menurut Menurut Kassin dkk (2008 dalam Maryam, 2018, hlm. 56) presentasi diri merupakan sebuah proses di mana kita berusaha untuk membentuk apa yang dipikirkan orang lain tentang kita dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri.

Selanjutnya, Goffman seorang tokoh Sosiologi yang mencetuskan manajemen impresi mengartikan self presentation atau impression management sebagai kebutuhan individu dalam mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang bisa diterima oleh orang lain. Lebih lanjut ia menjelaskan bawa diri sebagai penampil (self as performer), bukan semata-mata sebuah produk sosial, tapi juga memiliki dasar motivasi. Artinya, secara psikologis self presentation dapat dikatakan sebagai perpanjangan proses mental konasi (kehendak).

Dapat disimpulkan bahwa self presentation adalah usaha individu untuk menampilkan kesan yang diinginkan oleh dirinya dan orang lain agar dapat diterima atau mendapatkan imbalan dan motivasi-motivasi lainnya saat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Tujuan Self Presentation

Secara umum manusia melakukan self presentation dengan tujuan agar mereka dilihat dan dinilai secara positif oleh orang lain, sehingga akan memperoleh penghargaan (reward) dari lingkungan sosialnya, seperti ingin disukai, dapat mempengaruhi orang lain, memperoleh posisi, mempertahankan status, dan sebagainya (Delamater & Myers, 2011 dalam Maryam, 2018, hlm. 56).

Selain itu menurut Dayakisni dan Hudaniah (2015, hlm. 72) mengatakan bahwa individu yang memiliki presentasi diri yang baik, maka ia akan diterima oleh masyarakat. Sebaliknya,  individu yang memiliki presentasi diri yang buruk maka ia akan merasakan perasaan terasingkan oleh masyarakat.

Selanjutnya, Argyle (dalam Maryam, 2018, hlm. 56) i mengemukakan bahwa terdapat tiga motivasi primer dalam impression management, yaitu:

  1. untuk memperoleh imbalan materi atau sosial (agar disukai, dihormati, dipuji, dan sebagainya),
  2. untuk mempertahankan atau meningkatkan harga diri, dan
  3. untuk mempermudah pengembangan identitas diri.

Motivasi untuk melakukan pengelolaan kesan biasanya sering terjadi dalam situasi yang melibatkan tujuan penting (persahabatan, persetujuan, imbalan materi) di mana individu yang melakukannya merasa kurang puas dengan image yang diproyeksikan saat ini. Selain itu, motivasi untuk mengelola kesan juga lebih kuat saat seseorang merasa tergantung pada seseorang yang berkuasa di mana orang tersebut mengendalikan sumber-sumber penting bagi dirinya.

Syarat Manajemen Impresi

Goffman mengajukan syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila seseorang ingin melakukan pengeloaan kesan (impression management) atau presentasi diri secara baik yang di antaranya adalah sebagai berikut .

  1. Penampilan muka (proper front), yaitu perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus oleh aktor agar orang lain mengetahui dengan jelas perannya.
  2. Keterlibatan secara penuh dalam peran, sehingga membantu aktor untuk sungguh-sungguh meyakini perannya dan bisa menghayati perannya secara total.
  3. Mewujudkan idealisasi harapan orang lain tentang peran actor.
  4. Menjaga atau memelihara jarak sosial (mystification) antara aktor dan orang lain, agar tetap bisa menyadari perannya dan tidak hilang dalam proses tersebut (Dayakisni & Hudaniah, 2015).

Faktor yang Mempengaruhi Self Presentation

Menurut Delamater & Myers (dalam Maryam, 2018, hlm. 57) kesuksesan dalam presentasi diri ditentukan oleh dua hal berikut.

  1. Dalam upaya untuk menetapkan definisi situasi agar interaksi berjalan dengan sukses, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya harus berbagi pemahaman tentang realitas sosial mereka. Sesuai dengan pandangan teori interaksi simbolik (symbolic interaction theory) yang mengatakan bahwa agar interaksi sosial berjalan lancar maka orang-orang yang terlibat di dalamnya harus bersama-sama berbagi definisi sebuah situasi (kesepakatan tentang siapa mereka, apa tujuan mereka, perilaku seperti apa yang layak, dan apa artinya perilaku mereka). Untuk membentuk definisi situasi ini, orang-orang harus sepakat menjawab pertanyaan tentang: a) apa tipe kegiatan sosial terdekat (pernikahan, reuni, interview pekerjaan, dan lain-lain), dan apa kerangka (frame) interaksi ?; b) Identitas seperti apa yang diinginkan oleh partisipan dalam interaksi tersebut ?
  2. Upaya untuk mengungkapkan informasi tentang diri (self) yang konsisten dengan identitas yang diklaim (selfdisclosure). Agar kita bisa mengetahui lebih banyak tentang orang lain dengan lebih baik maka kita mengungkapkan tentang diri kita sendiri secara lebih detil dan akrab.

Strategi Self Presentation

Menurut Delamater dan Myers (dalam Maryam, 2018, hlm. 58) strategi presentasi diri adalah berbagai kondisi tertentu yang sengaja diikuti untuk membuat orang menghadirkan diri mereka sebagai seseorang yang bukan sesungguhnya untuk menghasilkan self presentation yang diinginkan dengan cara membesar-besarkan, ataupun membuat kesan yang menyesatkan tentang dirinya di mata orang lain. Beberapa strategi presentasi diri menurut Delamater dan Myers (dalam Maryam, 2018, hlm. 58-16) adalah sebagai berikut.

  1. Managing appearance (Mengelola penampilan).
    Appearance merujuk pada segala sesuatu pada seseorang di mana orang lain bisa melihatnya, seperti pakaian, cara berdandan, kebiasaan yang terlihat (merokok, mengunyah permen karet), komunikasi verbal (dialek, kosakata), dan komunikasi nonverbal. Melalui appearance yang kita hadirkan, kita menunjukkan kepada orang-orang seperti apa kita dan aksi apa yang ingin kita lakukan.
  2. Ingratiation (Mengambil muka atau menjilat).
    Strategi ini merupakan perilaku yang dimotivasi oleh keinginan untuk disukai orang lain. Mengambil muka dapat dilakukan dengan bermacam cara dan taktik yang disesuaikan terhadap situasi dan kondisi sosial yang dihadapi.
  3. Self-promotion (Promosi diri).
    Selfpromotion adalah tindakan yang dimotivasi oleh keinginan untuk dianggap maju dan disegani karena kemampuan atau kompetensinya. Berbeda dengan ingratiation yang mengambil muka saja, self promotion dilakukan dengan tindakan nyata yang terlihat dan dianggap sangat membantu bagi orang lain.
  4. Aligning Action (Penyelarasan tindakan).
    Aligning Action merupakan upaya individu untuk mendefinisikan perilakunya yang nampaknya diragukan karena bertentangan dengan norma. Terdapat dua tipe penting dari aligning actions, yaitu disclaimers (menyangkal) dan accounts (alasan-alasan). Disclaimers merupakan pernyataan secara verbal yang bertujuan untuk menyangkal implikasi negatif dari tindakan yang akan datang dengan mendefiniskan tindakan ini yang dianggap tidak relevan dengan identitas sosial yang dimiliki seseorang. Dengan melakukan disclaimers, meskipun tindakan yang akan datang umumnya menghasilkan identitas negatif, tindakan tersebut merupakan kasus yang luar biasa.
  5. Intimidation (Mengancam atau menakut-nakuti).
    Strategi ini digunakan untuk menimbulkan rasa takut, dan sebagai upaya untuk memperoleh kekuasaan dengan cara meyakinkan orang lain bahwa dirinya orang yang berbahaya.
  6. Supplification (Permohonan).
    Supplification adalah meyakinkan seorang target bahwa kita membutuhkan dan layak memperoleh pertolongan atau simpati.
  7. Altercasting (Membuat cetakan).
    Aftercasting adalah taktik presentasi diri untuk memaksakan peran dan identitas kepada orang lain. Melalui strategi ini, kita menempatkan orang lain dalam identitas situasi dan peran yang menguntungkan kita. Secara umum, altercasting melibatkan perlakuan terhadap orang lain seolah-olah mereka telah memiliki identitas dan peran yang ingin kita paksakan pada mereka. Misalnya guru mengatakan kepada muridnya “Saya tahu kamu bisa melakukan yang lebih baik dari itu.” Ucapan ini menekan murid untuk menghayati sebuah identitas atau kemampuan yang dipaksakan. 8
  8. Exemplification (Pemberian teladan).
    Strategi yang memproyeksikan pada kejujuran dan moralitas, dengan mempresentasikan sebagai orang yang jujur, disiplin, dermawan, baik hati. Terkadang perilaku yang ditunjukkan memang mencerminkan keadaan yang sebenarnya, namun sering kali pengguna strategi ini berusaha memanipulasi dan tidak tulus dalam melakukannya (Dayakisni dan Hudaniah, 2015).
  9. Self-handicapping (Menghambat diri).
    Saat menghadapi kegagalan sering kali orang-orang beralasan bahwa kegagalan tersebut karena terdapat hambatan yang memang tidak bisa diatasi, bukan karena kelemahan mereka. Misalnya, mahasiswa yang begadang semalaman sebelum ujian keesokan harinya, mengaitkan nilai yang buruk karena keletihan, bukan karena kemampuannya atau kemalasannya dalam belajar.

Referensi

  1. Dayakisni, T., Hudaniyah. (2015). Psikologi sosial. Malang: UMM Press.
  2. Maryam, E.W. (2018). Psikologi sosial. Sidoarjo: UMSIDA Press.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *