Dalam konstruktivisme, pembelajaran bukanlah proses mentransfer ilmu, namun harus dibangun (constructed) sendiri oleh peserta didik. Dengan demikian, pusat pembelajaran harus dapat dilakukan secara mandiri oleh peserta didik. Guru atau pendidik dalam konstruktivisme hanya berperan sebagai fasilitator saja. Ini sebabnya, teori belajar ini melahirkan banyak pendekatan, model, dan metode pembelajaran yang berbasis student-centered atau berpusat pada siswa.

Konstruktivisme sendiri merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan). Dalam sudut pandang konstruktivisme, pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui aktivitas seseorang.

Konstruktivisme ingin memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar menemukan sendiri kompetensi dan pengetahuannya, guna mengembangkan kemampuan yang sudah ada pada dirinya. Dalam proses belajar mengajar, guru tidak hanya memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang sempurna.

Dengan kata lain, peserta didik harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Lalu bagaimana aplikasinya dalam dunia pendidikan? Seperti apa prinsip yang diusung, dan bagaimana kita membedakan teori belajar ini dari teori belajar lainnya? Berikut adalah berbagai uraian yang akan menjawab berbagai pertanyaan tersebut.

Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah teori belajar yang mengusung pembangunan kompetensi, pengetahuan, atau keterampilan secara mandiri oleh peserta didik yang difasilitasi oleh pendidik melalui berbagai rancangan pembelajaran dan tindakan yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan yang dibutuhkan pada peserta didik.

Menurut Thobroni & Mustofa (2015, hlm. 107) Teori konstruktivisme memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Artinya, belajar dalam pandangan konstruktivisme betul-betul menjadi usaha aktif individu dalam mengonstruksi makna tentang sesuatu yang dipelajari.

Sementara itu, Yaumi & Hum (2017, hlm. 42) meungungkapkan bahwa konstruktivisme mengasumsikan bahwa siswa datang ke ruang kelas dengan membawa ide-ide, keyakinan, dan pandangan yang perlu diubah atau dimodifikasi oleh seorang guru yang memfasilitasi perubahan ini, dengan merancang tugas dan pertanyaan yang menantang seperti membuat dilema untuk diselesaikan oleh peserta didik.

Dalam hal ini, meskipun guru tidak melakukan transfer ilmu, guru harus tetap melakukan tindakan-tindakan yang akan memfasilitasi terbangunnya perubahan positif terhadap pada siswa. Sehingga siswa dapat membangun suatu pengetahuan, keterampilan, atau afeksi positif yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Selanjutnya, Mudlofir & Fatimatur (2017, hlm. 12-13) menjelaskan bahwa dalam konstruktivisme, belajar lebih diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Oleh karena itu, aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar. Pembelajaran menurut teori belajar konstruktivistik lebih menekankan kepada proses dalam pembelajaran.

Berdasarkan keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konstruktivisme adalah teori belajar yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk aktif belajar menemukan sendiri kompetensi dan pengetahuannya guna mengembangkan kemampuan yang sudah ada pada dirinya untuk diubah atau dimodifikasi oleh guru yang memfasilitasi, dengan merancang berbagai tugas, pertanyaan, atau tindakan lain yang memancing rasa penasaran siswa untuk menyelesaikannya.

Proses Mengonstruksi

Menurut Piaget (Dahar, 2011: 159) secara garis besar penekanan teori konstruktivisme terletak pada proses untuk menemukan sebuah teori atau pengetahuan yang ditemukan dan dibangun atas realita dilapangan. Singkatnya, proses mengonstruksi adalah yang utama. Proses mengkonstruksi sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Jean Piaget adalah sebagai berikut.

  1. Skemata, merupakan sekumpulan konsep yang digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan.
  2. Asimilasi, merupakam proses dimana seseorang menginterpretasikan dan mengintegrasikan persepsi.
  3. Akomodasi, merupakan proses sesorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang dimilikinya.
  4. Keseimbangan, merupakan dimana terjadinya proses Ekuilibrasi (keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi) dan diskuilibrasi (tidak seimbangnya antara asimilasi dengan akomodasi).

Tujuan Konstruktivisme

Perubahan menjadi suatu keharusan dalam proses belajar, terutama dalam hal konsep. Perubahan tersebut berupa asimilasi untuk tahap pertama dan tahap kedua yang disebut akomodasi. Dengan asimilasi, siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan dengan fenomena baru. Sementara dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang sudah tidak cocok dengan fenomena baru yang muncul. Jadi, perubahan tetap menjadi tujuan utama bahkan dalam ranah teori konstruktivisme sekali pun.

Selanjutnya, menurut Thobroni (2017, hlm. 95) tujuan teori konstruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Mengembangkan Kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaan.
  2. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian pemahaman konsep secara lengkap.
  3. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri, lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme

Ciri-ciri pembelajaran yang menerapkan teori kontruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Memberi kesempatan kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
  2. Menggalakkan ide/gagasan yang dimulai oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
  3. Menyokong pembelajaran secara koperatif Menampilkan sikap dan pembawaan murid d. Menampilkan bagaimana murid belajar sesuatu ide.
  4. Menggalangkan dan menerima daya usaha murid.
  5. Menggalangkan murid bertanya dan berdialog dengan murid dan guru.
  6. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
  7. Menggalangkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

Selanjutnya, berdasarkan pendapat Suderadjat (dalam Sutadi, 2007, hlm. 133), pembelajaran kontruktivisme mempunyai sejumlah ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Cara atas-bawah ialah peserta didik dimulai dengan pelatihan mengatasi permasalahan yang saling berhubungan selama digali jalan keluarnya dan dibantu pendidik untuk diselesaikan mengikuti implementasi (KD) yang dipakai.
  2. Pembelajaran cooperative learning, bentuk konstruktivisme menerapkan pelatihan cooperative. Dengan begitu, peserta didik mampu menguasai konsepsi yang sukar didiskusikan dengan kelompoknya.
  3. Pembelajaran generatif dipakai untuk strategi konsruktivisme. Pendekatan ini memberi tahu bahwa peserta didik di tuntut untuk menggunakan pendekatan secara khusus supaya menyelesaikan peranan intelektual dengan menunjang arahan terbaru.
  4. Pembelajaran lewat cara menemukan. Peserta didik diharap melakukan pelatihan secara bersungguh-sungguh, mandiri, dan melaksanakan setiap teknik keterampilan konsepsi supaya pelajar mampu mendapatkan rancangan terbaru.
  5. Pembelajaran lewat pengaruh karakter. Strategi konstruktivisme memiliki pandangan bahwa peserta didik merupakan wujud yang idealis, maksudnya pribadi yang dapat mengontrol perasaannya.
  6. Scaffolding didasari teknik Vygotsky mengenai pelatihan dengan bimbingan pendidik.

Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme

Sementara itu,  Driver and Bell (dalam Suyono & Hariyanto, 2014, hlm. 106) mengemukakan bahwa karakteristik pembelajaran konstruktivisme sebagai berikut.

  1. siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
  2. belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
  3. pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal,
  4. pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi lingkungan belajar,
  5. kurikulum bukanlah sekadar hal yang dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi dan sumber.

Kelebihan Konstruktivisme

Menurut Riyanto (2010, hlm. 157) kelebihan konstruktivisme antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Memotivasi peserta didik bahwa belajar adalah tanggung jawab peserta didik itu sendiri guna mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan baru.
  2. Mengembangkan potensi kemampuan peserta didik untuk mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri.
  3. Membantu peserta didik untuk mengembangkan potensi mengenai pengertian atau pemahaman konsep secara menyeluruh dan lengkap.
  4. Mengembangkan potensi kemampuan peserta didik untuk menjadi pemikir yang mandiri dan kreatif.

Kelemahan Pendekatan Konstruktivisme

Selanjutnya, masih menurut Riyanto (2010, hlm. 157) kelemahan dari pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Sukar mengalihkan pendekatan kuno yang sudah diajarkan dengan kurun waktu lama oleh pendidik. Dengan begitu, pendidik yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dituntut untuk lebih kreatif dalam perannya sebagai pendidik.
  2. Pemilihan media dalam pembelajaran.
  3. Pendidik, peserta didik, dan orangtua pasti mengutamakan penyesuaian pembelajaran dengan metode terbaru. Dengan begitu, simpulan yang didapat bahwa pelatihan mengarahkan pada konsep konstruktivisme dengan menitikberatkan keaktifan peserta didik untuk merefleksi pengetahuan mereka sendiri.

Prinsip Konstruktivisme

Terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang dapat memandu penerapan konstruktivisme. Menurut Suyono & Hariyanto (2014, hlm. 107) prinsip-prinsip konstruktivisme adalah sebagai berikut.

  1. Belajar merupakan pencarian makna. Oleh sebab itu pembelajaran harus dimulai dengan isu-isu yang mengakomodasi siswa untuk secara aktif mengkonstruk makna.
  2. Pemaknaan memerlukan pemahaman bahwa keseluruhan (wholes) itu sama pentingnya seperti bagian-bagiannya. Sedangkan bagian – bagian harus dipahami dalam konteks keseluruhan. Oleh karenanya, proses pembelajaran berfokus terutama pada konsep – konsep primer dan bukan kepada fakta – fakta yang terpisah.
  3. Supaya dapat mengajar dengan baik, guru harus memahami model – model mental yang dipergunakan siswa terkait bagaimana cara pandang mereka tentang dunia serta asumsi – asumsi yang disusun yang menunjang model mental tersebut.
  4. Tujuan pembelajaran adalah bagaimana setiap individu mengkonstruksi makna, tidak sekadar mengingat jawaban apa yang benar dan menolak makna milik orang lain. Karena pendidikan pada fitrahnya memang antardisiplin, satu – satunya cara yang meyakinkan untuk mengukur hasil pembelajaran adalah melakukan penilaian terhadap bagian – bagian dari proses pembelajaran, menjamin bahwa setiap siswa akan memperoleh informasi tentang kualitas pembelajarannya.

Referensi

  1. Dahar, Ratna Wilis. (2011). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Erlangga.
  2. Mudlofir, Ali & Fatimatur, Evi. (2017). Desain Pembelajaran Inovatif dari Teori ke Praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  3. Riyanto, Yatim. (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya : Penerbit SIC.
  4. Suyono & Hariyanto. (2014). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  5. Thobroni. (2015). Belajar & Pembelajaran, Teori dan Praktik. Yogyakarta: ArRuzz Media.
  6. Yaumi, M. & Hum, M. (2017). Prinsip – Prinsip Desain Pembelajaran Disesuaikan dengan Kurikulum 2013 Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
  7. Hari Suderadjat dalam Sutadi, 2007, hlm. 133, Karakteristik Pembelajaran.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *